NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 8 - Satu Pesan

Sekarang apa lagi?

Negosiasi gagal total. Aku harus memikirkan hal yang masih belum aku pahami. Rasanya, semakin jauh melangkah ... potongan petunjuk yang mengarah pada suatu hal semakin rumit.

Jikalau aku membicarakan masalah ini pada ibu dan ayah, mungkin mereka akan semakin membenciku—menekanku untuk jangan membuat ulah.

Dan hari itu datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Hari yang paling ingin aku hapus dari kalender—hari di mana aku akan menjadi pengantin pengganti.

Di belakangku, seorang penata rias membetulkan kain tipis yang menjuntai dari kepala hingga punggungku. “Nona Soraya, Anda terlihat sangat cantik,” katanya lembut.

Aku hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan tidak tahu perasaan seperti apa yang seharusnya kurasakan.

Kepalaku menoleh sekilas padanya. “Boleh tinggalkan aku sendirian sebentar?”

Dia mengangguk patuh, berpamitan dengan sopan. Usai perempuan itu pergi, buru-buru aku mendekat ke arah pintu—menguncinya, berharap aku memiliki waktu untuk diriku sendiri, sebelum mereka datang menjemputku.

“Hufft!” Mataku terpejam, punggungku bersandar tepat pada pintu, merasakan dentum dalam dada dengan napas yang menderu.

Tidak ada pesta megah, tidak ada ratusan tamu yang menghadiri. Hanya sebuah ruangan sederhana dengan dekorasi minimalis, dipenuhi oleh keluarga inti dan beberapa orang yang dianggap penting.

Tidak ada media, tidak ada publikasi, dan yang paling penting ... tidak ada jalan keluar bagiku.

Aku melangkah pelan, kembali menuju cermin besar di depan sana—yang telah disiapkan untukku. Jari-jariku menggenggam erat kain rok panjang yang mengalir lembut ke lantai, berusaha meredam gemetar yang mulai menyusup ke dalam sendi-sendi tubuhku.

“Soraya?”

Aku spontan menoleh, pada pintu yang diketuk oleh seseorang di luar sana. Suaranya milik perempuan.

“Lima belas menit lagi. Nona sudah siap, kan?”

Itu suara perias tadi.

“Ya, aku masih perlu, eum ... membenarkan sesuatu.” Kepalaku mendadak menghitam, tidak bisa memikirkan alasan yang cocok.

“Apa riasannya ada yang kurang? Atau—”

“Tidak, bukan begitu,” potongku cepat, “aku hanya butuh beberapa menit lagi. Nanti sebentar lagi aku keluar.”

“Baiklah, saya dan yang lainnya menunggu di depan, Non.”

Aku mengangguk meski dia tak melihatnya. Suara derap langkah kakinya mulai terdengar menjauh.

Beberapa saat setelahnya, atensiku berpindah pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Berdering singkat, memunculkan sebuah notif. Aku mengambilnya, mengecek siapa yang mengirim pesan.

“Eh?”

Mataku melotot. Gelisah bergumul dalam dada.

Arjuna, ya, kekasih—tidak, maksudku mungkin mantan kekasih? Entah apalah status kami, tetapi yang terpenting, saat ini dia mengirimiku pesan setelah sekian purnama mendiamkanku.

“Bagaimana ini?” Aku kepalang panik, fokusku seperti terbagi-bagi. Benda pipih itu telah aku simpan kembali.

Aku bergerak mondar-mandir—sesekali mengintip ke arah jendela, melihat beberapa orang yang bertugas untuk kelancaran acara ini sudah datang, duduk di tempatnya masing-masing.

Aku menggigit ujung jari. “Apa masih sempat jika aku ... melarikan diri?”

Kepalaku menoleh ke kanan-kiri, mencari celah. Sialnya, ruangan ini hanya memiliki satu pintu—terhubung dengan ruangan utama. Dan pastinya mereka sudah menungguku di luar sana.

Lebih sudah 15 menit. Aku tetap mengurung diri—meski beberapa orang di sana mulai mendatangiku, memintaku untuk segera keluar, tapi sedikitpun aku tak menyahut.

“Soraya...” Suara itu terdengar rendah dan dingin, berbeda dari suara orang-orang yang bergantian memanggilku sebelumnya.

“Mau sampai kapan kamu di dalam? Buka pintunya!”

Itu Darius. Dia terdengar marah.

Mataku terpejam sebentar, menggigit bibir, menekan dadaku yang terasa sesak.

“Soraya? Hei, ayolah!”

Ini buruk.

Aku seharusnya sudah berada di aula pernikahan sekarang. Seharusnya aku duduk diam, menampung panjatan doa dari mereka, membalas harapan manis mereka dengan senyuman, seolah-olah ini benar-benar hari yang membahagiakan. Tapi aku tidak bisa.

Pintu kamar diketuk lagi, lebih keras kali ini.

“Jangan buat ini lebih sulit, Soraya!”

Percuma bukan? Aku tidak punya jalan keluar. Tak mungkin juga membalas pesan dari Arjuna—yang jelas-jelas hanya akan menambah masalah, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia tahu bahwa hari ini aku akan menikah.

“Soraya!”

Aku mengeraskan rahangku sebelum akhirnya melangkah mendekat dan membuka pintu dengan gerakan kasar.

Dan di sanalah dia berdiri.

Masih dalam balutan kemeja putihnya, dasinya sudah terpasang rapi, dan jas hitam menggantung sempurna di tubuhnya. Dia terlihat begitu siap untuk pernikahan ini.

Darius menatapku lama. Aku menahan napas, menunggu dia bicara lebih dulu.

Tapi yang aku dapatkan hanyalah seulas senyum tipis yang sama sekali tidak mencapai matanya.

“Kau berencana melarikan diri?” tanyanya dingin.

Aku tidak menjawab, memalingkan muka.

“Soraya...” Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya masuk begitu saja ke dalam kamar, menutup pintunya di belakangnya dengan bunyi pelan.

Aku melangkah mundur. “Aku hanya butuh waktu.”

“Untuk apa?”

Aku menggigit bibir, mencoba menyusun kata-kata, tapi tidak ada yang terasa cukup baik untuk menjelaskan semuanya.

Darius mendengus pelan, lalu berjalan mendekat, membuatku kembali mundur hingga punggungku menempel ke dinding.

“Waktu untuk berpikir?” tanyanya lagi, suaranya rendah dan sedikit mengejek. “Kamu sudah berpikir sejak hari pertama kamu setuju dengan semua ini, Soraya.”

“Aku tidak setuju!” Aku akhirnya bersuara, suara itu lebih nyaring dari yang kuharapkan. “Aku dipaksa, sama seperti kamu!”

Dia terdiam sejenak.

Aku melihat rahangnya mengeras.

Lalu, tiba-tiba, dia tertawa kecil—bukan tawa bahagia, tapi tawa penuh ironi.

“Soraya, soraya.” Kepalanya geleng-geleng pelan. “Aku pikir setelah kecelakaan hari itu, kamu benar-benar selamat dan baik-baik saja. Tapi sepertinya kepalamu itu terbentur hingga lupa bahwa kenyataannya memang kita dipaksa.”

Dia berjalan lebih dekat padaku, sedang aku menurunkan pandangan. Merasakan jantungku yang bertalu-talu di dalam sana.

“Dan kamu lupa, bahwa masih ada kenyataan lain. Kita tidak punya pilihan apapun. Kita hanya punya satu pilihan. Menikah. Itu saja,” imbuhnya penuh penegasan.

Aku menahan napas.

“Aku…” Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku terasa tercekat.

Dia mencondongkan tubuhnya sedikit, mengurungku dengan satu tangan yang bertumpu di dinding di sebelah kepalaku.

“Kau bisa lari sekarang jika mau,” bisiknya. “Tapi kamu tahu apa yang akan terjadi jika kamu melakukannya.”

Aku mengepalkan tangan, mengangkat pandangan. “Aku tidak peduli!”

Darius tersenyum miring. “Benarkah?”

Lantas menarik tubuhnya sesaat—bergerak cepat, meraih sesuatu di atas meja dan segera mengangkatnya di hadapanku.

Aku langsung membeku.

Ponselku.

Tentu mataku membeliak. Tanpa ancang-ancang, aku segera melompat, berusaha meraihnya. Tapi Darius justru mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dia sengaja.

Aku menatapnya dengan waspada, mencoba untuk menstabilkan napas. “Apa yang kamu lakukan, Mas?”

Dia memiringkan kepala sedikit, menatap layar ponselku dengan ekspresi santai.

“Aku sempat membaca beberapa pesan yang masuk,” katanya ringan.

Tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang. “... dari pacarmu.”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!