Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Author POV
Dari celah dinding kayu, angin malam pondok berhembus pelan. Membawa doa-doa yang masih menggantung sekaligus rahasia yang sengaja atau tidak, didengar oleh dua hati yang belum siap menerima takdir-Nya.
Zayn dan Amira hanya saling diam. Entah harus marah, bingung… atau pasrah.
---
Amira POV
Saat waktu mulai memasuki Ashar, aku berjalan menuju masjid. Tapi mataku tak sengaja melihat Zayn dihadang oleh Hamdan dan teman-temannya. Aku hanya melihat sekilas, lalu buru-buru menundukkan pandangan sambil beristighfar dalam hati.
‘Astaghfirullahal adzim. Maafkan hambamu, Ya Allah…’
Aku berbisik pelan pada diri sendiri. “Kenapa Hamdan menghadang Zayn ya?” Tapi aku hanya mengendikkan bahu, lalu kembali melangkah ke masjid.
Sesampainya di tempat wudhu, aku membasuh muka. Airnya dingin, membuatku sedikit tenang. Setelah mengenakan mukena, aku duduk di saf perempuan. Tiba-tiba, suara dari saf santri laki-laki terdengar ramai. Samar, kudengar keluhan Zayn.
‘Yaelah, ribet banget sih!’
Aku menahan tawa, sudut bibirku terangkat. Tapi senyum itu cepat-cepat kutahan.
Alfiya, yang duduk di sebelah kananku, melirik heran. “Amira… kamu kenapa kok senyum-senyum sendiri dari tadi?”
Aku tersentak. “Hah? Nggak kok, aku nggak apa-apa,” jawabku cepat.
Syakilla ikut nimbrung. “Masa sih? Dari berangkat sampai sekarang, kamu kayak nggak fokus. Eh, malah senyum sendiri lagi.”
Aku cuma nyengir, berusaha menutupi gugupku. “Ya ampun, serius deh. Senyum kan ibadah.”
Alfiya mendengus pelan. “Hmmm… jangan-jangan senyum karena Zayn ya?”
Aku hampir tersedak napas sendiri. “Apa sih, nggak ada ah! Udah, udah, mau mulai sholat.”
Obrolan kecil kami berhenti. Suara iqamah berkumandang. Aku menunduk, berusaha khusyuk, meski suara hati masih berdebar entah kenapa.
Selepas Ashar, kami duduk mendengarkan ceramah Kyai. Pesan-pesannya sederhana, tapi meresap di dada.
“Kadang, takdir Allah datang lewat jalan yang tidak kita mau. Termasuk soal jodoh…”
Aku menelan ludah. Rasanya dadaku bergetar. Kata “jodoh” menampar keras. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasa resah itu tiba-tiba datang lagi.
Menjelang Maghrib, kami sholat berjamaah. Lalu lanjut mengaji bersama di aula masjid, suara lantunan ayat membuat hatiku sedikit lebih tenang. Isya’ pun tiba, dan kami melaksanakan sholat Isya’ dengan khusyuk.
Pulang ke rumah, langkahku terasa lebih berat dari biasanya. Aku hendak mencari Ayah untuk menanyakan sesuatu. Tapi baru mau mengetuk pintu, langkahku terhenti.
Suara ayah terdengar jelas di balik pintu kayu.
“InsyaAllah, Pak Fadlur. Surat wasiat Almarhum sudah saya pegang. Perjodohan Amira dan Zayn akan tetap jadi amanah. Meski keadaan Zayn sekarang masih mencoba adaptasi… kita doakan saja sama-sama semoga dia bisa berubah.”
Tanganku gemetar. Nampan di tangan hampir jatuh. Surat wasiat? Jodoh? Zayn…? Otakku berdenyut, dadaku sesak.
Aku menahan napas, berusaha mundur pelan. Tapi ketika aku menoleh, ternyata Zayn berdiri di belakangku.
Matanya menatapku tajam. Rahangnya mengeras. Wajahnya sama kagetnya dengan aku.
Dalam sepersekian detik, tatapan kami beradu. Ada gemuruh ribut di dada, tapi mulutku kelu. Bahkan kaki rasanya mau lari tapi tak bisa.
Gelas di nampan bergetar. Aku membekap mulutku sendiri, menahan suara yang rasanya mau pecah.
Tapi tak ada satu kata pun yang terucap.
