Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata
Selesai memberikan ASI kepada Tuan Kecil, Amira langsung diminta menghadap Pak Genta di ruangannya. Langkahnya menuju ruang Pak Genta terasa berat, diiringi tatapan skeptis dari para pekerja lain. Di balik lirikan mata mereka, terucap satu kalimat serempak: Bagaimana bisa Amira sampai melakukan kesalahan sebesar itu?
Sesampainya di depan pintu yang tertutup rapat, ia mengetuk pelan. Suara dari dalam menyuruhnya masuk.
Pak Genta duduk di kursinya langsung berdiri menyambut kedatangan Amira. Tatapannya datar, tidak memberi ruang sedikit pun untuk senyum basa-basi.
"Apakah Nona tahu kenapa saya memanggil anda ke sini?"
Amira mengangguk ragu. "Karena… Tuan Kecil menangis cukup lama tadi siang."
"Dan apakah Nona juga tahu, mengapa Tuan Kecil sampai menangis seperti itu?"
Amira terdiam sesaat. Ia yakin sudah meninggalkan ASI yang cukup di kulkas sebelum keluar. Tidak mungkin karena kelaparan, kan?
"Karena… mungkin haus, Pak. Tapi saya pastikan stok ASI sudah saya siapkan sebelum saya pergi."
"Nyatanya, tidak ada. Persediaan kosong. Nona tahu kenapa bisa kosong?" tanya Pak Genta, nadanya mengandung tekanan.
Amira menggeleng pelan, wajahnya bingung. "Saya tidak tahu, Pak. Tapi saya benar-benar sudah menaruhnya di sana. Bahkan saya sudah pastikan sebelum pergi, masih ada. Maaf sebelumnya kalau saya lancan, tapi, apakah saya boleh melihat rekaman CCTV yang mengarah ke lemari pendingin?"
Pak Genta mengangkat alis. "Itu permintaan yang cukup riskan. Tidak sembarang orang bisa mengakses rekaman kami. Tapi… karena ini menyangkut kenyamanan dan keselamatan Tuan Kecil, saya akan buat pengecualian."
Tanpa menunggu respon, ia meraih remote kecil dan menyalakan layar monitor. Beberapa detik kemudian, rekaman pagi hari diputar. Kamera memperlihatkan ruangan pantry, lemari pendingin khusus, dan seorang staf wanita yang masuk sambil membawa nampan kecil. Ia membuka kulkas, mengambil botol-botol ASI, lalu dengan gerakan biasa saja, ia membuangnya ke dalam tempat sampah khusus limbah makanan.
Amira terkesiap. "Lho… kok dibuang? Tapi dia nggak kelihatan seperti mencuri atau menyabotase. Kayaknya memang dia pikir itu harus dibuang." Amira bergumam, jelas terdengar oleh Pak Genta.
Amira menoleh ke arah Pak Genta, tatapannya penuh tanda tanya. Yang ditatap menatap balik, seperti sudah menduga reaksi itu. "Pekerja yang membuang susu itu sudah saya interogasi, tapi saya minta dia hadir kembali, biar Nona bisa dengar langsung penjelasannya."
Tak lama setelah itu, terdengar ketukan di pintu.
"Masuk."
Pintu terbuka, dan muncullah staf wanita yang tadi terekam di CCTV. Pak Genta memberi isyarat agar ia duduk, lalu mulai bertanya.
"Silakan dijelaskan lagi, mengapa kamu membuang susu yang ada di lemari pendingin pagi tadi?"
Staf perempuan itu menunduk hormat sebelum menjawab. "Karena di label botol tertulis tanggal 9, Pak. Hari ini tanggal 10. Saya hanya menjalankan tugas. Membersihkan, memeriksa, menyortir, dan membuang stok yang sudah melewati tanggal. Itu sudah prosedurnya."
Pak Genta melanjutkan tanya. "Apa kamu punya buktinya?"
"Ada, Pak. Ini label yang saya copot sebelum dibuang." Ia mengeluarkan selembar label kecil dari kantong seragamnya dan menyerahkannya ke Pak Genta.
Pak Genta meneliti label itu sejenak, lalu menggesernya ke arah Amira. "Nona Amira, apakah bisa dipastikan bahwa ini tulisan Anda?”
Amira mengambil label itu. Tulisan tangan tersebut jelas itu tulisannya. Tak ada bekas coretan, tak ada koreksi.
"Iya, Pak. Itu tulisan saya" jawabnya lirih.
Pak Genta menyandarkan punggung ke kursi. "Berarti, jelas sudah duduk perkaranya. Kesalahan ini berawal dari penulisan tanggal yang tidak akurat."
