Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJELANG BABAK FINAL PART 2
Sebenarnya, aku dan mas Anton tidak memiliki masalah yang begitu rumit dalam hal hubungan dalam rumah tangga kami. Kelemahan mas Anton terletak pada keluarganya. Ia lebih percaya apa yang dikatakan oleh keluarganya bila dibandingkan denganku, istrinya. Apalagi ditambah dengan komunikasi denganku yang sangat kurang serta kurangnya waktu kebersamaan keluarga membuat hubungan kami semakin lama semakin renggang dan mas Anton kerapkali sering terpancing emosi bila dihasut oleh keluarga tanpa melihat duduk masalah yang sebenarnya. Seperti yang mbak Nina katakan di pesan yang telah dikirimkan padaku. Kadang bila dipikirkan, apa untungnya membuat hubungan kami semakin semrawut seperti? Apa yang diiri dari diriku? Aku sudah gembel, motor nggak punya, tidak memiliki pekerjaan tetap lagi karena sudah tidak menjadi tenaga honorer sekolah, punya tanggungan tiga orang anak, ditambah miskin pula. Tapi, ya kembali. Kita tidak bisa meminta orang lain seperti yang kita harapkan bukan?
Sebenarnya aku bisa saja meminta Zahrana untuk tidak melakukan tes babak final beasiswa secara offline ke Yogyakarta, tapi entah mengapa aku tak bisa melakukannya. Selain tak tega melihat bahwa ia mampu lolos babak final tapi tidak mampu mengikuti tes selanjutnya, aku juga berharap Zahrana lolos dalam beasiswa ini sehingga ia bisa mendapat keringanan dalam biaya pendidikan. Selain itu, aku juga berharap ada sedikit perhatian dari mas Anton pada Zahrana yang saat ini berada di kelas enam dan sebentar lagi akan menuju kelas tujuh yang membutuhkan biaya yang tak sedikit bila akan memasukkannya ke sekolah lanjutan. Aku melihat perhatian mas Anton hanya tertuju pada game online. Pernah juga aku melihat ia mulai mencoba peruntungan di slot. Aku selalu berpikir, kapan ya mas Anton mau berhenti sikap tidak melakukan game online dan slot? Bila tidak bisa berhenti, setidaknya bisa mengurangi kegiatan itu barang sedikit saja. Aku selalu kasihan melihat ketiga anakku. Mereka memiliki ayah, tapi seakan tidak memiliki karena tidak mendapatkan prioritas dan perhatian mas Anton. Memiliki sosok ayah, tapi tidak dengan perannya.
Aku lebih memilih madrasah mengingat ada pelajaran tambahan di sana dan berharap Zahrana kelak menjadi pribadi yang lebih baik.
Saat ini waktu begitu mepet. Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga ada rezeki untuk Zahrana melakukan tes babak finak. Aku juga hanya ingin menunjukkan pada Zahrana bagaimana suasana sekolah bertaraf internasional di Yogyakarta, bentuk, keadaan, fasilitasnya seperti apa dan keadaan lainnya agar ia bisa membawa dan menciptakan suasana seperti itu lingkungan rumah. Hal itu juga telah kulakukan selama ia mengikuti berbagai lomba di berbagai tempat.
Indera penglihatanku kembali fokus ke atah gawai. ku sekrol pesan yang berada di sana. Ada wa masuk dari sahabatku, Nana.
Siti
Ada sedikit rezeki dariku untuk tes Zahrana ke Jogja
Salam dariku ya untuk Zahrana
Semangat belajar
Semoga lancar ujiannya
Aamiin
Pesan di bagian bawahnya terdapat bukti transfer sejumlah uang enam ratus ribu rupiah telah masuk ke rekeningku.
Segera kubalas wa dari Nana
masyaallah Nana
Terima kasih banyak
Lemah teles (Gusti Allah sing mbales)
Jazakillah
Semoga tambah rezeki berkah ya
Aamiin
Nanti kusampaikan sama Zahrana
Tak terasa aku meneteskan air mata, tanda syukurku pada Allah karena akhirnya Zahrana bisa mengikuti tes beasiswa besok lusa.
Terdengar kendaraan bermotor berhenti tepat di depan rumah dan kedua balitaku terdengar berseru ," Ayahhhhhhh."
Sepertinya mas Anton yang datang ke rumah. Aku memilih tidak segera keluar dari kamar karena memberikan waktu sejenak pada Zahrana untuk bercerita dan Mumtaz serta Arsenio bisa bercengkerama dengan ayahnya. Aku takut nanti bila kehadiranku disana membuat mas Anton kurang leluasa mengobrol dengan anak-anak dan merasa kurang nyaman.
"Mana ibu?" Tanya mas Anton pada ketiga anakku yang suaranya bisa kudengar dari bilik kamar.
Suara langkah kaki terdengar mendekati kamar.
"Kapan ke Jogja?" Tanya mas Anton padaku seperti tak ada masalah apapun selama tiga bulan ini. Aku pun sepertinya harus mengimbangi sikapnya tersebut.
"Besok siang aku kesana. Naik kereta. Aku meminta tolong padamu. Jaga Mumtaz dan Arsenio di rumah karena mereka sedang sakit. Mumtaz sedang batuk dan pilek. Arsenio demam," jelasku pada mas Anton.
Mas Anton hanya diam saja. Ia terlihat menyugar rambutnya yang terlihat sedikit basah. Wajahnya juga tampak berubah lebih bersih. Malah aku yang terlihat begitu kusam karena tak memiliki waktu untuk merawat diri dengan baik. Waktuku habis untuk mengasuh dan menemani anakku saja. Itupun aku merasa masih saja kurang cukup waktu.
Mas Anton kembali ke ruang tamu dan kembali bercanda dengan ketiga anaknya. Tampak di atas meja aneka makanan kecil yang telah dibelinya untuk anak. Mereka terlihat begitu gembira sekali bisa bercanda bersama ayahnya sembari menyantap makanan.
"Ayah pulang dulu ya," suara mas Anton pamit pada ketiga anaknya terdengar ditelingaku.
Saat aku mendengar itu, segera kuraih dan kupakai hijab yang berada digantungan, kemudian berjalan ke arah teras. Mas Anton terlihat sudah menaiki motor maticnya.
"Bagaimana dengan yang tadi? Aku bisa minta tolong untuk menjagakan Mumtaz dan Arsenio tidak?" Tanyaku dengan sedikit lirih agar ketiga anakku tak mendengar bila ada perkataan kurang enak yang keluar dari mas Anton. Aku tak ingin menghilangkan canda tawa dan kebahagiaan yang barusan terjadi diantara ayah dan anak. Aku butuh kepastian apakah mas Anton bersedia menjaga anak dirumah selama aku mengantar Zahrana ke Yogyakarta.
"Entahlah. Lihat besok," jawab mas Anton singkat.
Tak lama kemudian mas Anton menghidupkan motor dan berlalu dari hadapanku.
Mas Anton selalu membuatku seperti ini. Seakan memberi harapan akan membantuku, namun dibaliknya juga memberi kebimbangan dan kerisauan tersendiri. Harapan bahwa ia mau menjaga kedua anakku yang tengah sakit, serta bimbang apakah ia akan melakukan hal tersebut ataukah tidak. Aku takut sekali bila sudah begitu berharap padanya, tapi ternyata semua cuma omong kosong semata. Itu sudah seringkali terjadi. Sebenarnya aku lebih suka kepastian karena waktu juga sudah sangat mepet. Bila mampu menjaga anak, ya segera saja bilang iya. Kalau tidak, setidaknya aku masih memiliki waktu untuk meminta orang lain menjaga kedua anakku.
Setelah suara motor tersebut terdengar menjauh, aku menutup pintu dan melakukan persiapan untuk tidur karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Mbak, tolong temani adik mas sikat gigi, buang air kecil dan cuci muka. Ibu akan menata kasur dan sprei," pintaku pada Zahrana.
"Iya bu," sahut Zahrana.
Kutata kasur dan sprei di ruang keluarga. Mumtaz dan Arsenio menghampiri dan tidur disamping kanan dan kiriku. Tak lama kemudian kudengar napas yang teratur dari Arsenio dan dengkuran halus dari Mumtaz tanda mereka sudah tertidur. Zahrana juga terlihat sudah tertidur di samping adiknya, Arsenio.
Aku masih belum bisa tertidur saat ini. Pikiranku masih melayang, memikirkan sesuatu hal. Apakah mas Anton bisa diharapkan dan diandalkan?