Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Meninggalkan Pesta
Sumi tersentak kaget, buru-buru menyeka air matanya dengan jari. "Tuan Van der Spoel! Anda mengejutkan saya."
Ia cepat-cepat menegakkan postur tubuhnya, berusaha memasang kembali topeng keanggunan yang biasa ia kenakan. Namun terlambat—Martin sudah melihat kerapuhannya.
"Maaf jika saya lancang," Martin tetap mengulurkan sapu tangannya. "Tapi saya rasa air mata hanya membuang energi yang bisa digunakan untuk hal lain yang lebih ... produktif."
Dengan ragu, Sumi menerima sapu tangan itu dan mengusap pipinya yang basah. "Terima kasih. Tapi saya tidak menangis. Hanya ... debu masuk ke mata saya."
Martin tersenyum tipis. Alasan klasik yang bahkan di Belanda pun sering digunakan.
"Tentu saja," ia mengangguk, berpura-pura percaya. "Debu di malam hari memang sangat mengganggu."
Sumi menunduk, jari-jarinya meremas sapu tangan Martin. Untuk beberapa saat, mereka berdiri dalam keheningan yang aneh—tidak nyaman tapi juga tidak sepenuhnya canggung.
"Saya mendengar beberapa percakapan tadi," Martin akhirnya berkata, memecah keheningan. "Tentang tekanan yang Anda hadapi. Lima belas tahun tanpa keturunan ... pasti sangat berat."
Sumi mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya melebar oleh rasa terkejut dan malu. "Itu ... itu bukan hal yang pantas dibicarakan dengan orang asing, Tuan Van der Spoel."
"Mungkin justru dengan orang asing, Anda bisa lebih bebas berbicara," balas Martin tenang. "Tanpa takut dihakimi."
Ia mengambil langkah mendekat, menatap Sumi dengan serius. "Sekarang saya mengerti kenapa Anda begitu tertarik dengan Kedung Wulan. Bukan untuk kolam ikan, tapi karena legendanya tentang kesuburan, bukan begitu?"
Sumi terdiam, napasnya tertahan. Ia tidak menyangka pemuda Belanda ini bisa membaca niatnya dengan begitu jelas.
"Saya …," ia terbata, tidak yakin harus menjawab apa. Ia cepat-cepat menyodorkan kembali sapu tangan Martin.
"Maaf, Tuan Van der Spoel. Saya harus kembali," ucapnya tergesa, menghindari tatapan pemuda Belanda itu. "Terima kasih atas ... perhatian Anda."
Dengan gerakan cepat namun tetap anggun, Sumi berbalik dan melangkah meninggalkan Martin yang masih berdiri termangu.
Dalam benaknya, Sumi memutuskan bahwa berbicara dengan Martin hanya akan memperumit keadaan.
Ia tidak butuh bantuan orang asing—apa yang ia butuhkan saat ini adalah Ki Jayengrana dan kelanjutan ritualnya.
Sumi memasuki kembali ruangan pesta, matanya dengan cepat menyapu kerumunan tamu. Ia menemukan suaminya di sudut ruangan, masih berbincang akrab dengan Raden Ayu Retnosari.
Sejenak, Sumi memandangi sosok rivalnya dengan seksama. Retnosari jelas jauh lebih muda, mungkin baru berusia tujuh belas tahun.
Penampilannya sangat modis dengan kebaya model terbaru yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan lebih berani dibanding kebaya konservatif yang dikenakan Sumi.
Tas tangannya bergaya Eropa, begitu pula dengan sanggul rambutnya yang lebih bebas dengan beberapa untai yang dibiarkan jatuh membingkai wajah.
Yang paling menyakitkan adalah bagaimana mereka berdua tampak serasi. Soedarsono, dengan tubuh tegapnya yang kini sedikit membungkuk ketika berbisik pada Retnosari, terlihat seperti pria muda yang jatuh cinta lagi.
Sumi bisa melihat kilatan ketertarikan di mata suaminya—tatapan yang biasanya ditujukan padanya.
Retnosari memang menggoda dengan dada dan bokong penuh yang melambangkan kesuburan.
Belum lagi parasnya yang cantik dengan bibir merah ranum dan mata yang selalu tampak mengedip manja.
Di samping mereka, Kanjeng Ibu sibuk berbincang dengan seorang perempuan paruh baya yang Sumi duga adalah ibu Retnosari.
Kedua perempuan tua itu sesekali melirik ke arah Soedarsono dan Retnosari, lalu tersenyum puas, seolah semakin yakin dengan rencana perjodohan putra-putri mereka.
Menelan rasa sakitnya, Sumi mendekati kelompok itu dengan kepala tegak.
"Kangmas," sapanya lembut, membuat Soedarsono menoleh dengan sedikit tersentak, seolah baru teringat akan keberadaan istrinya. "Maaf mengganggu percakapan Kangmas."
"Diajeng! Kau dari mana saja?" tanya Soedarsono, ada campuran rasa bersalah dan kelegaan di suaranya.
