Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Memohon
LPA Swiss – Malam Hari
Salju tipis turun, menutupi trotoar kota Lausanne. Jet pribadi Bayu telah mendarat dua jam lalu. Tak ada waktu untuk hotel, bahkan tak sempat atau mungkin tak terpikirkan untuk berganti pakaian. Ia hanya ingin segera memastikan. Dadanya sesak oleh satu nama yang ia simpan selama dua dekade—Laras.
Ia berdiri di depan gedung LPA, wajahnya terlihat tenang meski hatinya bergetar. Tangannya mengetuk pintu kaca. Seorang wanita setengah baya, berwajah tegas dan berseragam LPA, membukakan pintu.
“Maaf, ini sudah malam. Kami tidak menerima tamu di luar jam kunjungan,” katanya sopan namun tegas.
Bayu sedikit menunduk sebagai bentuk hormat. “Saya tidak akan lama. Saya hanya ingin bertemu seseorang... wanita yang bernama Larasati atau Ayla.”
Mata wanita itu sedikit menyipit. “Tidak ada.”
“Saya mohon... Saya tidak punya niat buruk. Saya hanya ingin bertemu dengannya. Ini sangat penting.” Bayu mengeluarkan sebuah foto yang telah lama ia simpan dalam dompetnya. Foto itu lusuh namun masih jelas: Laras dua puluh tahun lalu, tersenyum dalam balutan gaun sederhana pemberiannya.
Saat wanita itu melihat foto tersebut, ekspresinya berubah. Tegas. Waspada. Dingin. Ia mengambil napas, lalu menggeleng keras.
“Tidak ada orang yang Anda cari di sini.”
“Tapi saya tahu dia di sini. Saya tahu dia menggunakan nama Ayla. Tolong...” suara Bayu terdengar parau, luka masa lalu menggantung di setiap katanya.
Wanita itu berdiri makin tegak. “LPA tidak sembarangan memberikan informasi. Apalagi pada orang asing di malam hari. Silakan pergi, atau saya akan memanggil keamanan.”
Bayu mengepalkan tangan, tapi tetap menjaga nada bicaranya. “Saya mohon... sekali ini saja. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengannya. Saya tidak akan memaksakan apa pun.”
“Tidak.”
Dari ujung lorong, Elise—gadis dua puluh tahunan yang baru saja kembali dari dapur—melihat keributan kecil itu. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali pria itu dari kejauhan.
Orang Asia. Tegap. Meski rambutnya mulai memutih di pelipis, wajahnya...
Elise buru-buru naik ke lantai dua, mengetuk pintu kamar Ayla.
“Kak Ayla... Ada seseorang yang mencarimu.”
Ayla yang sedang membaca berkas terdiam. “Siapa?”
“Laki-laki. Paruh baya, tapi... masih sangat tampan. Wajahnya seperti orang Asia. Dia menyebut dua nama: Larasati dan Ayla.”
Buku di tangan Ayla terjatuh. Napasnya tercekat. “Bayu...”
Elise mengamati perubahan itu. Tatapan Ayla kosong sesaat, lalu ia bangkit dan mendekat ke tirai, menyibaknya perlahan, mengintip ke bawah.
Dan di sanalah dia.
Bayu.
Masih berdiri dengan mata penuh harap, menggenggam foto usang yang membuat dada Ayla seperti diremukkan.
Hatinya memberontak untuk berlari menemuinya, tapi langkahnya tertahan.
Di bawah, suara pimpinan LPA masih terdengar lantang. “Ini LPA, bukan tempat reuni masa lalu. Wanita-wanita di sini ingin damai. Jika Anda membuat keributan lagi, kami akan memanggil pihak berwenang.”
Bayu menatap lurus ke arah bangunan. “Tolong sampaikan padanya... saya hanya ingin bicara. Saya sudah mencarinya dua puluh tahun. Saya tak ingin memaksa. Saya hanya ingin tahu... apakah dia bahagia.”
Ayla berdiri kaku. Telinganya berdenging.
“Dua puluh tahun... kau masih mencariku? Setelah semua luka, semua kebohongan, semua pengkhianatan... kau masih memanggil namaku?”
Tangannya gemetar, menggenggam tirai. Tapi ia tidak bergerak. Tidak turun.
Elise menatap Ayla.
Ada kilau di matanya, seperti mengerti sesuatu yang dalam.
“Dia... pria itu, Kak. Orang yang selama ini Kakak cintai, ya?” tanyanya lirih.
Ayla tak menjawab.
Hanya air matanya yang mengalir perlahan, membasahi pipi.
Sementara di luar, Bayu berdiri beberapa saat lagi, sebelum akhirnya menunduk pelan.
Tak ada harapan.
Tak ada jawaban.
Ia berbalik dan melangkah pergi. Tapi sebelum membelok ke jalan, ia menoleh sekali lagi—ke arah jendela lantai dua yang tertutup tirai tipis. Hatinya merasakan, wanita yang ia cintai ada di sana.
Dan Ayla tahu...
Ia yang kini berpindah ke sisi jendela yang lain tahu, Bayu sedang melihat ke arahnya.
