Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VISIT KE BOGOR
Malam itu, di sebuah kamar hotel bintang empat, tubuh Roni terhempas ke ranjang dengan napas terengah. Raisa, yang masih setengah telanjang, menaiki tubuhnya lagi sambil tersenyum penuh hasrat.
“Kamu belum boleh istirahat sayang.” bisiknya di telinga Roni, sebelum kembali mencumbu lehernya dengan agresif.
Roni mengerang pelan, antara kelelahan dan ketagihan. Malam ini, Raisa sungguh tidak seperti biasanya. Liar, panas, dan nyaris tak memberi jeda. Mereka telah melewati satu ronde panjang, tapi Raisa tampak masih ingin lebih. Roni kewalahan, namun egonya sebagai laki-laki menolak untuk menyerah. Mereka kembali bergerak dalam irama panas yang menggema di ruangan, desahan dan erangan menjadi musik malam itu.
Beberapa saat kemudian, dalam pelukan basah keringat, mereka terbaring lemas dibalut selimut. Raisa menatap Roni dengan sorot mata berbeda, lebih lembut, lebih personal.
“Ron…” gumamnya.
Roni menoleh. “Hm?”
“Aku pengen… kamu datang ke rumahku yah. Temuin orang tuaku. Kamu harus lamar aku, paling nggak kita tunangan dulu. Aku cuma pengen kepastian.”
Roni menatap langit-langit sebentar, lalu mengangguk. “Akhir bulan ini. Aku akan bawa orang tuaku ke rumahmu.”
Senyum Raisa mengembang. Ia memeluk Roni lebih erat, lalu terkekeh kecil. “Kamu manis banget malam ini…”
Ia kembali naik ke atas tubuh Roni, kali ini dengan lebih menggoda. Tapi sebelum melanjutkan, Raisa meraih ponselnya dan menunjukkan gambar tas branded keluaran terbaru.
“Ini bagus nggak?” tanyanya manja.
Roni hanya melirik sekilas. “Hmm… mahal ya?”
“25 juta. Tapi ini edisi terbatas. Aku pengen banget…” Raisa memainkan ujung rambutnya, lalu mengecup pipi Roni. “Please, Ron… buat hadiah tunangan.”
Melihat ‘servis’ Raisa malam itu, Roni tidak berpikir panjang. Ia langsung membuka aplikasi mobile banking dan mentransfer uang tersebut.
“Udah. Cek rekeningmu.”
Raisa tertawa girang dan makin bringas, mendorong tubuh Roni ke balik bantal. Malam itu belum berakhir.
**
Sementara itu, di tempat berbeda…
Jam setengah lima pagi, ponsel Febi bergetar pelan. Dengan mata yang masih berat, ia menggapainya dari meja kecil di samping tempat tidur.
BOS ARKAN :
“Pagi, Febi. Siap-siap ya. Kita berangkat ke Bogor jam 7. Ada site visit ke proyek villa.”
Febi mengerjap. “Lho, bukannya biasanya Toni yang ikut Pak?”
Balasan cepat menyusul.
“Toni sakit perut sejak subuh, katanya mules parah. Kali ini kamu yang nemenin. Pakai baju santai aja ya. Mungkin sekalian jalan-jalan sore nanti.”
Febi menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur. Masih belum sepenuhnya paham kenapa bosnya itu mengajaknya.
Setelah membersihkan diri, ia turun ke ruang makan. Bu Anita sudah menata meja dengan menu sederhana. Vania, seperti biasa, sibuk dengan ponsel.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu memecah pagi yang tenang.
“Aku bukain!” seru Vania.
Saat pintu dibuka, matanya langsung membulat. Seorang pria berdiri di depan dengan celana chinos krem, kemeja lengan pendek hitam yang membingkai tubuhnya yang tegap, dan kacamata hitam di wajah Arkan. Aura CEO-nya sedikit memudar, tergantikan sosok pria elegan yang sangat… tampan.
Vania terpana. “Eh… Pa…Pak Arkan?”
Arkan menaikkan alis. “Vania, kan? Febi ada?”
Sebelum bisa menjawab, Febi muncul di belakangnya. “Astaga, Bapak udah sampai?! Ini belum jam 7, lho.”
Arkan menurunkan kacamata hitamnya dan tersenyum. “Biar gak telat. Tapi… maaf, saya datang kepagian.”
Vania cepat-cepat berkata, “Masuk dulu aja, Pak! Sarapan bareng yuk!”
“Eh….” Febi buru-buru memberi kode dengan matanya, tapi Vania pura-pura tak paham dan malah menarik Arkan masuk.
Awalnya Arkan tampak sungkan, tapi Bu Anita menyambutnya hangat. Pak Beni juga mengangguk sopan. “Mohon maaf kalau sarapannya ala kadar begini, Pak.”
“Justru ini yang saya rindukan dari rumah,” jawab Arkan, tulus.
Suasana sempat canggung, tapi Vania lihai mencairkannya dengan lelucon-lelucon receh. Arkan pun ikut tertawa, membuat Febi ikut tersenyum geli.
Setelah pamitan, Febi dan Arkan berangkat menuju Bogor.
