Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23(Hangat yang Canggung)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Zidan akhirnya menyusul ke ruang makan. Di sana, ia mendapati Tuan Sebastian, Nyonya Ana, dan Letta sudah duduk rapi, menunggu sarapan dimulai. Seketika rasa tidak enak menyelimuti hatinya—ia merasa telah membuat keluarga itu menunggu terlalu lama.
“Maaf, Tuan... Nyonya,” ucap Zidan sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat.
Namun belum sempat suasana kembali tenang, Nyonya Ana langsung menanggapi dengan nada protes yang lembut namun tegas. “Kok masih panggil ‘Tuan’ dan ‘Nyonya’ sih? Papi-mami dong. Kamu sekarang kan bagian dari keluarga ini,” ujarnya sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana.
Zidan tersenyum kaku, bingung harus merespons seperti apa. Hatinya masih enggan untuk merasa layak berada di tengah keluarga itu. Ia terlalu sadar akan latar belakang dan statusnya yang kini terasa seperti bayangan dari pilihan orang lain.
Melihat Zidan yang mulai kikuk, Letta cepat-cepat menyela. “Mi, suami Letta belum terbiasa. Jadi jangan dipaksain dulu, ya? Mendingan sekarang kita mulai sarapan,” ucapnya ramah, mengalihkan pembicaraan dengan bijak.
Letta lalu menoleh ke Zidan dan tersenyum lembut. “Ayo, Mas, duduk. Mas mau makan apa?” tanyanya, berusaha menampilkan peran istri yang penuh perhatian.
Zidan, meski masih agak canggung, akhirnya menjawab pelan, “Sup sayur sama daging semur, kalau boleh.”
Letta segera menyendokkan makanan ke piring Zidan dengan hati-hati, memastikan porsinya pas dan tampak menggugah selera. Suasana pun mulai mencair, diwarnai percakapan ringan antara Letta dan ibunya, sementara Zidan lebih banyak diam sambil menyantap makanannya.
Tuan Sebastian dan Nyonya Ana sesekali saling pandang, tampak lega melihat Letta perlahan menemukan kebahagiaannya—meski dimulai dengan paksaan, setidaknya cinta punya peluang untuk tumbuh.
Suasana sarapan pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Kehangatan yang tercipta bukan hanya karena hidangan yang terhidang, tetapi juga karena hadirnya anggota baru dalam keluarga mereka—Zidan.
Letta tampak sibuk, namun senang, melayani suaminya. Dengan cekatan ia menuangkan air ke dalam gelas Zidan, membuat Nyonya Ana tak bisa menahan senyum geli. Baru kali ini ia melihat putrinya tampak begitu sibuk di pagi hari.
Namun di balik tawa kecil itu, Nyonya Ana juga merasakan kebanggaan yang hangat. Letta terlihat tulus dan bersemangat menjalani perannya sebagai seorang istri—setidaknya di hari pertamanya.
“Oh iya, Mas,” ujar Letta tiba-tiba, menoleh pada Zidan, “tadi aku buatin kamu jus, mau aku ambilin?”
Sekejap suasana meja makan menjadi hening. Semua orang menghentikan suapan mereka dan langsung menatap ke arah Letta.
Tuan Sebastian berdeham pelan. “Ekhem... Di sini bukan cuma ada kamu dan suamimu, Princess,” tegurnya, setengah bercanda.
Letta memanyunkan bibir, kesal karena momen romantisnya diganggu. “Papi, Letta ini udah jadi istri orang. Jadi tolong, stop panggil ‘Princess’!” sahutnya.
Tuan Sebastian mendengus pelan, namun senyumnya tak bisa disembunyikan. “Tapi buat Papi, kamu tetap Princess kecil Papi.”
Letta sudah bersiap membalas, namun Nyonya Ana keburu menyela dengan nada menggoda, “Katanya mau ambilin jus? Kok masih di sini? Atau... mau Mami aja yang ambilin buat suami kamu?”
Letta melirik ibunya dan mendecak pelan. Dalam hati ia menggerutu, Duh, Mami ini... mentang-mentang bucin sama Papi, jadi bela terus, sambil melangkah pergi meninggalkan ruang makan.
Tak lama kemudian, Letta kembali dengan nampan berisi sebuah pitcher berisi jus segar. Ia menyajikannya dengan senyum lebar, merasa hari ini adalah awal dari peran barunya—yang akan ia jalani sebaik mungkin.
Suasana sarapan kembali menghangat, namun suasana hangat itu perlahan mulai mereda. Saat Letta tiba-tiba membuka pembicaraan yang sedikit mengubah atmosfer di meja makan.
"Oh iya, Letta dan Mas Zidan rencananya mau kembali ke daerah A hari ini," ucapnya sambil menatap kedua orang tuanya.
Nyonya Ana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Kok cepat sekali, Sayang?" tanyanya, mewakili Tuan Sebastian yang juga tampak tidak sepenuhnya setuju.
"Mami, Mas Zidan sudah cukup lama tinggal di sini. Selain itu, dia juga masih punya tanggung jawab di sana. Begitu juga Letta," jelas Letta dengan nada tenang.
Kali ini, Tuan Sebastian yang angkat bicara, suaranya dalam dan serius. "Apakah kalian berniat menetap di sana?"
Pertanyaan itu membuat Letta tak langsung menjawab. Ia melirik ke arah suaminya, memberi isyarat agar Zidan yang menjelaskan.
Zidan, yang merasa menjadi pusat perhatian, akhirnya menjawab pelan, "Untuk soal itu, kami belum sempat membicarakannya, Pi."
Tuan Sebastian mengangguk pelan lalu berkata, "Kalau begitu, boleh Papi beri saran?"
Letta dan Zidan saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk bersamaan.
"Sebaiknya setelah semua urusan kalian selesai di sana, kalian kembali ke sini. Bagaimanapun juga, perusahaan adalah tanggung jawab Letta, dan kantor pusatnya ada di kota ini," ujar Tuan Sebastian dengan tenang.
Ia lalu menatap Zidan dengan lebih dalam. "Tapi tentu saja, semua keputusan kembali ke tanganmu, Zidan. Sekarang Letta adalah istrimu."
Ucapan itu membuat suasana sempat hening, seolah ada beban tak terlihat yang menggelayut di udara. Sesaat kemudian, Tuan Sebastian berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sejenak di ambang pintu dan berbalik.
"Oh iya, sebelum kalian berangkat, Papi ingin bicara sebentar dengan kamu, Zidan. Di ruang kerja."
Tanpa menunggu jawaban, ia pun melanjutkan langkahnya, meninggalkan ruang makan dengan suasana yang kini jauh lebih berat dari sebelumnya.
Setelah kepergian Tuan Sebastian, Zidan hanya diam mematung di tempat duduknya. Wajahnya tampak tegang, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa yang ingin dibicarakan Papi Letta? batinnya cemas.
Melihat gelagat suaminya, Letta pun menawarkan diri dengan lembut, “Mas mau aku temenin?”
Namun belum sempat Zidan menjawab, Nyonya Ana sudah menyela dengan nada menggoda, “Papi bilang ingin bicara berdua sama suami kamu, Sayang, bukan sama kamu juga.”
Letta mendengus kesal. Entah kenapa, hari ini Papi dan Maminya terasa begitu menyebalkan. Ya Allah, ampunilah Letta yang barusan mengeluh soal orang tuanya sendiri, gumamnya dalam hati.
Zidan kemudian menoleh dan menjawab dengan lembut, "Nggak perlu, aku bisa sendiri kok. Lagipula, Mami benar, Papi memang minta bicara sama aku saja."
Nada lembut Zidan sontak membuat Letta tertegun. Kenapa jadi nggak dingin? Apa karena ada Mami di sini? pikirnya, bingung sendiri dengan perubahan sikap suaminya.
“Ya udah, kalau Papi ngomel-ngomel atau macem-macem, langsung bilang aku ya, nanti—”
“Hei! Yang kamu omongin itu suami Mami juga loh! Sekaligus Papi kamu! Bisa-bisanya kamu ngomong gitu, astaga…” potong Nyonya Ana sambil menggeleng heran.
Letta hanya nyengir malu sementara Zidan—tanpa sadar—tersenyum kecil melihat tingkah ibu dan anak itu. Hangat, batinnya.
“Aku ke ruang kerja dulu ya, Mi,” pamit Zidan sopan, melirik sekilas ke arah Letta sebelum melangkah meninggalkan ruang makan, menyusul Tuan Sebastian.
TBC...