---
Zayn POV
Gue berdiri kaku di anak tangga, satu tangan nempel di dinding kayu yang dingin. Nafas gue berat. Suara Kyai masih terngiang di kepala gue. Surat wasiat? Dijodohin? Gue? Sama dia?
Gue mau ketawa, tapi tenggorokan gue seret. Mau marah, tapi mulut gue kunci rapat. Jantung gue berdentam kayak drum.
Semua kayak balik lagi kayak dulu waktu gue dipaksa tunduk sama aturan orangtua.
Sekarang pondok ini… bukannya bikin gue bebas. Malah rasanya kayak penjara suci.
Gue ngelirik Amira. Dia juga sama kagetnya. Mata dia berkaca-kaca, tangan gemetar megang nampan.
Gue nggak tau apa dia benci, takut, atau sama bingungnya kayak gue.
Tapi sorot mata dia… aneh. Ada sesuatu yang bikin gue nggak tega kalau harus bilang “tidak”. Padahal bibir gue udah mau maki siapa pun yang maksa hidup gue lagi.
Perjodohan, huh? Lucu banget. Gue yang dosa numpuk, tato penuh dosa, tiba-tiba mau dijodohin sama anak Kyai?
Gue gigit bibir, mendecak. Mau kabur, kaki gue malah diam. Mau marah, gue cuma bisa nyengir sinis.
Gue tarik nafas panjang. ‘Zayn. Lo cuma bisa kabur atau lo berani tanggung jawab.’
Gue nggak tau mana yang bener. Tapi buat pertama kalinya, gue nggak pengen lari.
Gue pejam mata sebentar. Dulu, kalau ada yang nyuruh gue nurut gue selalu kabur.
Waktu bokap maksa gue nerusin bisnisnya, gue kabur.
Waktu nyokap maksa gue pindah sekolah, gue juga kabur.
Hidup gue isinya kabur sama orang yang ‘katanya’ tau jalan paling bener.
Sekarang di pondok ini… gue pikir gue aman. Pikir dosa gue bisa dicuci pelan-pelan, tanpa orang nyuruh gue begini-begitu.
Ternyata nggak.
Takdir masih suka becanda sama orang kayak gue.
Gue ngelirik Amira lagi. Dia masih berdiri di sana, tangannya nutup mulut kayak nahan tangis.
Apa dia juga ngerasa dijebak? Apa dia malu? Jijik?
Gue nggak tau.
Yang gue tau cuma dada gue sesek banget. Kayak ada rantai baru yang ngiket leher gue.
Kalau kata Kyai, pondok ini rumah taubat. Tapi sekarang malah berasa kayak jeruji.
Gue nggak mau nyakitin dia. Gue nggak mau dia malu karena gue.
Tapi gue juga nggak mau kehilangan satu-satunya orang yang bikin gue pengen diem di sini.
Bangsat… kenapa rasanya serumit ini?
Gue desah pelan. ‘Kalau bener ini amanah almarhum, lo sanggup, Zayn? Lo yakin lo pantas?’
Gue beneran takut. Takut nggak bisa jaga dia. Takut dia patah hati.
Tapi di sisi lain, entah kenapa… gue juga takut kehilangan dia.
Amira. Nama yang baru gue hafal. Tapi udah mau jadi luka baru.
Gue mundur pelan. Tatapan gue sama tatapan dia masih nyangkut.
Kali ini, gue nggak lari. Tapi gue juga nggak tau harus gimana.
---
Author POV
Dari celah pintu kayu yang hampir rapuh, suara angin pondok merambat masuk. Malam merangkak makin larut, tapi hati dua insan itu masih terjaga.
Zayn menunduk dengan tatapan kosong, seolah bertanya pada takdir seberapa kuat ia sanggup memikul beban yang bahkan bukan pilihannya sendiri?
Sementara Amira berdiri kaku di ambang pintu, genggaman tangannya gemetar menahan semua tanya yang tak sempat terucap.
Di bawah cahaya lampu gantung yang redup, dua hati sama-sama gelisah dipertemukan bukan karena mau, melainkan karena sebuah amanah yang diwariskan dari nama baik keluarga.
Malam itu pondok As-Syafir kembali senyap. Tapi di sudut sunyi, diam-diam ada doa yang terbit, meski tertahan di kerongkongan.
Rahasia pun terjaga menunggu siapa yang berani bicara lebih dulu. Entah untuk menolak, entah untuk menerima.
Atau… pasrah, pada kehendak-Nya.
---
To Be Continued..✨️🫶