NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik

Pagi itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Suasana Desa Rambahan mendadak senyap. Bahkan ayam jantan yang biasanya berkokok ribut pun seperti kehilangan suara. Langit kelabu menggantung, dan udara beraroma tanah basah.

Reno baru saja keluar dari rumah ketika suara gemuruh roda kayu terdengar dari arah jalan utama desa. Semua orang yang sedang duduk di depan rumah masing-masing ikut menoleh.

Sebuah gerobak kayu tua ditarik dua kerbau tambun melaju perlahan, diiringi derak kayu dan suara ringkikan aneh dari lonceng kecil yang tergantung di leher kerbau. Di atasnya duduk seorang lelaki dengan jubah panjang warna ungu pudar dan topi lebar penuh hiasan manik-manik.

“Siapa tuh?” bisik Ajo dari balik semak, sambil memeluk sekarung singkong.

Aris yang sedang mengunyah gorengan berbisik, “Wah, cosplay penyihir?”

Gerobak itu berhenti tepat di depan balai desa. Lelaki itu turun pelan, lalu membungkuk dalam.

“Aku BAHRI. Dukun dari Tanjung Layar. Aku datang karena langit memanggil, dan bumi telah memberi tanda.”

Pak Leman keluar dari balai desa, memasang wajah serius. “Kami tak undang dukun dari luar.”

Bahri tersenyum sambil mengeluarkan seikat daun kelor dari dalam jubahnya dan menyerahkannya kepada Pak Leman.

“Tapi kalian akan butuh ini. Daun kelor yang tumbuh di makam tua. Pelindung dari cahaya palsu.”

Reno melangkah maju. “Tunggu. Bagaimana kau tahu soal cahaya palsu?”

Bahri menunjuk langit. “Bintang merah. Ia hanya muncul saat dua dunia bersinggungan. Dan aku datang sebelum gerbang itu dibuka.”

Bahri kemudian tinggal di rumah tua kosong dekat lapangan. Meski penampilannya nyentrik, ia mulai menarik perhatian warga karena beberapa ucapannya terbukti benar. Seperti ketika ia menyuruh warga menggantung kantong garam di jendela—malam itu suara bayi menghilang.

Namun, tingkahnya kadang membuat orang menahan tawa.

Suatu pagi, Bahri terlihat sedang berdialog serius dengan pohon pisang. Warga mengintip dari kejauhan.

“Dia lagi ngapain tuh?” tanya Ucup.

“Kayaknya lagi interogasi pohon,” bisik Damar.

Ajo nyeletuk, “Pohon pisangnya pasti ngaku, ‘Saya bukan pelaku, Pak Dukun!’”

Bahri mendadak menoleh. “Kalian mengintip ya? Sini bantu. Pisang ini menyembunyikan energi lama. Dia malu ngaku.”

Mereka semua tertawa, namun tetap ikut mendekat.

Malam itu, Bahri menggelar lingkaran pelindung di lapangan desa. Semua pemuda diminta duduk melingkar sambil memegang satu daun kelor.

“Kalau ada yang mencium bau darah, jangan bergerak. Itu pertanda Rakasa mengendus kalian,” kata Bahri.

Ucup tiba-tiba angkat tangan, “Pak Dukun, ini saya cium bau kentut, bukan darah.”

Damar langsung menuding Ajo, “Lu ya! Makan pete nggak bilang-bilang!”

Suasana jadi pecah, tawa menggema di tengah malam mencekam. Tapi Bahri hanya tersenyum, membiarkan ketegangan mencair sejenak.

Setelah suasana kembali hening, ia menabur abu hitam ke arah timur. Angin mendadak berhenti.

Lalu, suara seperti napas panjang terdengar dari bawah tanah. Tak lama, api kecil menyala di tengah lingkaran, meski tak ada bahan bakar.

“Dia sudah mendekat,” kata Bahri pelan. “Rakasa merasai setiap detak jantung yang takut.”

Reno menggenggam erat daun kelor di tangannya. Ia melirik kawan-kawannya. Meski tadi sempat bercanda, kini wajah mereka berubah serius.

Di kejauhan, Telaga Peteng bergetar. Kabutnya bergerak memutar seperti dipanggil oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari Palasik.

Pagi menjelang dengan langit yang pucat. Embun masih menggantung di ujung daun ketika suara lonceng kecil dari leher kerbau Bahri kembali terdengar. Kali ini ia menuju ladang tua di ujung selatan desa—tempat di mana dulunya menjadi sumber hasil tani terbaik warga, namun kini ditinggalkan karena tanahnya dianggap “dingin.”