Elise berdiri tak jauh di belakang Ayla, memerhatikan tubuh ramping itu yang membeku di depan jendela kaca besar. Punggungnya tegak, tapi kedua bahunya tampak seperti menahan beban yang tak kasat mata. Di luar sana, mobil hitam itu perlahan menjauh, menghilang di balik tikungan jalan LPA yang dikelilingi pepohonan.
Suara mesin yang memudar itu masih menggema di kepala Ayla. Dadanya sesak. Seolah satu bagian dirinya ikut terbawa pergi bersama mobil itu.
“Kak…” suara Elise pelan, hampir seperti bisikan.
Ayla tak menjawab. Matanya masih terpaku pada jalanan kosong di luar sana. Hanya sisa garis merah lampu belakang mobil Bayu yang kini telah benar-benar lenyap.
Elise menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi akhirnya ia maju, mendekat, berdiri di sisi Ayla.
“Kenapa… kau tidak menemuinya?” tanyanya pelan, hati-hati. “Dia datang dari jauh. Wajahnya terlihat... seperti seseorang yang kehilangan sesuatu untuk waktu yang sangat lama.”
Ayla mengedip perlahan. Kelopak matanya panas.
“Karena memang tak seharusnya kami bertemu,” jawabnya lirih, nyaris tanpa suara.
Elise menoleh, menatapnya. “Tapi kenapa? Dia memohon, Kak. Aku belum pernah melihat pria dewasa memohon seperti itu... hanya untuk bertemu seseorang. Hanya untuk melihatmu.”
Ayla menarik napas panjang, tapi tak pernah bisa benar-benar menuntaskannya. Seolah paru-parunya menolak menerima oksigen.
“Dulu…” gumamnya, “aku pernah berharap bisa hidup bersamanya. Bersandar di bahunya setiap malam. Menyambut pagi dengan namanya.”
Ia menoleh perlahan, menatap Elise dengan mata yang berkabut.
“Tapi harapan itu sudah lama kukubur. Dan beberapa luka, Elise... tidak seharusnya dibuka lagi hanya karena pelakunya datang mengetuk pintu di tengah malam.”
Elise terdiam. Kata-kata Ayla lebih dingin dari salju di balik jendela, tapi juga rapuh seperti kaca yang retak.
“Kalau aku menemuinya sekarang...” suara Ayla nyaris berbisik, “…aku takut semua yang kubangun selama ini akan runtuh. Dunia yang kutata pelan-pelan, kehidupan yang akhirnya bisa kupanggil milikku—semua akan hancur hanya karena satu tatapannya.”
Ia masih menatap ke arah jendela. Mobil itu sudah tak terlihat, tapi bayangnya masih tergantung di retina.
“Aku hidup di sini, Elise. Dengan nama baru, harapan baru, dan luka yang coba kututup sendiri. Tapi dia... dia adalah pintu yang selalu terbuka pada masa lalu yang ingin kulupakan.”
Ayla menarik napas panjang. Tangannya mengepal, seperti menahan sesuatu yang ingin meluap.
“Aku takut... aku akan lemah. Aku akan kembali. Padahal... aku tahu, aku tak punya tempat di sisinya. Ayahnya tak pernah merestui hubungan kami. Dan sekarang… dia sudah memiliki pendamping.”
Kepalanya sedikit menunduk, suaranya pecah. “Aku tak ingin menjadi orang ketiga. Aku tak ingin dikenal sebagai perusak rumah tangga orang lain.”
Tangis itu nyaris pecah, tapi tak ada setetes air mata pun yang jatuh. Air mata Ayla seperti telah membeku oleh waktu dan terlalu sering ditahan, hingga kini hanya tinggal perih yang mengendap.
Elise mengamati wajah di hadapannya. Tenang tapi jelas menyimpan badai. Ia tak berkata apa-apa. Tak bertanya lagi. Tak menasihati.
Ia hanya berdiri di sana, menyadari satu hal penting—
Ini bukan sekadar cinta lama yang datang kembali. Ini adalah luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh…
Dan ketakutan yang tak semua orang bisa pahami.
Hotel dekat LPA, senja hari.
Kabut menggantung rendah, menyelimuti kota dengan keheningan yang muram. Dari balkon kamar hotelnya di lantai sembilan, Bayu menatap ke kejauhan—gedung LPA berdiri di sana, samar, nyaris tertelan kabut. Tapi matanya tak salah. Di balik bayang bangunan itu, ada seseorang yang terus menghantui pikirannya.
Laras.
Atau Ayla.
Ia menarik napas panjang, menyesap sedikit kopi yang sudah hambar, lalu merogoh ponsel dari sakunya. Dengan gerakan cepat, ia membuka galeri dan memilih satu foto: potret lawas Laras.
Satu kali kirim.
Lalu ia menekan nama di daftar kontaknya: Arvin.
Nada sambung hanya dua kali sebelum suara gugup menyahut dari ujung sana.
“Pak Bayu?”
“Lihat foto yang baru kukirim.”
"Namanya Laras, tinggal di LPA Swiss. Aku butuh tahu, kamar berapa dia. Di lantai berapa. Paling lambat malam ini."
Hening sejenak.
“Pak—maaf, tapi… itu melanggar privasi, Pak. Kita bicara soal tempat perlindungan perempuan, dan—”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu