Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk Rumah Sakit
Masih sangat dini ketika suara berisik dari arah kamar mandi memecah kesunyian. Arsen, yang tengah terlelap, perlahan membuka matanya. Ruangan masih remang-remang, jam dinding menunjukkan pukul 04.17. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menghalau rasa kantuk yang masih melekat. Suara itu kembali terdengar—lirih namun jelas, suara seperti seseorang yang tengah memuntahkan isi perut.
Perasaan cemas langsung menyeruak dalam dada Arsen. Ia menoleh ke sisi ranjang, mendapati tempat itu kosong. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan melangkah cepat menuju kamar mandi.
Ketika pintu kamar mandi terbuka, pemandangan yang ia lihat membuat jantungnya mencelos. Anita tengah terduduk lemas di lantai, tubuhnya bersandar pada dinding sambil memegangi perutnya. Wajahnya tampak sangat pucat, rambutnya berantakan dan pelipisnya basah oleh keringat dingin. Di depannya, kloset terbuka dan terlihat jelas bahwa ia baru saja muntah hebat.
“Anita!” seru Arsen panik. Ia segera menghampiri, berlutut di samping istrinya dan memegang bahunya. “Sayang, kamu kenapa? Sejak kapan kamu di sini?”
Anita tidak menjawab. Ia hanya melirik sekilas ke arah Arsen, sebelum kembali menunduk dan memuntahkan cairan lagi. Tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar, dan matanya tampak sayu. Arsen langsung mengambil keputusan.
“Kita ke dokter sekarang juga. Tidak ada tawar-menawar,” ucapnya tegas, sambil mengangkat tubuh Anita dengan perlahan namun mantap.
Perempuan itu tak memberi respons, bahkan tidak sempat menggeleng atau berkata tidak. Tubuhnya nyaris tidak memberikan perlawanan, seakan sudah menyerah pada rasa sakit dan kelemahan. Arsen menggendongnya keluar dari kamar mandi dengan hati-hati, berusaha tidak membuat gerakan yang bisa memperparah kondisi istrinya.
Setelah meletakkan Anita sejenak di atas ranjang, Arsen berlari kecil ke wastafel untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Ia tahu tidak ada waktu untuk mandi atau berlama-lama. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan setelan kasual yang nyaman. Ia mengambil pakaian Anita dari lemari, membantu istrinya berganti pakaian dengan perlahan dan penuh kehati-hatian.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah berada di dalam mobil. Arsen mengatur posisi duduk Anita agar lebih nyaman, dan memberikan kantong muntah yang selalu tersedia di mobil mereka. Ia menyalakan mesin, dan dalam sekejap, kendaraan melaju cepat meninggalkan halaman rumah, menembus sepi dan dinginnya udara subuh.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa lebih lama dari biasanya bagi Arsen, meskipun hanya berjarak sekitar dua puluh menit. Setiap kali Anita kembali memuntahkan cairan ke dalam kantong, perasaan khawatirnya semakin menebal. Ia terus menatap ke arah istrinya dengan sudut mata, mencoba memastikan bahwa Anita masih sadar dan tidak kehilangan kesadaran.
“Sayang, sebentar lagi kita sampai. Tahan sebentar lagi, ya…” gumam Arsen dengan suara parau.
Anita hanya memejamkan mata, mengangguk lemah tanpa suara. Tangan kirinya menggenggam ujung jaket Arsen yang tersampir di kursi, seolah berusaha mencari pegangan di tengah rasa tidak nyaman yang membuncah.
Sesampainya di Rumah Sakit Citra Karsa, Arsen langsung menghentikan mobil di depan ruang UGD. Ia keluar dari mobil dan bergegas membuka pintu penumpang, lalu kembali menggendong Anita ke dalam. Seorang perawat yang berjaga di pintu segera menghampiri dengan kursi roda.
“Pasien hamil dengan keluhan muntah hebat dan kelemahan tubuh,” jelas Arsen cepat.
Tim medis segera mengambil alih. Anita dibaringkan di ranjang UGD, dan perawat mulai memasang infus serta memeriksa tekanan darah. Seorang dokter jaga datang menghampiri, menanyakan riwayat dan gejala yang dialami.
“Apakah pasien sudah diperiksa kandungannya beberapa hari terakhir?” tanya sang dokter sambil mencatat.
“Belum dok, istri saya baru dinyatakan positif satu minggu lalu. Tapi sejak dua hari kemarin dia mulai lemas dan sering mengeluh nyeri perut bawah. Tadi pagi bahkan muntah sampai lemas begini,” jawab Arsen, suaranya terdengar khawatir namun berusaha tetap tenang.
“Baik, kami akan lakukan pemeriksaan USG darurat dan cek darah. Mohon tunggu di luar sebentar, Pak.”
