Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Mansion Keluarga Valencia
Marcus dan Sammy dikejutkan oleh berita terbaru yang terpampang di depan mata mereka.
Jade Valencia, putri bungsu mereka, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan lima anak dari keluarga kaya—yang tak lain adalah para pelaku pemerkosaan terhadap Jane Valencia.
Gelas yang dipegang Sammy terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai, dan pecah berkeping-keping.
"Membunuh mereka? Jade mana mungkin melakukan hal sebodoh itu!" seru Sammy, suaranya bergetar.
Marcus menghela napas berat, wajahnya menegang. "Anak ini selalu terburu-buru… ini perbuatan gila!"
Sammy berjalan mondar-mandir dengan wajah penuh kecemasan. Matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar saat ia menoleh ke arah suaminya.
"Marcus, hubungi Jade. Aku tidak percaya dia bisa begitu nekat! Dia tahu kalau melakukan itu, dia akan dihukum mati!" serunya, suaranya hampir bergetar.
Marcus tanpa berkata apa-apa segera mengambil ponselnya dan menekan nomor Jade. Ia menunggu dengan cemas, berharap suara putrinya akan terdengar dari seberang sana. Namun, dering itu terus berjalan tanpa jawaban.
Ia menurunkan ponsel dengan ekspresi muram. "Tidak ada yang menjawab," ucapnya pelan.
Sammy meremas jemarinya dengan gugup, lalu mendongak dengan tatapan penuh harapan. "Leon... hanya Leon yang bisa membantu kita," katanya, seolah menemukan secercah harapan di tengah situasi yang kacau.
Marcus menatap istrinya dengan ekspresi serius, lalu menghela napas berat. "Sammy, Leon adalah seorang hakim. Andaikan Jade memang melakukan kesalahan, maka posisi seorang hakim tidak akan bisa menyelamatkan seorang pembunuh. Tugasnya adalah menjatuhkan hukuman."
Sammy menggeleng, tak bisa menerima kata-kata suaminya begitu saja. Ia merasa dadanya sesak, pikirannya kalut. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas melangkah ke arah pintu dengan cepat.
"Aku ingin ke kantor polisi untuk memastikannya," ucapnya, suaranya penuh kegelisahan.
Marcus segera berdiri dan meraih lengannya sebelum ia bisa melangkah lebih jauh. "Sammy, jangan keluar dulu! Kita akan menjadi perhatian publik. Kita harus pastikan kalau semua ini hanya berita bohong," katanya dengan nada memperingatkan.
Sammy menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jade sudah muncul di berita dan tangannya diborgol oleh polisi, mana mungkin itu tidak benar?" jawabnya, suaranya lirih namun penuh kepastian.
Marcus menghela napas panjang, lalu kembali duduk dengan raut wajah penuh kecemasan. "Kalau memang benar, kita pasti akan dipanggil untuk menjadi saksi," ucapnya, mencoba berpikir lebih jernih.
Sammy menunduk, hatinya terasa begitu berat. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Kalau saja semalam kita tidak mengusirnya… mungkin saja dia tidak akan melakukan hal bodoh ini," bisiknya penuh penyesalan. "Seorang gadis muda, mana mungkin tega membunuh manusia? Bahkan ikan hidup saja dia tidak tega menyakitinya…"
Kantor Polisi
Di dalam ruang interogasi, suasana terasa tegang. Jade Valencia duduk di kursi dengan tangan yang diborgol, tetapi ekspresinya tetap tenang, bahkan cenderung dingin. Tidak ada ketakutan di matanya, tidak ada kecemasan dalam sorot pandangannya.
Di hadapannya, dua polisi duduk dengan tatapan tajam. Seorang pria dengan jas hitam rapi menatapnya dengan serius, sementara di sampingnya seorang wanita dengan rambut dikuncir tinggi memperhatikan setiap gerak-gerik Jade.
"Aku adalah Detektif Kian, dan ini rekanku, Detektif Candy," ucap pria itu dengan nada tegas, membuka interogasi.
Candy mengambil sebuah map dari meja, lalu menarik keluar beberapa lembar foto dan meletakkannya di depan Jade. Lima wajah berbeda terlihat di sana—lima pemuda dari keluarga terpandang yang kini tak lagi bernyawa.
"Jade Valencia, apakah mereka berlima kamu yang bunuh?" tanya Candy, menatap tajam ke arah gadis itu.
Jade hanya melirik sekilas ke arah foto-foto tersebut sebelum mengangkat bahunya dengan santai. "Benar," jawabnya tanpa ragu sedikit pun.
Candy dan Kian saling bertukar pandang. Ekspresi mereka tetap tenang, tapi jelas ada ketegangan di udara.
"Bisakah kamu memberi tahu kami alasannya? Dan siapa saja yang tahu tentang rencanamu?" tanya Kian, mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Jade tersenyum tipis, tetapi ada kepedihan yang tersembunyi di balik matanya. "Alasannya? Karena hukum di negara ini tidak adil dan lemah," katanya, nadanya penuh kebencian. "Mereka pantas mati. Kakakku tewas begitu saja, dan mereka malah hidup bersenang-senang di luar sana. Jadi, aku hanya menegakkan keadilan untuk kakakku yang malang."