**
Dalam perjalanan…
Mobil melaju pelan menembus jalanan pagi yang belum terlalu padat. Febi duduk diam sambil memandang keluar. Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi.
Roni – Panggilan masuk.
Arkan sempat melirik sekilas. Ia tak berkata apa-apa, hanya melihat bagaimana ekspresi Febi berubah sedikit muram.
“Kalau ganggu, matiin aja.” kata Arkan pelan, mencoba membuka obrolan.
Febi tersenyum kecil. “Iya, gangguan dari masa lalu.”
“Kalau gangguan itu ngotot masuk ke masa depan kamu, kasih tahu. Nanti saya bantu jagain.”
Febi menoleh, tak menyangka Arkan bisa berkata seperti itu. Untuk beberapa detik, mereka saling bertatapan. Arkan cepat-cepat mengalihkan pandangan, merasa terlalu jujur.
Namun dalam hati, ia tahu… senyum Febi tadi benar-benar cantik.
**
Di tempat lain, rumah Roni…
Suara keras terdengar dari ruang tengah.
“Roni! Mana uang lima juta?! Arisan jatuh tempo hari ini!” teriak Bu Sekar.
Roni keluar dari kamar dengan wajah lelah. “Lho Bu, minggu lalu kan aku udah kasih tiga juta. Jangan boros-boros.”
“Jangan pelit sama orang tua Ron! Kamu mau jadi anak durhaka?”
Roni menghela napas panjang. “Ya udah, bentar.”
Tak lama, Raisa datang mengenakan blazer kerja dan rok mini. Penampilannya langsung membuat Pak Prabu mengerutkan dahi.
“Kamu ke kantor dengan pakaian sekecil itu?”
Namun Bu Sekar segera membela. “Sudah, Pak! Ini zaman sekarang. Outfit modern begitu.
Bukan kayak Febi yang kampungan itu.”
Raisa menyeringai puas, lalu duduk manja di sebelah Roni.
“Iya Om, ini juga udah baju aku yang paling bagus. Raisa cantik nggak Tante?” katanya sambil mencubit pipi Roni.
Bu Sekar tertawa. “Cantik banget Raisa sayang.”
Pak Prabu hanya mendengus, lalu masuk ke dalam kamar.
Masih di pagi yang sama…
Motor melaju kencang menuju sekolah. Angin pagi menyapu wajah mereka, tapi entah kenapa jantung Vania terasa hangat. Ia suka berada di belakang Marko. Nyaman, aman.
Sesampainya di halaman sekolah, Marko turun duluan dan mematikan mesin. Ia berbalik dan dengan lembut membuka helm yang dipakai Vania. Tangannya pelan, matanya menatap wajah Vania dengan senyum kecil.
“Pelan-pelan, nanti rambut lo kusut.” goda Marko.
Vania nyengir. Tapi sebelum sempat membalas, suara tumit sepatu menghantam lantai koridor dengan cepat menghentikan momen itu.
Tasya.
Dengan wajah masam dan napas cepat, ia menghampiri mereka. Tanpa sepatah kata pun, ia menarik helm dari tangan Marko dan melemparkannya ke tanah.
BRAK.
Vania membelalak. “Eh….GILA LO, YA?!”
Marko kaget. “Sya, apa-apaan sih lo?!”
Helm itu jatuh keras di trotoar, terdengar bunyi retakan. Vania segera memungutnya dan memeriksa. Bagian visor-nya pecah.
“Itu helm kesayangan gue!” bentak Vania, matanya membara. “LO INI KENAPA?!”
Tasya, masih menahan emosi, menunjuk Vania tajam. “Karena lo KEGATELAN! Gak bisa jauh-jauh dari Marko, ya?! Nempel terus kayak lem!”
Suasana langsung jadi pusat perhatian beberapa siswa yang baru datang.
“Gue risih liat lo ngekor mulu sama Marko!” Tasya melanjutkan, nadanya tinggi. “Padahal lo tahu Marko itu dulu pacar gue!”
Vania terdiam. Tapi matanya tak gentar.
Sebelum Vania menjawab, Marko yang menyela. Dengan nada keras dan jelas.
“Tasya, SADAR ya! Kita udah gak punya hubungan apa-apa lagi. Kita udah selesai dari tiga bulan lalu!”
Tasya menoleh ke arah Marko, matanya berkaca-kaca.
“Tapi… gue masih sayang lo, Ko…” suaranya lirih. “Gue masih bisa berubah… gue bisa lebih
baik… gue lebih cantik dari Vania. Lo tahu itu…”
Vania mendengus. Tapi Marko tetap tenang, meskipun rahangnya mengeras.
“Bukan soal cantik, sya.” katanya datar. “Tapi gue gak butuh drama lagi dalam hidup gue.”
Tasya menunduk. Beberapa teman sudah mulai berbisik-bisik.
Vania menatap Tasya dengan sorot campur aduk. Marah, iba, dan juga muak.
“Lain kali, kalo lo mau marah, jangan jadiin barang orang pelampiasan, ya,” ucap Vania dingin sambil menenteng helmnya yang rusak.
Marko menuntun Vania masuk ke dalam sekolah. Sementara Tasya berdiri sendiri di halaman, dengan mata yang akhirnya meneteskan air mata pertama pagi itu.