Arsen mengangguk pelan. Meski berat, ia akhirnya berjalan keluar dari ruang UGD dengan langkah pelan. Setelah duduk di salah satu kursi tunggu, ia merogoh ponsel dari saku celananya. Jemarinya sempat gemetar ketika menekan nama ibunya di daftar kontak:
Telepon tersambung dalam dua dering.
“Arsen? Pagi-pagi begini, kenapa?” suara ibunya terdengar sedikit mengantuk.
“Mama… Anita dibawa ke rumah sakit. Dia muntah hebat, lemas sekali. Sekarang sedang berada di UGD.”
“Ya Tuhan…! Kenapa bisa begitu? Dari tadi malam dia sudah sakit?”
“Dari kemarin-kemarin dia memang sudah kelihatan pucat, tapi tadi subuh kondisinya makin memburuk.”
Miranda langsung terdengar panik. “Kamu di rumah sakit mana sekarang?”
“Citra Karsa. Ma”
“Mama langsung ke sana sekarang. Tunggu, ya. Jaga Anita baik-baik. Tolong kabari kalau ada hasil pemeriksaan,” ujar Miranda cepat, tanpa sempat menunggu jawaban dari Arsen sebelum menutup sambungan telepon.
Arsen menatap layar ponselnya sejenak, lalu menarik napas panjang. Kepalanya bersandar ke dinding dingin ruangan, pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Namun ia buru-buru mengusir pikiran negatif itu. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya larut dalam kecemasan.
Beberapa menit kemudian, seorang perawat keluar dari ruang UGD.
“Pak Arsen? Istri Bapak akan dibawa ke ruang observasi sementara. Dokter akan menemui anda sebentar lagi.”
Arsen segera berdiri. “Kondisinya bagaimana?”
“Kondisinya cukup stabil sekarang setelah diberi cairan infus. Tapi dokter masih perlu observasi lebih lanjut, termasuk kondisi janin. Nanti beliau akan jelaskan lebih rinci.”
Arsen mengangguk dan mengikuti perawat hingga ke ruang observasi, di mana Anita kini terbaring dengan selang infus di tangan. Wajahnya masih tampak lemah, namun tidak sekacau beberapa jam yang lalu. Napasnya teratur, dan matanya sedikit terbuka saat melihat Arsen mendekat.
“Pih…” ucapnya lirih.
Arsen menggenggam tangannya dan mencium punggung tangan itu dengan lembut. “Tenang, aku di sini. Semuanya akan baik-baik saja.”
Tak lama kemudian, dokter yang memeriksa Anita datang menghampiri mereka.
“Selamat pagi, Pak Arsen, Bu Anita. Saya dr. Wenny, dokter jaga sekaligus dokter kandungan di sini. Dugaan sementara, kondisi ibu mengalami hiperemesis gravidarum, yaitu mual dan muntah berlebihan yang sering terjadi pada awal kehamilan. Namun ini hanya dugaan awal saja, untuk lebih jelaskan kami akan informasikan setelah ibu Anita melakukan serangkaian pemeriksaan"”
“Apakah berbahaya, Dok?” tanya Arsen dengan sorot mata tajam penuh kekhawatiran.
“Jika tidak ditangani dengan baik, bisa menyebabkan dehidrasi dan gangguan pada janin. Tapi untungnya Ibu Anita masih dalam tahap yang bisa dikendalikan. Kami sudah memberikan cairan infus dan obat anti-muntah.”
Arsen mengangguk tegas. “Lakukan yang terbaik, Dok. Saya mohon.”
“Tentu. Kami akan pantau terus. Untuk sementara, Ibu Anita perlu beristirahat total. Tidak banyak gerak, dan hindari stres,” ucap dr. Wenny dengan nada menenangkan.
Setelah dokter pergi, Arsen kembali duduk di samping tempat tidur Anita, tak henti menggenggam tangannya. Ia harus lebih waspada, lebih peduli, dan lebih banyak mendampingi.
Satu jam kemudian, Miranda tiba di rumah sakit. Langkahnya cepat memasuki ruang observasi dan langsung menghampiri putranya.
“Mana Anita? Bagaimana keadaannya?”
Arsen berdiri menyambut ibunya dan memeluknya sebentar. “Dia di dalam, Ma. Sudah agak membaik. Tapi masih perlu diawasi.”
Miranda segera mendekat ke sisi tempat tidur Anita dan menyentuh rambut menantunya dengan lembut. “Kamu istirahat saja, Nak. Mama di sini sekarang…”
Anita menatap wajah mertuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sangat lelah, namun juga bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang begitu mencintainya.
"Doakan Anita, Ma"
"Tentu sayang, tentu!"
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.