Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi ke Sungai
Pagi-pagi sekali Rania sudah mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya panik. Ia tidak bisa melakukan apa pun. Bahkan untuk ke bank saja tidak bisa.
ATM, ponsel, kartu identitas—semuanya tenggelam bersama mobil itu di dasar sungai.
Tiba-tiba bayangan saat kecelakaan muncul lagi —Arven. Bagaimana bisa pria itu muncul begitu saja, lalu memeluknya begitu kencang sampai-sampai dengan kecelakaan separah itu, Rania tidak terluka sedikit pun.
“Dia itu pasti bukan manusia,” gumamnya, menatap langit-langit rumah. Entah kenapa ia merasa Arven sedang berada di atas sana, mengawasinya.
“Cuma dia yang bisa bantu aku… tapi, hahh… tidak mungkin. Semalam saja aku nyaris di usir,” ocehnya sendiri, wajahnya masam.
Ia berhenti, lalu mengambil napas panjang.
“Mungkin aku harus menyelam sendiri. mengambil tasku di dasar sungai. Pasti masih ada…”
Ia berjalan ke kamar, mengambil tas ransel, lalu memasukkan perlengkapan menyelam seadanya.
Setelah itu ia duduk. Diam sebentar. Lalu menghela napas lagi.
“Sudah hilang berhari-hari… tidak ada satu pun orang yang mencariku. Media juga diam. Aku ini siapa sebenarnya? Kenapa tidak ada manusia yang peduli?” Rania mengomel, suara lirih tapi kesal.
Dan seperti kebiasaan buruknya, ia kembali mendongak. Menatap plafon rumah. Tangan Rania gemas ingin meminta bantuan pria itu. Tapi gengsinya lebih besar.
“Tidak. Tidak. Jangan hubungi dia. Jangan minta tolong,” gumamnya keras, seperti memarahi diri sendiri.
Namun tatapannya tetap saja naik ke langit-langit, berharap Arven datang membantunya tanpa ia harus minta tolong.
Sambil menggendong tas ransel, Rania melangkah keluar dari unit. Seperti biasa—gaya sosialitanya tidak pernah absen.
Padahal ia hanya ingin pergi ke sungai, namun tetap mengenakan heels setinggi tujuh senti, topi dengan daun lebar, kacamata hitam, dan gaun seksi yang sama sekali tidak mendukung aktivitas menyelam.
Jari lentiknya menekan tombol lift. Begitu pintu terbuka, Rania langsung ternganga.
Arven ada di dalam. Tepat di depannya, dengan wajah dingin, tenang, dan mata kristalnya yang entah kenapa selalu membuat jantung Rania bertingkah.
“Kau?” sapanya singkat, sebelum buru-buru menekan tombol tutup lift.
“Hai…” Arven menyapa ramah—ramah versi dia, yang terdengar seperti angin musim dingin lewat sebentar.
Rania tetap membelakanginya. Baginya gengsi nomor satu.
“Kau mau ke mana?” tanya Arven lagi.
“Apa urusanmu? Aku tidak akan memberi tahu.”
“Oh begitu.” Arven mengangguk kecil, suaranya tetap tenang. “Kalau aku… akan pergi ke Sungai Velmora.”
Deg!
Rania membelalak. Apa dunia ini sekecil itu? Atau pria ini memang makhluk gaib yang selalu muncul di waktu-waktu paling menyebalkan? Pikir Rania.
“Aku tidak tanya,” sahutnya cepat.
“Aku hanya memberi tahu. Siapa tahu kita sejalan… aku bisa mengantarmu.” Nada Arven tetap datar dan hangat. Tidak ada amarah, tidak ada paksaan.
Rania terdiam.
Ia ingat sesuatu—ia bahkan tidak punya uang untuk membayar taksi. Mau tidak mau, ia harus menerima bantuan Arven lagi.
“Baiklah… kalau kau memaksa,” ucapnya sambil mengangkat dagu, seolah ia lah yang memberi kebaikan.
Pintu lift terbuka.
“Silakan,” kata Arven sambil menahan pintu.
Rania kaget. Pria ini tahu cara memperlakukan wanita—padahal ia orang kaya, putra seorang Kaelis, gumam batinnya.
Ia mendahului keluar. Seorang sopir berjas hitam sudah menunggu di teras lobi. Dengan cepat, ia membukakan pintu mobil.
“Silakan, Tuan…” ucapnya membungkuk hormat.
Rania melirik Arven.
“Masuklah,” bisik Arven di telinga Rania, begitu dekat hingga napas hangatnya menyentuh kulit.
Rania terpaku sepersekian detik.
Sementara itu, orang-orang di lobi menatap Arven dengan wajah heran—wajar saja, pria itu masih mengenakan pakaian khas Kerajaan Jeoson, lengkap dengan detail yang membuatnya seperti keluar dari drama sejarah.
“Apa dia mau ikut karnaval?” bisik seseorang.
“Haha… iya lucu sekali.”
“Tapi dia tampan…”
Rania langsung menoleh cepat, menatap tiga wanita itu dengan tatapan setajam ujung high heels-nya.
“Dia akan melakukan syuting, Nona. Jadi berhenti bertanya soal pakaiannya!”
Nada suaranya dingin dan ketus, cukup untuk membuat ketiga wanita itu saling pandang lalu kabur.
Dengan dagu terangkat sombong—yang sebenarnya hanya menutupi rasa gugup—Rania masuk ke dalam mobil.
“Kenapa kau memarahi mereka?” tanya Arven setelah ikut duduk. Tangan besarnya bergerak pelan, memasangkan sabuk pengaman pada Rania dengan hati-hati. Gerakannya lembut, nyaris memuja.
Lagi-lagi Rania membelalak kaget. Setiap perlakuan Arven selalu membuatnya meleleh—ia bahkan bisa merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Mata kristal Arven menatapnya… terlalu dekat, terlalu lama… dan terlalu memabukkan.
“Gawat… aku bisa mati,” gumamnya, padahal hanya dipasangkan sabuk pengaman.
Arven yang duduk disamping, mendengar semua itu—bibirnya seketika tersenyum. Tak sia-sia ia belajar semalaman pikirnya.
Ternyata semalam ia memanggil kembali Lidia pelannya, setelah Rania pergi dengan marah. Ia bertekat harus bisa bersikap baik agar di sukai Rania, dan bisa bertahan lebih lama di sampingnya.
Lidia UU adalah pelayan bisu namun ia cerdas, sebelum kembali menemui majikannya—ia membelikan beberap buku untuk di pelajari. Buku cara memahami dan memperlakukan wanita.
Dan ternyata semua nya berhasil—Arven menghela napas lega, melihat jauh ke luar jendela. Terimakasih Lidia UU, gumamnya.
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini.
Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis.
Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu