"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
...Happy reading...
Suasana ruang tamu yang tadinya hangat oleh gurauan, seketika menegang karena teriakan seseorang dari arah luar. Ayah, Cely, dan Zein yang baru saja menikmati momen kebersamaan mereka di siang hari ini, terlonjak kaget karena pintu rumah terbuka lebar dengan kasar, dan Helena muncul di ambang pintu.
Wajahnya merah padam menahan amarah, matanya menyalang mencari sosok ayahnya. Tanpa peduli sopan santun, ia menghentak lantai, memasuki ruang tamu.
"Ayah!" suaranya melengking tinggi, memekakkan gendang telinga bagi siapa pun yang mendengarnya.
Ayah yang sedang duduk santai di sofa, langsung menegakkan tubuhnya, raut wajahnya berubah seketika. Cely dan Zein yang duduk bersama, menoleh serentak ke arah Helena. Suasana nyaman yang tadinya menyelimuti ruangan, langsung sirna digantikan hawa permusuhan yang dibawa Helena.
Zein mendengus kasar, matanya menyipit tajam menatap Helena. "Kaga ada sopan santunnya banget, dateng-dateng teriak!" ucap Zein.
Zein menggelengkan kepala, lalu jarinya menuding keras ke arah ayahnya yang duduk terdiam. "Lo tau nggak siapa yang lo panggil ini?" teriaknya.
"Eh lo—"
Zein kembali membuka mulutnya, napasnya menderu menahan amarah, siap membalas perkataan Helena yang dianggap keterlaluan dan kurang ajar. Rasa ingin melabrak Helena membuncah dalam dirinya, namun belum sempat ia merangkai kalimat makian yang sudah di ujung lidah, Cely dengan gerakan cepat meminta Zein untuk menelan kembali kata-katanya dan mengendalikan emosinya.
Helena, yang sama sekali tidak merasa bersalah, mencibir sinis mendengar teguran Zein. Ia memutar bola matanya, menunjukkan ketidaktertarikan ucapan Zein.
"Diem deh lo!" sahut Helena, "Gue cuma mau ngomong sama Ayah!"
Ia melangkah mendekati ayahnya dengan wajah memerah padam. "Ayah! Ayah kok ngubah sertifikat rumah ini atas nama Cely sih?! Kan Ayah udah nikah sama Ibu, harusnya ubah jadi nama Ibu dong, bukan nama Cely!"
Helena melontarkan protesnya dengan penuh tuntutan, sama sekali tidak terima dan merasa keputusan ayahnya sangat tidak adil dan mengabaikan hak ibunya sebagai istri sah.
Zein, yang sedari tadi hanya menyimak dengan senyum sinis, tidak tahan untuk tidak ikut memanaskan suasana. "Kenapa? Iri ya lo!" ledek Zein, sengaja memprovokasi Helena. Ia tahu betul bagaimana cara memancing emosi Helena dan membuatnya semakin kehilangan kendali.
Mendengar ejekan Zein, Helena semakin memanas. Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal erat. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Ia menatap Zein dengan tatapan penuh kebencian, namun kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada ayahnya, karena tahu bahwa percuma berdebat dengan Zein. "Ayah ..."
"Sudah cukup!"
Suara Ayah tiba-tiba menggelegar di ruang tamu, wajahnya menunjukkan ketegasan yang jarang diperlihatkannya. Ia menatap ke arah helena, "Kenapa kamu marah? Gimana pun, Cely juga pantas mendapatkan rumah ini," mencoba menjelaskan keputusannya dengan tenang.
"Sebagai gantinya, Ayah akan belikan kalian rumah yang lain," lanjut Ayah lagi, mencoba mencari solusi yang adil untuk semua pihak dan meredakan kemarahan Helena.
"Tapi Yah! Ayah nggak bisa ngasih rumah gitu aja dong ke Cely!" Helena kembali memprotes. Ia masih tidak terima dan merasa bahwa Cely tidak pantas mendapatkan rumah itu.
"Kenapa nggak bisa?" Kali ini, Cely membuka suara. Ia menatap Helena dengan tatapan tajam. "Ini rumah juga rumah Ayah, Ibu gue! Lo siapa dateng-dateng nggak terima?" lanjutnya dengan nada menantang, menunjukkan bahwa ia tidak akan tinggal diam dan membiarkan Helena meremehkan haknya.
Ayah yang melihat situasi akan semakin tidak terkendali, segera bertindak untuk meredakan ketegangan. Ia menghela napasnya. "Sudah, Cel!" kata Ayahnya, "Kamu mau apa, biar ayah ngerasa adil ngebagi harta ayah?"
Ayah mencoba menengahi dengan menawarkan kompensasi kepada Helena, berharap ini bisa menghentikan perdebatan yang tidak berujung dan meredakan amarah Helena. Namun, tanpa disangka, tawaran Ayah ini justru dimanfaatkan oleh Helena.
Mendengar tawaran ayahnya, mata Helena yang tadinya penuh amarah, tiba-tiba berbinar licik. Ia langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas dendam pada Cely.
"Yaudah, Lena mau Cely pergi dari sekolah itu," bilangnya dengan nada penuh kemenangan, sambil menatap Cely dengan senyum sinis.
Helena merasa inilah cara terbaik untuk menjatuhkan Cely dan menunjukkan kekuasaannya. Permintaan ini bukan hanya tentang hadiah, tapi juga tentang merendahkan dan mengontrol Cely.
"Loh ... apa-apaan!" Cely langsung terkejut dan marah mendengar permintaan Helena yang tidak masuk akal. "Lo siapa sih berani-beraninya nyuruh gue pergi?"
Cely menolak mentah-mentah permintaan Helena dengan suara yang meninggi. "Lebih baik lo yang pergi dari sini deh! Gue males harus bersihin rumah ini karena kedatangan najis," usir Cely dengan kata-kata yang pedas dan menusuk, sengaja menghina dan membuat Helena merasa tidak diterima di rumah itu. Cely sudah kehilangan kesabarannya dan tidak lagi peduli dengan sopan santun.
"Anjay adik gue," lirih Zein dengan bangga dan senyum lebar. Ia sangat terkesan dengan keberanian dan ketegasan Cely dalam menghadapi Helena. Dalam hatinya, ia merasa Cely benar-benar luar biasa dan tidak akan membiarkan siapapun merendahkannya.
"Yah!" Helena kembali mengadu pada ayahnya, suaranya melengking tinggi penuh kekesalan. Ia merasa terhina dengan ucapan Cely dan berharap ayahnya akan membelanya.
"Ayah nggak usah ngebelain dia! Orang iri nggak seharusnya masuk ke keluarga kita!" Zein ikut menimpali, semakin memanaskan situasi dan mendukung Cely sepenuhnya.
Ia sengaja menggunakan kata-kata kasar dan provokatif untuk membuat Helena semakin marah dan menunjukkan bahwa mereka berdua tidak menginginkan kehadirannya di keluarga mereka.
"Hish! Awas aja ya lo berdua!" geram Helena dengan nada mengancam, matanya melotot penuh kebencian pada Cely dan Zein. Merasa tidak dihiraukan dan semakin terpojok, Helena akhirnya memilih untuk pergi.
Ia berbalik badan dan melangkah cepat meninggalkan ruang keluarga, membanting pintu dengan keras sebagai pelampiasan amarah dan kekesalannya. Suara pintu yang terbanting mengakhiri perdebatan sengit itu, meninggalkan Ayah, Cely, dan Zein.
Zein menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Gila ya tuh orang, nggak anak nggak ibu sama aja," bilang Zein. Ia benar-benar merasa tidak habis pikir dengan kelakuan Helena dan ibunya yang dianggap sama-sama buruk dan menyebalkan. "Sama-sama nyebelin, sama-sama nggak tau diri," tambahnya.
Ia kemudian menoleh ke ayahnya. "Ayah kapan sih ceraiin mamahnya?" tanya Zein tanpa basa-basi. Pertanyaan ini sudah lama ingin ia lontarkan, dan momen ini terasa tepat untuk menanyakannya. "Bener-bener muak sama mukanya," lanjut Zein, ekspresi di wajahnya menunjukkan betapa besar rasa antipatinya terhadap ibu Helena.
Ia sudah tidak tahan lagi melihat ibu Helena berada di dekat ayah mereka dan menginginkan ayahnya segera mengakhiri pernikahan yang dianggapnya hanya membawa masalah.
Cely mengangguk setuju dengan perkataan Zein. "Apa lagi gue bang, yang setiap hari ketemu," kata Cely.
Ia merasa lebih menderita karena harus lebih sering berinteraksi dengan ibu Helena di rumah, merasakan langsung sikap yang tidak menyenangkan dan suasana yang tidak nyaman yang ditimbulkan oleh ibu tiri mereka.
"Setiap hari kerjaannya nyindir, ngatur, bikin gue naik darah," keluhnya lagi, mengungkapkan betapa tertekannya ia hidup serumah dengan ibu Helena.
Mendengar perkataan adiknya yang penuh keluhan, Zein tertawa kecil. Namun tawanya bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang mengandung ironi dan keputusasaan. Ia merasa lucu sekaligus miris dengan situasi keluarga mereka yang semakin hari semakin runyam.
"Iya Cel, lo emang lebih parah sih," kata Zein sambil menepuk bahu Cely dengan simpati. "Tapi tenang aja, gue sama Ayah pasti bakalan ngelindungin lo dari mereka," ucapnya meyakinkan.
Meskipun ini situasi sulit, Zein ingin Cely tahu bahwa ia tidak sendirian dan selalu ada dukungan dari dirinya dan ayah mereka.
...___________...