Bahri melangkah pelan, ditemani Reno, Ajo, Aris, dan tentu saja Ucup dan Damar yang tetap cerewet meskipun suasana makin ganjil.

“Eh Ren, ladang ini tuh dulunya ladang siapa sih?” tanya Damar sambil melirik ilalang tinggi.

“Dulu milik Simbah Gimin, tapi sejak cucunya ketarik ke sumur pas panen jagung... tempat ini nggak pernah dipake lagi,” jawab Reno, wajahnya serius.

Ucup mengangkat alis. “Lah... cucunya ketarik ke sumur? Terus ke mana?”

Ajo menjawab datar, “Nggak pernah ditemukan. Sumurnya udah ditutup, tapi tanahnya tetap terasa aneh.”

Mereka berhenti di tengah ladang. Bahri mengamati tanah dengan mata menyipit. Ia jongkok, mengusap tanah dengan ujung jubahnya, lalu bangkit cepat.

“Jejak hitam,” gumamnya.

Di bawah rerumputan kering, tergurat bekas telapak... bukan manusia, bukan juga hewan. Bentuknya seperti tangan, tapi memiliki tiga jari besar dengan cakar panjang.

Bahri berbisik, “Rakasa telah menginjakkan kakinya di sini.”

Angin mendadak berhenti. Ucup, yang biasanya nyablak, kini diam sambil celingukan.

Damar menelan ludah. “Kita balik yuk?”

Bahri justru berjalan memutar, menancapkan tujuh batang lidi berhiaskan benang merah dan daun sirih. Ia lalu menaburkan garam dari kantong kecil di ikat pinggangnya.

“Tempat ini perlu diikat, agar dia tak bangkit penuh sebelum waktunya.”

Reno membantu Bahri menggali lubang kecil untuk menanam jimat. Tapi saat cangkul mengenai batu besar, terdengar bunyi dentuman logam.

Ajo membungkuk, membersihkan tanah. “Ini kayak... tutup besi.”

Mereka menggali lebih dalam, dan betul—sebuah penutup bundar dari besi tua, berkarat dan berat.

Bahri tercengang. “Gerbang kecil. Di bawahnya mungkin jalur yang dulu digunakan oleh para penjaga zaman purba.”

Reno mengintip celah kecil. Gelap dan dalam. Dari dalamnya keluar hawa panas.

Ucup mendadak nyeletuk, “Kayak bau semur daging yang kelamaan ditutup.”

Aris mendesis, “Lu lapar mulu, Cup!”

Tawa kecil meredakan ketegangan. Tapi tak lama, suara desir pelan terdengar... seperti sesuatu merayap dari dalam tanah.

“Jangan buka penuh!” teriak Bahri tiba-tiba.

Namun tanah di sekeliling mereka mulai bergetar. Dari sela-sela celah logam, asap hitam merambat naik, membentuk semacam wajah samar.

Wajah itu menyeringai.

Dan dari balik kabut, terdengar bisikan rendah:

“Sudah waktunya...”

Mereka semua mundur cepat. Bahri segera menghamburkan segenggam abu ke arah lubang, dan mendadak api kecil muncul, membakar uap hitam.

Wajah samar itu menjerit tanpa suara, lalu menghilang ke dalam celah.

Bahri menutup kembali lubang itu dengan daun pisang dan tanah merah. “Satu dari tujuh gerbang kecil sudah terasa getarannya. Kita harus segera temukan enam lainnya.”

Reno bertanya, “Lalu bagaimana caranya?”

Bahri menatap langit. “Kita harus mengikuti arah pergerakan kabut. Ia akan menunjuk pada tempat yang tak mau disentuh angin.”

Dalam perjalanan pulang, mereka melewati rumpun bambu. Ucup mendadak berseru, “Itu... ada yang berdiri di antara pohon bambu!”

Semua menoleh.

Sosok hitam tinggi, berdiri diam tanpa gerakan. Tapi saat Ajo berani melangkah maju... ternyata hanya boneka jerami. Namun anehnya, boneka itu memiliki kalung dari rambut manusia.

Aris meludah. “Ini udah nggak lucu. Siapa yang naruh beginian?”

Bahri mendekati boneka, mengamati rambutnya.

“Ini rambut perempuan... dan baru dicabut kurang dari dua hari lalu.”

Reno mencatat semua itu. Boneka jerami, gerbang bawah tanah, jejak kaki cakar tiga jari.

Desa mereka kini bukan lagi hanya kampung biasa. Ia telah menjadi simpul antara dunia yang terlihat dan dunia yang terlupakan.

Dan Palasik hanyalah permukaannya saja.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!