NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17•

Anak yang Tidak Pernah Lahir

Malam itu, di penghujung Oktober yang dingin, angin bertiup melolong di antara pepohonan beringin tua di tepi jalan. Daun-daun kering bergesekan, menciptakan melodi seram yang hanya bisa dinikmati oleh telinga-telinga kesepian. Di dalam rumah bergaya kolonial yang terletak di ujung jalan buntu, Arini duduk meringkuk di sofa, memeluk bantal erat-erat. Jendela-jendela besar di ruang tamu memantulkan bayangan gerak-gerik dahannya yang kurus di bawah cahaya temaram lampu gantung. Suaminya, Bagas, belum pulang dari dinas luar kota. Sudah tiga bulan berlalu sejak ia terakhir melihat wajah suaminya itu, dan tiga bulan pula sejak ia terakhir kali mendengar suara tawa riang mereka.

Sejak keguguran itu, rumah ini terasa seperti peti mati yang terbuat dari kenangan. Kenangan akan tawa yang tak lagi terdengar, sentuhan yang tak lagi terasa, dan yang paling menyakitkan, impian akan seorang bayi mungil yang tak pernah terwujud. Setiap sudut rumah, setiap benda, seolah menyimpan jejak dari kehidupan yang seharusnya ada. Kamar bayi yang sudah mereka siapkan, dengan dinding berwarna pastel dan buaian kayu jati, kini hanya menjadi saksi bisu dari kehampaan yang tak terhingga. Mainan-mainan lembut yang sudah dibeli dengan penuh harap, teronggok di sudut, mengumpulkan debu seperti impian-impian yang terlupakan.

Arini seringkali mendapati dirinya berdiri di ambang pintu kamar itu, menatap kosong ke dalam. Terkadang, ia bisa bersumpah mendengar suara gumaman lembut, seperti bisikan bayi, atau bahkan merasakan sentuhan kecil di jari-jarinya. Dokter bilang itu hanya efek trauma, halusinasi pasca-keguguran. Ia mencoba percaya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanya bunga tidur dari pikiran yang lelah.

Namun, malam ini berbeda. Bisikan itu terasa lebih nyata, lebih dekat. Arini mengangkat kepalanya, mencoba mencari sumber suara. Angin di luar semakin kencang, mengayunkan dahan pohon hingga membentur jendela. Tok… tok… tok… Bukan suara dahan. Itu adalah ketukan pelan, berirama, dari dalam rumah. Jantung Arini berdebar kencang. Ia tahu Bagas tidak mungkin pulang tanpa memberinya kabar. Lagipula, kunci rumah ada padanya.

Ketukan itu berasal dari kamar bayi.

Dengan napas tertahan, Arini bangkit dari sofa. Kakinya terasa lemas, namun rasa penasaran yang bercampur dengan ketakutan mendorongnya maju. Setiap langkah menuju kamar bayi terasa seperti menapaki jurang. Kegelapan di lorong seolah menelan semua cahaya, dan Arini merasa dingin merayap dari ujung kakinya.

Saat ia tiba di depan pintu kamar bayi yang sedikit terbuka, ketukan itu berhenti. Hening. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar begitu keras di telinganya. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu hingga terbuka lebar.

Kamar itu gelap gulita. Tidak ada cahaya bulan yang menembus jendela kecil. Arini meraba sakelar lampu di dinding, namun tangannya bergetar terlalu hebat. Ia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri. Ketika ia membukanya lagi, matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan.

Buaian kayu jati yang biasanya kosong, kini sedikit bergoyang.

Arini mematung, pandangan matanya terpaku pada buaian itu. Gerakannya lambat, seperti ayunan lembut. Seolah-olah ada seseorang yang sedang mengayunkannya. Bulu kuduk Arini merinding. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terpaku di lantai.

Kemudian, sebuah suara. Bukan bisikan, tapi tangisan. Tangisan bayi yang samar-samar, lembut, namun begitu nyata. Tangisan itu seolah berasal dari dalam buaian.

"Tidak... tidak mungkin..." bisik Arini, suaranya tercekat di tenggorokan. Ini pasti mimpi. Ini pasti ilusi.

Ia memaksa dirinya mendekat, satu langkah demi satu langkah, jantungnya berdetak seperti genderang perang. Semakin dekat ia, semakin jelas tangisan itu. Tangisan pilu, penuh kesedihan, seolah meratap atas sesuatu yang hilang.

Ketika ia mencapai buaian, tangisan itu tiba-tiba berhenti. Hening kembali menyelimuti ruangan. Arini mengulurkan tangan yang gemetar ke dalam buaian. Jemarinya merasakan kain lembut selimut bayi yang kosong. Tidak ada apa-apa.

Namun, saat Arini hendak menarik tangannya, sesuatu menyentuh ujung jarinya. Sentuhan dingin, lembut, seperti jari-jari kecil. Sebuah sentuhan yang membuat seluruh tubuhnya membeku. Arini tersentak, menarik tangannya cepat-cepat.

Dari dalam buaian yang gelap, samar-samar terdengar bisikan, "Mama..."

Arini menjerit. Jeritan itu memenuhi seluruh rumah, memecah kesunyian malam. Ia mundur terhuyung-huyung, menabrak dinding, lalu berbalik dan berlari keluar kamar. Ia berlari tanpa tujuan, melewati ruang tamu, dapur, hingga sampai di pintu utama. Tangannya meraba kenop pintu, berusaha membukanya, melarikan diri dari teror ini.

Namun, pintu itu terkunci.

Panik melanda Arini. Ia menggebrak pintu, memutar kenop berkali-kali, tapi pintu itu tetap tak bergeming. Air matanya bercampur dengan peluh dingin yang membasahi wajahnya. Dari belakangnya, dari arah kamar bayi, ia mendengar suara langkah kaki kecil, menyeret, mendekat.

Tap... tap... tap...

Arini memejamkan mata, gemetar hebat. Ia merasa napas dingin di lehernya. Lalu, sebuah suara kecil, serak, berbisik di telinganya.

"Mama, kenapa Mama tinggalkan aku?"

Arini membuka matanya perlahan. Tepat di depannya, terpantul di kaca pintu, bukan hanya bayangan dirinya, tetapi juga bayangan lain. Bayangan seorang anak kecil, dengan mata gelap dan senyum tipis yang dingin. Anak itu berdiri di belakangnya, memegang ujung gaun Arini.

Anak itu… memiliki wajah yang sama persis dengan gambar ultrasonografi yang dulu ia simpan. Wajah janin yang seharusnya lahir.

"Aku... aku tidak pernah meninggalkanmu," bisik Arini, air matanya menganak sungai. "Aku... aku tidak bisa..."

Anak itu terkekeh pelan. Kekehannya terdengar seperti gesekan daun kering. "Mama meninggalkanku, Ma. Mama tidak pernah menginginkanku."

"Tidak! Aku menginginkanmu! Lebih dari apapun di dunia ini!" teriak Arini, suaranya pilu. Ia berbalik, berharap bisa memeluk anak itu, menjelaskan.

Tapi di belakangnya, tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding kosong.

Arini terhuyung, berlutut di lantai dingin. Pikirannya kalut, antara kewarasan dan kegilaan. Apakah ia sudah gila? Apakah semua ini hanya imajinasinya yang rusak?

Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan di kepalanya. Sentuhan lembut, membelai rambutnya. Ia mendongak. Di depannya, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih. Wajah wanita itu pucat pasi, matanya kosong, namun ada senyum tipis di bibirnya.

"Tenang, Sayang," bisik wanita itu. Suaranya terdengar jauh, seperti gema dari dunia lain. "Mama tidak meninggalkanmu."

Arini menatap wanita itu bingung. "Mama? Siapa Mama?"

Wanita itu tersenyum simpul, lalu mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamar bayi yang kini kembali tertutup rapat. "Anak kita menunggu."

Deg! Sebuah kilas balik melintas di benak Arini. Kenangan yang selama ini ia tekan, ia tolak. Kenangan akan hari keguguran itu. Ia tidak hanya keguguran. Ia... ia juga meninggal.

Malam itu, di tengah hujan badai, ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ketika kontraksi hebat datang. Mobilnya tergelincir, menabrak pohon. Perutnya terasa diremas, dan rasa sakit yang luar biasa membakar seluruh tubuhnya. Yang terakhir ia ingat adalah suara sirene ambulans yang menjauh, dan kegelapan yang menelan semuanya. Ia tidak pernah sampai di rumah sakit. Ia tidak pernah selamat.

Wanita di depannya itu… itu adalah dirinya sendiri. Arini yang dulu. Arini yang meninggal bersama dengan bayinya yang tak sempat lahir.

Tiba-tiba, suara ketukan kembali terdengar dari kamar bayi. Kali ini, ketukan itu lebih kuat, lebih mendesak. Disusul dengan tangisan yang melengking, penuh amarah.

"Mama! Aku lapar! Mama di mana?!"

Wajah Arini yang sekarang, yang berdiri sebagai hantu di rumah itu, memucat. Ia menoleh ke arah kamar bayi, lalu kembali menatap Arini yang sedang berlutut.

"Dia... dia bukan anak kita," bisik Arini (hantu). "Dia... dia bukan yang seharusnya lahir."

Arini (yang masih hidup, namun terperangkap dalam ilusi) menatap Arini (hantu) dengan tatapan kosong. "Apa maksudmu?"

Arini (hantu) menggelengkan kepalanya perlahan, air mata mengalir dari mata kosongnya. "Ketika kita... pergi. Ada sesuatu yang lain yang datang. Sesuatu yang mengisi kekosongan itu. Dia... dia menginginkan kita. Dia tidak akan membiarkan kita pergi."

Tangisan dari kamar bayi berubah menjadi tawa mengerikan. Tawa yang dingin, penuh kebencian.

Pintu kamar bayi terbuka dengan suara berderit pelan. Dari balik kegelapan, muncul sesosok bayangan. Bayangan itu tinggi, kurus, dengan tangan-tangan panjang dan cakar-cakar tajam. Matanya merah menyala, memancarkan kebencian yang mendalam.

"Mama..." suara itu menggeram, serak dan berat. Bukan suara bayi, melainkan suara makhluk tua yang keji. "Mama tidak akan pernah bisa pergi dariku. Tidak akan pernah!"

Sosok itu melangkah maju, bayangannya meluas, menelan seluruh ruangan. Arini (yang hidup) berteriak histeris, mencoba merangkak mundur. Arini (hantu) berdiri diam, menatap kosong ke arah makhluk itu.

"Dia... dia bukan anakmu," bisik Arini (hantu) lagi, suaranya putus asa. "Dia hanya mengambil tempatnya. Dia... dia memakan kita."

Makhluk itu sudah berada di depannya. Mata merahnya menatap Arini (yang hidup) dengan nafsu buas. Arini (hantu) hanya bisa melihat tanpa daya ketika cakar-cakar panjang itu meraih Arini (yang hidup), mencengkeram erat.

Teriakan Arini (yang hidup) terhenti, digantikan oleh suara rintihan tertahan. Matanya melotot, dan seluruh tubuhnya mulai memudar, seperti debu yang tertiup angin. Arini (hantu) memejamkan mata, tak sanggup melihat.

Ketika ia membukanya lagi, Arini (yang hidup) telah lenyap sepenuhnya. Hanya tersisa Arini (hantu), berdiri sendirian di tengah ruangan.

Makhluk itu kini berdiri di samping buaian, mengayunkannya pelan. Tangisannya kembali terdengar, namun kali ini, tangisan itu terdengar seperti suara anak bayi yang puas.

"Mama... sekarang Mama akan selalu bersamaku," bisik makhluk itu, lalu terkekeh. Kekehannya memenuhi seluruh rumah, dan untuk pertama kalinya, Arini (hantu) mengerti.

Ia tidak pernah bisa pergi. Ia terperangkap di rumah ini selamanya, menyaksikan "anaknya" yang tak pernah lahir itu terus ada, terus hidup, memakan setiap ibu yang datang mencarinya, yang terperangkap dalam ilusi duka. Dan yang paling mengerikan adalah, ia menyadari bahwa setiap suara tangisan bayi, setiap sentuhan dingin, setiap bisikan "Mama"... bukanlah dari anaknya yang tak pernah lahir.

Itu adalah dirinya sendiri.

Arini (hantu) menatap kosong ke arah buaian. Buaian itu terus bergoyang. Dan sesekali, dari sana, terdengar suara tawa kecil yang menyeramkan.

Bagaimana menurutmu cerita ini? Apakah sudah cukup panjang dan interaktif? Ada bagian mana yang ingin kamu diskusikan lebih lanjut?

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!