Candy menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Apakah kamu sadar bahwa perbuatanmu hanya menghancurkan hidupmu sendiri? Kamu tidak akan bisa lolos dari jeratan hukum," ujarnya, suaranya lebih lembut dibanding sebelumnya.
Jade menatap lurus ke arah Candy, matanya dingin tanpa sedikit pun rasa penyesalan. "Hukum?" ia tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh sarkasme. "Yang aku tahu, hukum tidak berguna bagi orang kaya seperti mereka. Aku sudah mengakuinya, jadi silakan hukum aku sesuai undang-undang negara ini."
Kian bersandar di kursinya, menatap gadis itu dengan pandangan tajam. "Jade Valencia, aku tahu kamu membenci keputusan hakim. Tapi pihak keluarga korban bisa mengajukan sidang ulang."
Jade tertawa sinis. "Yang kaya tetap akan menang karena mereka mendapat dukungan. Pada saat itu, belum tentu mereka bisa dihukum. Jadi lebih baik aku yang menghakimi mereka," jawabnya penuh keyakinan.
Ia lalu menarik napas dalam dan menatap Kian dengan serius. "Satu hal lagi, aku ingin mengajukan permintaan."
Kian mengernyit. "Mengajukan permintaan?" tanyanya, sedikit terkejut.
Jade mengangguk. Kali ini suaranya terdengar lebih pelan, lebih dalam. "Kedua orang tuaku sudah cukup terluka kehilangan kakakku. Rencanaku ini tidak ada hubungan dengan mereka. Aku sudah lama hidup di luar rumah. Dan…" ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "jangan sampai orang luar tahu aku berasal dari keluarga mana. Aku tidak ingin kedua orang tuaku dikenal sebagai orang tua seorang pembunuh. Biarlah publik tetap menganggap mereka adalah orang tua yang baik."
"Jade Valencia, kau membunuh mereka dan kemudian menyerahkan diri. Apakah kamu tidak memikirkan perasaan kedua orang tuamu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih dalam, mencoba menggali lebih jauh.
Jade menegakkan punggungnya, matanya menatap lurus ke arah Kian. Ada kesedihan yang terpendam di sana, namun lebih banyak kemarahan dan kepahitan. Ia menarik napas perlahan sebelum menjawab.
"Lalu, siapa yang memikirkan perasaanku?" suaranya terdengar serak, tapi tetap tajam. "Aku kehilangan kakak kembarku, orang yang selalu ada untukku sejak kami lahir. Kami bahkan tidak pernah bertengkar sejak kecil. Kematiannya meninggalkan luka yang dalam bagiku."
Ia menggertakkan giginya, matanya sedikit memerah. "Kedua orang tuaku bisa hidup tanpaku, tapi mereka tidak bisa hidup tanpa kakakku. Aku tahu itu. Aku sudah tidak memiliki tempat di hati mereka sejak dulu. Jadi, penjarakan saja aku. Tidak perlu menyelidiki apa pun."
Jade menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Kian dan Candy dengan penuh ketegasan. "Pembunuhan ini memang bagian dari rencanaku!" ujarnya tanpa keraguan sedikit pun.
Candy, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Jade, kau tahu bahwa menyerah tidak akan membawa kakakmu kembali, bukan?"
Jade tertawa kecil, getir. "Tentu saja aku tahu. Tapi setidaknya, aku memastikan orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya tidak bisa lagi menyakiti orang lain."
***
Di ruang kerjanya yang megah, Leon menutup file di tangannya dengan kasar, suara berkas yang terbanting menggema di ruangan.
"Kenapa dia melakukan itu? Apa dia tidak sadar membunuh lima orang berarti hukuman mati?" ucapnya dengan nada penuh emosi.
Jacob, yang berdiri di dekat jendela, hanya bisa menghela napas panjang sebelum menjawab dengan hati-hati. "Nona Jade pasti sudah tahu risikonya. Sepertinya kematian Jane benar-benar membuatnya terpuruk hingga memilih jalan ini."
Leon menggeram pelan, matanya menatap tajam ke arah Jacob. "Jade yang aku kenal tidak mungkin bisa membunuh. Dia memiliki hati yang baik dan lembut. Aku tidak percaya dengan semua ini."
Jacob menundukkan kepala sedikit, memilih kata-kata yang tepat sebelum berbicara lagi. "Tapi, Nona Jade telah menyerahkan diri. Senjata tajam yang digunakan memiliki sidik jarinya. Klub malam tempat kejadian itu pun memiliki banyak saksi yang melihatnya."
"Melakukan hal bodoh demi kakaknya hanya merugikan diri sendiri," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia tersenyum sinis, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih tegas, "Jade tidak menyadari sikap asli dari kakaknya itu."
Jacob mengerutkan dahi, menatap Leon dengan rasa penasaran. "Tuan... apakah Anda mengetahui sesuatu tentang Jane Valencia?"
Leon tidak segera menjawab. Ia hanya menatap kosong ke kejauhan. Tidak tahu apa maksudnya dengan ucapannya tersebut.
ayo katakan yg sebenarnya