Sumi tersenyum tipis, mengangguk sopan pada Retnosari yang membalas dengan senyuman menilai. "Saya hanya berkeliling sebentar, menikmati udara malam."
Soedarsono berdeham canggung. "Ah, ya. Diajeng, perkenalkan, ini Raden Ayu Retnosari. Retno, ini istri saya, Raden Ayu Sumi."
"Senang berkenalan," ucap Retnosari dengan nada manis. "Saya sudah banyak mendengar tentang Anda."
"Begitu pula saya," balas Sumi dengan senyum kaku. “Ibu bercerita tentang Anda tadi siang.”
Kanjeng Ibu, yang menyadari kehadiran Sumi, segera mendekat. "Sumi, kau sudah kembali. Kami sedang membicarakan rencana kunjungan keluarga Kartasura ke Dalem Prawirataman minggu depan."
"Ah, begitu," Sumi mengangguk, lalu dengan hati-hati memilih kata-katanya berikutnya. "Maaf, Ibu, saya rasa saya tidak bisa menemani Kangmas malam ini hingga selesai. Saya merasa kurang sehat."
"Apa yang kau rasakan?" tanya Soedarsono, kecemasan terlihat di wajahnya.
"Hanya sedikit pusing," jawab Sumi. "Saya ingin meminta izin untuk pulang lebih dulu."
"Tentu, aku akan menemanimu," Soedarsono buru-buru menawarkan, tampak lega bisa keluar dari situasi canggung dengan Retnosari dan ibunya.
"Tidak perlu, Kangmas," tolak Sumi cepat. "Acara ini penting untuk hubungan bisnis keluarga kita. Saya bisa minta kusir mengantar ke rumah saudara saya yang tak jauh dari sini. Mungkin saya akan menginap di sana."
Soedarsono tampak ragu. "Kau yakin, Diajeng? Aku bisa mengantarmu dulu, lalu kembali ke sini."
"Sungguh tidak perlu, Kangmas," Sumi bersikeras. "Saya akan baik-baik saja. Lagipula …," ia melirik ke arah Retnosari, "tampaknya Kangmas sedang menikmati percakapan yang menarik. Saya tidak ingin mengganggu."
"Kalau begitu, berhati-hatilah dan kirim kabar pusingmu semakin memburuk."
Sumi mengangguk. "Terima kasih atas pengertiannya, Kangmas." Ia lalu berpaling pada mertuanya dan Retnosari serta ibunya. "Saya mohon pamit, Kanjeng Ibu, Raden Ayu. Selamat menikmati jamuan malam ini."
Dengan gerakan cepat namun tetap terlihat anggun, Sumi berpamitan dan berjalan menuju pintu keluar.
Ia bisa merasakan tatapan orang-orang, juga mata Martin yang mengawasinya dari seberang ruangan. Tapi ia tidak peduli. Yang ia inginkan hanyalah keluar dari tempat itu secepat mungkin.
Di dalam kereta yang melaju pelan meninggalkan rumah Karesidenan, Sumi akhirnya membiarkan air matanya kembali jatuh.
Kereta berderak halus melewati jalan-jalan kota yang mulai sepi. Beberapa toko masih buka, lampu gas kereta berpendar kekuningan membelah kegelapan malam.
Sumi menatap ke luar jendela, pikirannya berkecamuk antara putus asa, dan tekad yang semakin menguat.
Kereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah bergaya Jawa yang lebih sederhana, tak jauh dari sebuah rumah sakit.
Ini rumah saudara perempuan Sumi, yang menikah dengan seorang dokter lulusan STOVIA—sekolah kedokteran pribumi yang didirikan Belanda.
Sumi hanya berada di dalam rumah saudaranya selama sepuluh menit—cukup untuk menjelaskan bahwa ia perlu meminjam kereta dan kusir mereka untuk keperluan mendadak.
Sebagai alasan, Sumi hanya mengatakan bahwa ia ingin pulang ke rumah, sedang kereta suaminya harus kembali ke pesta–menunggu sang suami.
Saudaranya, yang memahami hubungan kompleks Sumi dengan sang mertua, tidak banyak bertanya. Ia hanya memastikan Sumi tidak dalam bahaya, lalu menyetujui permintaannya.
Setelah kereta Prawirataman pergi—membawa pesan palsu untuk Soedarsono bahwa Sumi telah tiba dengan selamat dan akan menginap—Sumi menaiki kereta lain milik saudaranya.
Kereta sederhana itu tak berlambang keluarga bangsawan, sempurna untuk tujuannya: mengunjungi Ki Jayengrana tanpa ada yang mengenalinya.
"Ke desa Manguntalan," perintahnya pada kusir muda.
Saat kereta mulai bergerak meninggalkan kota menuju pinggiran yang gelap, Sumi memantapkan hatinya. Ritual harus dilanjutkan malam ini juga. Ia akan menelan telur bulus kedua, lalu besok ... besok ia akan melakukan ritual mandi di Kedung Wulan.
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri