Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menangkap Tersangka
Setelah semua data-data sudah lengkap, Farhan mengerahkan anggota reserse lain untuk melacak seseorang yang diduga merupakan tersangka pembunuhan Bu Dahlia. Kawan-kawannya Farhan mendatangi rumah Agus Dwi Cahyono--salah satu anggota kader partai, bawahan Sahar Muzakir.
Setibanya di komplek perumahan Agus, mereka langsung mengetuk pintu. Cukup lama mereka menunggu, seorang wanita berambut panjang dikucir cepol, membukakan pintu.
"Mau nyari siapa, ya?" tanya wanita yang merupakan istri dari Agus itu.
"Apa benar, ini rumah Agus Dwi Cahyono?" Seorang polisi memastikan.
Wanita itu mengangguk pelan.
"Kami mendapatkan tugas dari kepolisian untuk segera menangkap Pak Agus saat ini juga. Kami harap, Ibu bisa bersikap kooperatif," jelas anggota polisi lain.
Polisi yang berjumlah empat orang itu segera masuk mencari Agus. Digeledahnya setiap ruangan, mencari orang serta bukti dari pembunuhan Bu Dahlia. Dari arah dapur, Agus yang baru saja selesai mandi, tampak kelimpungan mendapati anggota kepolisian berada di rumahnya.
Tanpa basa-basi, dua anggota polisi segera menangkap Agus, sementara yang lainnya mendapatkan bukti lain di rumah itu. Tak peduli dengan permohonan istrinya Agus, keempat pria berseragam itu tetap bertindak profesional demi terangnya sebuah kasus.
Farhan menunggu rekan-rekannya kembali, membawa tersangka utama. Sambil memeriksa berkas-berkas pembunuhan Bu Dahlia, ia sesekali menengok keluar. Satu jam, dua jam berlalu, akhirnya keempat anggota reserse lapangan berhasil membawa tersangka dan bukti baru berupa jaket dan topeng rajut di dalam sakunya.
"Duduk!" perintah salah satu pria berseragam polisi.
Agus melakukan perintah pria itu, duduk dengan tertunduk lesu.
Farhan memperhatikan baik-baik wajah pria itu, lalu melihat bukti serta foto dari potongan video CCTV. Sembari mengangguk takzim, ia berkata, "Saya harap, Bapak dapat bersikap kooperatif. Tolong, jawab dengan jujur semua pertanyaan yang saya ajukan."
Agus memandang Farhan dengan canggung, lalu menunduk kembali.
"Apa benar, Pak Agus malam itu, sekitar pukul sepuluh, datang ke kediaman Bu Dahlia?" Farhan mulai menginterogasi.
Agus mengangguk pelan.
"Apa tujuan Anda datang ke sana?" lanjut Farhan menanyai.
"Saya cuma mau silaturahmi aja, kok, Pak," jawab Agus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
Teman Farhan yang merasa geram, menggebrak meja hingga membuat Agus terperanjat. "Jangan bohong kamu! Cepat jawab dengan jujur!"
Farhan menepuk lengan temannya dan mengisyaratkan agar tetap tenang lewat kedipan mata. Anggota reserse itu menarik napas dalam-dalam sambil mengusap dada.
"Silaturahmi atau sengaja menyerang Dewa?" tanya Farhan menatap nyalang pria di hadapannya.
Merasa tertekan, Agus tak bisa lagi berkelit. Sejenak, pria itu menelan ludah, lalu menatap Farhan dengan yakin. "Ya, benar. Saya memang menyerang Dewa. Saya nggak suka anak saya dirundung oleh anak sialan itu," dalihnya.
"Emangnya anak Bapak satu sekolah dengan Dewa? Atau jangan-jangan Bapak cuma beralibi saja kalau sebenarnya Bapak ini disuruh sama seseorang?" cecar Farhan dengan menyipitkan kedua matanya.
Seketika, raut wajah Agus berubah tegang. Dadanya berdebar lebih cepat, napasnya kian memburu. Kendati demikian, ia tetap berusaha tenang agar polisi tak mengetahui motif pembunuhan yang sebenarnya. Pria itu tak mau jika si dalang penyerangan justru mencelakai keluarganya karena tujuan utama menghabisi Dewa bocor di hadapan polisi.
"S-Saya bersumpah, Pak! Semua ini cuma atas dasar dendam saja," kata Agus terbata-bata.
Setelah mencatat semua keterangan Agus, Farhan mempersilakan teman-temannya untuk menahan pria itu. Tak lupa, ia meminta anggota lain untuk menghubungi Dewa saat itu juga.
Sementara itu, Dewa yang baru saja pulang sekolah, menerima panggilan di ponselnya. Ia segera mengangkatnya. Seketika, raut wajahnya yang semula murung, berubah terkejut tatkala mendengar kabar penangkapan tersangka pembunuhan sang ibu.
Melihat gelagat Dewa, Karmina segera berlari mendekati sang ketos yang berdiri di depan gerbang sekolah. Firasatnya mengatakan, bahwa tersangka pembunuhan ibu Dewa sudah ditangkap. Setelah merasa yakin dengan firasatnya, Karmina enggan berlama-lama lagi berada di sekolah.
Dewa dan Karmina tiba di kantor polisi pada saat bersamaan. Sempat berpapasan sebentar, Dewa tampak acuh tak acuh pada teman satu sekolahnya itu, kemudian bergegas menuju tempat Farhan bertugas. Adapun Karmina, menyusul sang ketos tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Dewa, mari ikut saya," ujar Farhan ketika dua siswa SMA itu tiba ke ruangannya.
Dewa, Farhan, dan Karmina mendatangi sel tahanan. Tampak Agus sedang duduk di balik jeruji besi sambil memandang sinis pada seorang pemuda yang datang bersama salah satu anggota reserse.
"Dia namanya Agus. Kami mendapatkan banyak bukti baru dan rekaman CCTV dari lingkungan rumah kamu. Coba ingat-ingat lagi, apakah ciri-ciri fisik Agus sama dengan pelaku penyerangan malam itu," ujar Farhan.
Dewa memperhatikan pria di dalam sel itu dengan saksama. Melihat postur tubuh Agus yang tinggi dan agak gemuk, serta alis tebal dengan mata lebar, sang ketua OSIS yakin, bahwa memang benar dialah pelakunya.
"Dari semua ciri-ciri fisiknya, memang sangat mirip dengan orang yang menyerang saya malam itu," tutur Dewa memandang Farhan.
"Dia bilang, alasannya menyerang kamu itu karena dendam. Apa benar, kamu pernah merundung anaknya Agus?" tanya Farhan menatap mata Dewa dalam-dalam.
Dewa hanya mengangguk. Karmina terperangah melihat gelagat sang ketua OSIS. Ia masih saja enggan menerima pernyataan Dewa yang seolah ingin menutupi sesuatu.
"Oh, ya. Waktu itu kamu pernah bilang, pernah punya konflik sama anak geng motor. Apa itu anaknya Pak Agus?" Farhan masih belum puas dengan motif yang pernah diungkapkan oleh Dewa.
Mendengar pertanyaan Farhan, Dewa menoleh sejenak pada Agus yang masih tampak geram. Ia kembali memandang anggota reserse itu, kemudian mengangguk. Di sisi lain, Agus mengepalkan tangan, kemudian meninju lantai sekeras mungkin.
"Baiklah, kalau begitu, Adek sekarang boleh pulang. Terimakasih sudah memberi keterangan lengkap sehingga memudahkan kami menangkap pelakunya," ucap Farhan sambil mengulas senyum simpul.
"Nggak, Pak. Justru saya yang seharusnya berterimakasih banyak atas kinerja Bapak dan rekan-rekan lainnya. Berkat penyelidikan Bapak, akhirnya pembunuh ibu saya bisa ditangkap," kata Dewa membalas senyum Farhan.
Karmina masih belum puas dengan kasus yang sudah selesai bagi Dewa. Alih-alih menyusul Dewa, ia tetap berdiri di ruangan itu sambil memandang Farhan.
"Pak, coba telusuri lagi lebih lanjut. Barangkali ada yang terlewat mengenai keterangan pelaku ini," bujuk Karmina menghampiri Farhan.
"Semua keterangan sudah jelas, Dek. Sebaiknya Adek segera pulang sama pacar kamu," ujar Farhan sambil melenggang keluar ruangan tahanan.
Karmina berlari mengejar Farhan. "Tapi, Pak. Gimana dengan otak dari pelaku penyerangan Dewa? Apa Bapak mau biarin penyerangan terjadi lagi sama dia? Dan, satu lagi, Dewa bukan pacar saya," cerocos Karmina.
Farhan menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan sampai saling berhadapan dengan Karmina. "Kenapa kamu begitu peduli sama Dewa kalau dia bukan pacar kamu?" tanya pria itu sembari melipat kedua tangannya dan mengerutkan dahi.
"Saya hanya ingin pelaku sebenarnya tertangkap biar Dewa nggak diserang lagi. Kasihan dia, sudah yatim piatu. Nggak ada lagi yang bisa melindungi dia," sanggah Karmina.
Farhan menatap wajah Karmina seraya berkata, "Kalau begitu, jaga baik-baik temanmu itu. Jangan sampai dia berbuat onar pada orang-orang yang dulu pernah terseret kasus kematian ayahnya. Dan, ya, pernyataan kamu sebenarnya hampir benar. Penyerang Dewa masih ada kaitannya dengan Sahar Muzakir."
Karmina tercengang. "Jadi ... Pelaku itu sebenarnya orang suruhan keluarga Sahar, kan?"
Farhan terkekeh-kekeh. "Dari keterangan tersangka dan bukti, tak ada satu pun yang mengarah pada pembunuhan berencana. Kami hanya tahu, bahwa Pak Agus ini pernah ikut berkecimpung dalam kampanye Sahar Muzakir beberapa tahun lalu."
Tertegun Karmina memandangi Farhan yang pergi dari hadapannya. Sesuatu yang mengganjal hatinya masih belum tuntas. Bisikan demi bisikan gaib, sayup-sayup terdengar di telinganya, seolah-olah menuntut ia untuk tetap berada di samping Dewa.