Amira tercekat. Seketika pikirannya melayang ke pagi itu, saat ia menyiapkan botol lalu menulis label. Ia ingat, saat menulis tanggal, Fitri datang menghampiri, membicarakan soal konser yang katanya diadakan tanggal 9. Saat itu ia masih menulis, dan sejenak, otaknya memproses suara Fitri bersamaan dengan tangannya yang mencatat.
Sekarang ia sadar. Tanggal di label itu bukan tanggal konsumsi ASI, tapi tanggal yang meluncur dari mulut Fitri. Kadang-kadang otak suka begitu kalau menulis sambil mengobrol.
"Saya ingat sekarang. Saya menulis label itu sambil ngobrol dengan Fitri. Dia cerita soal konser tanggal 9. Mungkin saya tanpa sadar menulis tanggal itu. Saya minta maaf, Pak. Itu benar-benar keteledoran saya."
"Kesalahan ini mungkin terlihat sepele, hanya soal salah menulis. Tapi dampaknya bisa besar. Tuan Kecil bisa sakit hanya karena human error. Lain kali, pastikan fokus. Jangan campuri kerja dengan obrolan yang tidak perlu."
Amira menunduk dalam. Ia tidak bisa membela diri. Semua memang salahnya yang tidak fokus saat bekerja. Lain kali dia akan berhenti menulis ketika ada yang mengajaknya bicara. Jika mengenai pekerjaan maka akan dia jawab, diluar itu, Amira bakal menasehati untuk tidak mengobrol hal-hal tidak penting di jam kerja.
...*****...
Selesai dari ruangan Pak Genta, usai membahas insiden ASI yang terbuang, Amira kembali menjalankan tugasnya seperti biasa. Meski dijatuhi hukuman--begitu juga Fitri--Amira menerimanya dengan lapang dada. Ia menyadari memang ada unsur kelalaiannya sendiri.
Hari-hari berikutnya berjalan tanpa konflik. Tak ada saling menyalahkan antara dirinya dan Fitri. Bahkan hubungan mereka tetap terlihat profesional. Kadang saling menyapa, kadang berbincang ringan, tidak ada ketegangan sedikit pun.
Suatu waktu, Amira tengah berjalan, melihat Fitri sedang kerepotan dengan troli perlengkapan bayi yang salah satu rodanya macet. Fitri tampak kesulitan mendorongnya masuk ke ruang steril. Tanpa pikir panjang, Amira mendekat dan membantu.
"Eh ya ampun, Kak Amira, nggak usah repot-repot begini, aku bisa kok."
"Nggak apa-apa, Mbak Fitri. Lagi kosong juga jam kerja saya. Lagian, kita harus saling bantu, iya nggak?" jawab Amira sambil tersenyum tulus.
Fitri terdiam sejenak. Tatapannya jatuh pada wajah Amira yang penuh ketulusan. Hatinya seperti dipelintir. Amira yang seharusnya membencinya, malah tetap memperlakukannya dengan baik.
Fitri menarik napas dalam. Di balik kebaikan Amira, hatinya berkecamuk antara rasa sesal, malu, dan juga kecewa. Malu pada Amira, dan kecewa pada Mia. Seseorang yang ia kira akan jadi rekan sejiwa ternyata menusuk dari belakang. Fitri sangat menyesal karena sudah berharap pada manusia. Ternyata Mia tak se-solid yang ia kira.
Akhirnya, setelah pertimbangan panjang, Fitri memberanikan diri membuka suara.
"Kak, ada yang mau aku omongin. Tapi kakak cukup tahu aja, ya. Jangan bilang siapa-siapa dulu."
Amira penasaran. "Apa itu, Mbak?"
"Sebenarnya, waktu kamu nulis label di botol yang tempo hari jadi masalah, aku bicara kesana-kemari dengan menyebut-nyebut angka bertujuan untuk mempengaruhi daya fokus Kakak biar salah nulis. Nggak nyangka ternyata cara itu berhasil."
"Apa? Jadi kamu sengaja ngelakuin itu? Untuk apa Mbak Fitri? Saya salah apa sama kamu Mbak?"
Fitri menggeleng rusuh. "Aku cuma diminta seseorang Kak. Dan aku nyesel udah percaya sama dia."
"Siapa orangnya?"
"Mia."
Dengan berapi-api, Amira siap mendatangi Mia. Dia seolah lupa dengan pesan Fitri yang cukup tahu saja, jangan bilang siapa-siapa dulu. Nyatanya Amira malah mau langsung melabrak Mia.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus