Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
"Kalau begitu, aku akan memberimu waktu satu minggu," Wu Cheng menyela, suaranya dingin. "Pikirkan baik-baik. Aku akan datang lagi untuk menjemput Xiao Lian setelah kau memberi izin."
Tatapan Yin Hao akhirnya berubah. Ia mengernyit, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Wu Cheng.
"Menjemputnya?" gumamnya.
Wu Cheng menatap Yin Lian dengan penuh perhatian. Gadis itu tetap diam, tidak mengatakan apa pun sejak tadi.
Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Yin Lian dengan lembut.
"Aku akan kembali untukmu," katanya pelan.
Yin Lian masih tidak menjawab.
Ia hanya berdiri di sana, tidak bergerak.
Wu Cheng menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menyakitkan.
Yin Hao tetap berdiri di tempatnya, matanya mengikuti punggung pria tua itu yang semakin menjauh.
Sekilas, ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun, jika ada perasaan yang muncul dalam hatinya, ia tidak menunjukkannya.
Tatapannya kemudian beralih ke Yin Lian.
Gadis kecil itu masih berdiri di tempat yang sama, dengan kepala tertunduk.
Sejenak, hanya suara angin yang terdengar di antara mereka.
Namun, alih-alih mencoba menenangkan suasana atau mengucapkan sesuatu yang berarti, Yin Hao justru mendengus kecil.
Dengan suara datar, ia berkata,
"Siapkan makan malam dan arak untukku."
Yin Lian tersentak kecil.
Matanya yang semula kosong perlahan terangkat, menatap punggung ayahnya yang mulai melangkah masuk ke dalam rumah.
Tidak ada kata-kata hiburan.
Tidak ada pengakuan.
Tidak ada kasih sayang.
Hanya perintah.
Seolah-olah semua yang terjadi tadi tidak berarti apa pun.
Namun, Yin Lian tidak membantah.
Ia segera mengangguk cepat dan berlari masuk ke dalam rumah, melakukan apa yang diminta tanpa sepatah kata pun.
Di balik langkah kakinya yang tergesa, dalam hatinya, hanya ada satu pertanyaan.
Apa aku benar-benar tidak berharga?
Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu.
Yin Lian tetap tinggal di rumah, tidak sekali pun kembali ke sekolah.
Ia tidak bertanya, tidak mengeluh. Ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa.
Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan makanan dan arak untuk ayahnya. Setelah memasak, ia merapikan rumah kecil mereka yang sederhana sebelum bergegas menyiapkan segala keperluan Yin Hao.
Tak ada ucapan terima kasih dari pria itu.
Tak ada percakapan hangat antara ayah dan anak.
Hanya kebisuan yang menemani mereka.
Namun, Yin Lian tidak mengeluh.
Siang hingga sore, ia mulai membantu pekerjaan berat di rumah. Memotong kayu, mengangkat ember berisi air, dan mengangkut barang-barang yang diperlukan.
Ia tidak tahu sejak kapan kebiasaan ini dimulai.
Yang ia tahu, setiap kali ia mengayunkan kapak untuk memotong kayu, ia bisa merasakan sepasang mata mengawasinya dari kejauhan.
Yin Hao.
Meskipun pria itu jarang berbicara, meskipun ia terlihat tidak peduli, ia selalu duduk di sana—di kursi tuanya, dengan gelas arak di tangannya, memperhatikannya dari kejauhan.
Namun, ia tidak pernah berkata apa pun.
Sampai hari ini.
Hari ini, Yin Lian bekerja lebih keras dari sebelumnya.
Dengan gerakan teratur, ia mengangkat kapak besar itu dan menebaskannya ke batang kayu di depannya.
Satu potongan.
Dua potongan.
Tiga potongan.
Ia tidak berhenti.
Peluh mengalir di pelipisnya, napasnya memburu, namun ia terus mengayunkan kapaknya dengan tekad yang kuat.
Di kejauhan, Yin Hao menatapnya tanpa ekspresi. Ia menghela napas dalam, lalu meletakkan gelas araknya ke atas meja kayu kasar di sampingnya.
Kemudian, dengan langkah santai, ia bangkit dari kursinya.
Langkahnya terdengar ringan, namun bagi Yin Lian, itu cukup untuk membuatnya menghentikan pekerjaannya.
Saat Yin Hao berdiri di belakangnya, gadis kecil itu bisa merasakan tatapan tajam ayahnya menembus punggungnya.
Kemudian, suara dingin itu terdengar.
"Kau bodoh."
Yin Lian tersentak.
Kapaknya berhenti di udara, dan ia menoleh ke arah ayahnya dengan napas terengah-engah.
"Ayah...?"
Yin Hao mendecak pelan.
"Jika kau melakukan semuanya seperti itu..." katanya, "kau tidak akan pernah bisa menyelesaikannya dengan cepat."
Yin Lian menatap batang kayu di depannya, lalu kembali melihat ayahnya dengan bingung.
"Aku hanya..."
Yin Hao tidak menunggu penjelasannya.
Tanpa banyak bicara, ia merebut kapak dari tangan Yin Lian dengan mudah, lalu menunjuk ke arah batang kayu yang masih utuh.
"Lihat dan perhatikan baik-baik."
Dengan satu tangan, ia mengangkat kapak itu dengan santai.
Kemudian—
**Crack!💥
Kayu itu terbelah sempurna dalam satu ayunan.
"Tidak perlu banyak gerakan," katanya sambil melirik ke arah Yin Lian. "Gunakan kekuatan pada titik yang tepat. Mengayunkannya berkali-kali hanya membuang tenaga."
Yin Lian menggigit bibirnya, merasa sedikit malu.
"Tapi aku tidak sekuat Ayah..."
Yin Hao mendecak pelan, tampak tidak senang dengan jawaban itu.
"Bukan soal kekuatan."
Ia mengangkat kapak lagi, lalu menunjuk bagian tertentu pada batang kayu berikutnya.
"Lihat serat kayunya?" katanya. "Ada pola di sana. Jika kau menebas di tempat yang salah, kau hanya akan membuatnya lebih sulit. Tapi jika kau menebasnya di titik yang benar..."
Ia mengayunkan kapaknya lagi.
**Crack!💥
Kayu itu terbelah dengan mudah.
"Jika kau tahu di mana harus menyerang," lanjutnya, "kau tak perlu repot-repot membuang tenaga."
Yin Lian menatap kayu yang terbelah dengan mata membesar.
Ia tidak pernah memperhatikan hal itu sebelumnya.
Ia selalu berpikir bahwa yang ia butuhkan hanyalah tenaga lebih banyak. Bahwa jika ia bekerja lebih keras, maka hasilnya akan lebih baik.
Tapi sekarang, ia mulai memahami sesuatu.
"Aku mengerti..." gumamnya pelan.
Yin Hao menyerahkan kembali kapak itu padanya.
"Coba sekarang," perintahnya.
Yin Lian mengambil kapak itu dengan kedua tangannya. Kali ini, ia tidak terburu-buru.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap serat kayu dengan seksama seperti yang diajarkan ayahnya.
Kemudian—
💥 Crack!
Kayu itu terbelah dalam satu pukulan.
Mata Yin Lian membesar.
"Aku berhasil..." katanya dengan suara hampir berbisik.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bangga akan dirinya sendiri.
Yin Hao hanya menatapnya sebentar sebelum berbalik, kembali menuju kursinya tanpa berkata apa-apa.
Namun, sebelum ia duduk, ia melemparkan satu kalimat singkat.
"Jangan buang tenaga untuk hal yang tidak perlu."
Setelah itu, ia kembali menenggak araknya, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Yin Lian tetap berdiri di tempatnya, memandangi kayu yang telah terbelah di hadapannya.
Meski hanya sekilas, meski hanya dengan beberapa kata yang terdengar dingin...
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ayahnya mengajarinya sesuatu.
Dan itu cukup untuk membuat dadanya terasa sedikit lebih hangat.