Demi bisa mendekati cinta sejatinya yang bereinkarnasi menjadi gadis SMA. Albert Stuart rela bertransmigrasi ke tubuh remaja SMA yang nakal juga playboy yang bernama Darrel Washington.
Namun usaha mendekati gadis itu terhalang masa lalu Darrel yang memiliki banyak pacar. Gadis itu bernama Nilam Renjana (Nilam), gadis berparas cantik dan beraroma melati juga rempah. Albert kerap mendapati Nilam diikuti dua sosok aneh yang menjadi penjaga juga penghalang baginya.
Siapakah Nilam yang sebenarnya, siapa yang menjaga Nilam dengan begitu ketat?
Apakah di kehidupannya yang sekarang Albert bisa bersatu dengan Cinta sejatinya. ikuti kisah Darrel dan Nilam Renjana terus ya...
Novel ini mengandung unsur mitos, komedi dan obrolan dewasa (Dimohon untuk bijak dalam membaca)
Cerita di novel ini hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat, murni dari kreativitas penulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Manusia Robot
...Happy Reading 🩷🫶...
Tiiitt!! Tiinn!! Tiinnn!!
Klakson berteriak memanggil Nilam dengan tidak sabaran. Gadis berambut hitam yang panjangnya menyentuh separuh punggung, sama sekali tidak menyadarinya, setelah lengannya dicekal Darrel, gadis itu menoleh dengan wajah terkejut.
"Cantik sih cantik tapi telinganya bolong!" omel Darrel di depan wajah Nilam yang saat itu mendongakkan kepala untuk menatap Darrel.
"Apa sih datang marah-marah!" Nilam menghempaskan lengannya dari cengkraman Darrel.
Darrel menghela napas perlahan, menelan perasaan marah yang mulai naik ke permukaan, tatapannya melembut dengan warna manik matanya yang berubah, "Kamu itu yang kenapa, di klakson berkali-kali nggak dengar juga." suaranya melembut, namun dengan perhatian yang begitu dalam.
Nilam melihat perubahan Darrel begitu cepat, lebih mudah melembut dengan tatapan sinar biru di matanya. Nilam terkesiap melihat perubahan warna mata Darrel, dari kelabu pekat menjadi biru terang. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Aku... ehm, kapan kamu manggil aku?" jawab Nilam gugup sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia mengusap tengkuknya dengan gelisah.
"Aku klakson kamu sejak tadi Nilam, kamu lupa ya... Kalau hari ini kamu mulai jadi assisten ku?" tanya Darrel mencari jawaban di manik mata Nilam yang bergerak gelisah.
"Kamu itu serius atau bercanda sih?" tanya Nilam
"Menurutmu?" Darrel balik bertanya lalu memindai Nilam dari kepala hingga ke kaki. "Kulihat kamu sudah membawa baju ganti, kenapa kamu ragu?" cecar Darrel.
"Ehmm... Rel, aku rasa ini terlalu—"
"Kamu masih berpikir ini ilusi? Hey come on Nilam! Aku sangat sangat serius dengan ini." Darrel menggiringnya ke kursi penumpang di samping kemudi, lalu ia mengitari kap mobil untuk ke kursi kemudi.
"Rel, aku nggak yakin bisa kerja di perusahaan kamu. Kita kan belum lulus SMA," ucap Nilam tanpa menoleh ke Darrel.
"Semua akan aman terkendali dan mudah selagi kamu ada di sisiku, Nilam. Jangan pernah berpaling apalagi menjauhiku mulai saat ini," kata Darrel, suaranya lebih dalam, penuh otoritas.
Kata-kata Darrel melayang di udara, berat dan kuat merasuk ke alam bawah sadar Nilam. Sikap mendominasi Darrel tidak mudah Nilam abaikan, seolah kata-kata itu sebuah penegasan dan pengukuhan Nilam akan aman bersamanya, dalam perlindungan dan kekuasaannya.
Dada Nilam tiba-tiba terasa berat, ia nyaris kesulitan menelan ludahnya sendiri dan irama jantungnya seakan terhenti sejenak, merasa terlindungi sekaligus terikat. Darrel memberikan rasa aman yang tidak pernah ia terima dari siapapun, namun dia juga menuntut sebuah kepatuhan dalam bentuk halus akan tetapi penuh ketegasan.
Nilam hanya terdiam mengatur irama jantungnya agar kembali normal, meski ia merasakan keberadaannya di samping Darrel sebuah bentuk ketidaknormalan. Secara, selama ini Darrel selalu cuek padanya dan hanya mencuri pandang dari kejauhan, seakan Nilam sesuatu yang tidak serasi jika berada di sampingnya.
"Rel, bisa nggak kita berhenti di warteg dulu, aku laper dari pagi belum makan," ucap Nilam pelan.
"Martabak?" tanya Darrel dengan mata berbinar.
Albert hanya ingat makanan bernama martabak, makanan yang pertama kali ia makan selama menjadi manusia di dalam tubuh Darrel, semenjak itu dia tidak pernah memakan apapun lagi yang di makan manusia selain darah.
"Di warteg mana ada martabak, Rel!"
"Kenapa tidak ada?!" tanyanya bingung.
"Kamu tahu arti warteg gak sih, WARung TEGal, yang di jual di sana nasi dan lauk pauk, dessert nya hanya gorengan." Nilam melihat di kiri jalan ada warteg yang terlihat bersih dan mobil Darrel bisa parkir, "Rel, berhenti di situ dulu."
Mobil menepi tepat di halaman warteg. Nilam langsung membuka pintu mobil, namun Darrel seakan melesat tiba-tiba sudah ada di depan pintu bersiap membukakan pintu untuk Nilam.
"Ka-kamu... " Nilam melongo.
"Ayo kita coba makanan wartèk itu." Ajak Darrel
"War-teg... Pakai huruf 'G' di belakangnya," Nilam menahan tawa mendengar dialek Darrel yang kaku mengucap kata Warteg.
"Wartegh!" ucap Darrel lantang, membuat pengunjung yang sedang makan menoleh ke arah mereka.
Nilam menunjuk-nunjuk etalase seperti sedang menunjuk layar touchscreen. Darrel mengikuti gerakan Nilam saat pelayan warteg menanyakan pesanannya. Hari itu dia jadi peniru ulung dengan apapun yang di lakukan Nilam.
Saat piring berisi makanan sudah di depan wajahnya, Nilam berdoa menyebutkan sebuah mantra doa purba, mantra yang pernah diajarkan Nyimas Maheswari saat ia dalam buaian ibunya.
Darrel memiringkan wajahnya memperhatikan gerak bibir Nilam yang komat kamit.
"Ong anugraha amertadi sanjiwani ya namah sohah" beo Darrel dengan suara yang pelan dan terbata.
Sontak Nilam menoleh dengan alis bertaut, "Kamu tahu bacaan doaku?!"
"Aku melihat gerak bibirmu," ucap Darrel dengan santai.
"Kok bisa sih?" Nilam keheranan.
"Gerakkan ku bisa lebih cepat dari partikel cahaya yang disebut Foton oleh John Matthew," ucap Darrel sambil memperhatikan Nilam makan.
"Huh, pembual! Udah makan sana, terlalu narsis dan halu juga tidak baik untuk kesehatan," sindir Nilam.
"Kesehatan?" Darrel memiringkan kepalanya sedikit.
"Hu'um, kesehatan kupingku." ledek Nilam lagi.
"Telingamu memang sudah bolong!" balas Darrel.
"Udah dari sananya, Rel!" sengit Nilam.
"Uhuukk... Uhuukk... ini makanan apa?! Rasanya tidak enak! Oek!" Darrel memuntahkan makanan di atas sepiring nasinya yang masih utuh.
Sontak Nilam menutup mulut Darrel, "Ya ampun Darrel!" Nilam melirik kanan kiri. "Kamu tuh, ini tempat umum nggak sopan tauk kayak gitu!" desis Nilam.
"Mmhhpp... Mmhhpp" Darrel menunjuk ke arah mulutnya.
"Diam! Jangan ngomong lagi!" ancam Nilam dengan mata melotot. Setelah di rasa Darrel tidak akan bikin ulah, Nilam mengendorkan tangannya di mulut Darrel.
"Makanan ini bau sekali Nilam" bisiknya sangat pelan.
"Kamu salah pilih menu, itu namanya jengkol dan Pete. Memangnya kamu baru melihat makanan ini?!" tanya Nilam dengan acuh tak acuh, gadis itu lanjut menyelesaikan makannya.
"Ka-kamu makan—" Darrel menutup hidungnya.
"Karena aku doyan." ucapan Nilam membuat Darrel menaikan bola matanya, hingga yang terlihat hanya bola mata berwarna putih.
Sementara di kantor cabang, Santanu, Cleo dan Leo sedang menunggu kehadiran Darrel untuk belajar mengelola perusahaan di kantor cabang. Cleo terus mondar mandir menunggu wajah putranya nongol di balik pintu.
"Pa, mama rasa Darrel hanya main-main menjawab tawaran kamu kemarin. Paling hari ini dia pulang malam lagi seperti biasa." keluh Cleo.
"Kita tunggu tiga puluh menit lagi mam, sabar." jawab Santanu.
Dua puluh menit berlalu, Darrel dan Nilam sudah sampai di kantornya, langkah keduanya begitu selaras, seirama ketukan kakinya menyentuh lantai. Darrel membawa jemari Nilam dalam genggamannya, demi menyalurkan rasa aman dan nyaman untuk Nilam.
Seketika kegugupan Nilam perlahan memudar karena sikap Darrel, pemuda yang masih mengenakan baju sekolah itu tersenyum dengan manis. Nilam mengalihkan pandangannya ke bawah menatap ujung sepatu pantopelnya yang sudah terlihat lusuh.
"Selamat siang... " sapa Darrel setelah membuka pintu ruangan pimpinan kantor cabang.
Tiga pasang mata menatap mereka dengan tatapan terkesima sesaat. Santanu segera merubah sikapnya menjadi tegas. Dia berdiri lalu berkacak pinggang dan menatap Darrel dan Nilam secara bergantian dengan wajah kaku.
"Baru hari pertama kerja sudah terlambat! Bagaimana karyawan bisa menghargai kalian nantinya." Santanu melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore.
"Pa, sudahlah... Yang penting mereka sudah sampai," cegah Cleo saat suaminya akan mengomel lagi.
"Aku tidak suka seperti ini, tentukan sekarang jam kerja kami. Papa tahu aku pulang sekolah jam berapa. Aku ingin memulai kerja jam lima sore." Tegas Darrel mengatakan keinginannya.
Mata Santanu melebar dengan tangannya mengepal, disampingnya Cleo mengusap dada suaminya dengan lembut.
"Kamu... Lebih baik tidak usah! Perusahaanku bisa bangkrut jika dipimpin bocah gendeng seperti kamu!" maki Santanu.
"Pa! Sembarang aja anak sendiri dibilang gendeng! Kamu yang meminta anak itu terjun ke dunia bisnis, sekarang kamu menjilat lidahmu sendiri." Cleo berbalik ada di pihak Darrel.
"Silahkan sa—" ucapan Darrel terpotong karena Nilam memberi isyarat ia ingin bicara.
"Maafkan kami, Om. Gara-gara saya, Darrel jadi datang terlambat karena saya harus latihan menari dulu untuk acara pentas seni sekolah." Ucap Nilam dengan wajah menunduk.
"Kenapa kamu yang minta maaf? Kamu nggak salah Nilam." Protes Darrel.
Lalu ia mengalihkan pandangannya ke papanya, "Tuan Santanu yang terhormat, anda belum melihat kinerja kami tapi sudah menilai kami dengan tidak profesional. Anda belum menetapkan jam kerja dan jadwal perjanjian kita hari ini. Ingat kata-kata anda pak Presdir, pulang sekolah kami bisa memulai bekerja, apa di kalimat itu anda menetapkan jam kerja dan jam pertemuan kita hari ini?" cecar Darrel.
"Ma, lihat itu anakmu! Bela saja terus dia... Dia menyebutku 'Anda', Huh!" protes Santanu
"Rel, tidak baik ngomong seperti itu. Meskipun kamu ada di posisi yang benar." Nilam menasehati.
Leo tertawa pelan, "hahah... Saya jadi ingat saat anda memulai meneruskan perusahaan papa Cleo ini, Tuan Santanu. Apa anda tidak ingat?!" ucap Leo.
Leo seperti menemukan Santanu di usia muda, sangat keras kepala dan susah diatur. Dia sebagai orang kepercayaan yang sudah bekerja di FW Holding puluhan tahun, tahu betul bagaimana sejarah sang menantu tuan Felix Washington itu meniti karier di dunia bisnis.
"Leo, jangan bahas masa lalu!" sanggah Santanu.
"Selamat tuan muda Darrel, anda bisa menjadi pengusaha sukses seperti papa anda. Mari kita mulai bekerja." Leo mengabaikan Santanu yang masih meredakan emosinya.
Darrel dan Nilam mengikuti ke ruang kerja dimana Darrel akan bertugas. Hanya butuh waktu satu jam saja, Darrel sanggup menyelesaikan membaca tumpukan dokumen dan memberi masukan untuk langkah-langkah yang harus diambil perusahaan untuk memutuskan meneruskan kontrak kerja atau tidak dengan para investor.
"Dia itu manusia atau robot sih, bacanya cepat sekali!" gumam Nilam.
Jam lima sore kurang lima menit, tiga orang yang tadi bergeser ke ruang kerja yang sempit kini kembali ke ruang kerja Santanu.
"Dia lebih baik dari anda, tuan Santanu." Bisik Leo
"Leo, apa kamu ingin ku pecat?!" ancam Santanu.
Leo menaikan bahu dengan santai, "Silahkan saja, aku sudah tua dan lelah bekerja, yang pasti hari ini aku bahagia karena telah menemukan penerus tuan Felix. Kinerja dan pemikirannya luar biasa," puji Leo.
"Darrel hanya membutuhkan waktu tiga sampai sepuluh detik untuk membaca setiap dokumen, tuan Santanu. Mirip sekali dengan mertua anda." Imbuhnya lagi.
"Apa aku bilang, anakku memiliki gen keluargaku lebih banyak, kenakalan dan keras kepalanya Darrel itu diturunkan dari kamu, Pa." sinis Cleo seraya memeluk Darrel dengan manja.
"Anak mama... " puji Cleo
"Puji juga asistenku, Ma." pinta Darrel yang masih menggenggam tangan Nilam.
"Kuberi waktu tiga bulan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan." tantang Santanu.
"Siapa takut?! Oke deal!" jawab Darrel dengan penuh keyakinan.
B e r s a m b u n g...
aku yang polos ini... pengen ngintip dikit 🙈🤭
malah nyanyi... gw 🙈
😵