Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Suasana rumah masih terasa sangat aneh akibat perubahan sikap Maira setelah pulang bersama Livia.
Suara deru mobil terdengar di depan rumah.
Amira yang sejak tadi duduk di ruang tamu segera berdiri, menghapus bekas air mata kecil yang sempat jatuh tanpa ia sadari.
Pintu dibuka, dan di sanalah Arif berdiri, membawa tas kerjanya dengan wajah lelah namun tetap tersenyum hangat.
"Assalamu'alaikum," sapanya.
"Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Amira sambil mencoba tersenyum.
Arif masuk, meletakkan tasnya di sudut ruang tamu, lalu berjalan mendekat. Ia mengulurkan tangan, dan Amira menyambutnya, membiarkan suaminya mengecup punggung tangannya lembut.
"Capek, Mas?" tanyanya lirih.
"Sedikit," jawab Arif, "tapi hilang lihat kamu di rumah."
Matanya menghangat menatap Amira. Tapi saat itu pula, ia melirik ke sekeliling.
"Maira mana?"
Amira tersenyum tipis, sedikit gugup.
"Di kamar, Mas. Sepertinya kecapekan."
Arif mengangguk, lalu segera berjalan ke arah kamar Maira.
Tanpa mengetuk, ia membuka pintu perlahan. Di sana, Maira sedang duduk di lantai, memainkan bonekanya tanpa suara.
Wajahnya datar.
"Papa pulang..." sapa Arif sambil membuka tangannya, mengundang pelukan.
Baru kali ini Maira tersenyum, wajah kecilnya langsung cerah.
Ia berlari dan memeluk Arif erat.
"Papa!" serunya gembira.
Arif tertawa pelan, mengangkat tubuh mungil itu ke pangkuannya.
"Kangen, ya?" godanya.
Maira mengangguk cepat, memeluk leher Arif erat-erat.
Namun di mata kecilnya, ada kegelisahan samar yang tak disadari Arif.
Dari pintu, Amira memperhatikan.
Ada kehangatan di antara Arif dan Maira — kehangatan yang biasanya ia rasakan juga.
Tapi kini, rasanya seolah ia berdiri di luar lingkaran itu. Sendirian.
Amira menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik, menyiapkan makan malam, menahan rasa sepi yang tiba-tiba menggerogoti hatinya.
Di ruang makan, suasana sedikit aneh.
Maira duduk di samping Arif, terus-menerus menyuapkan makanan sambil berceloteh kecil.
Tapi pada Amira — ia bahkan tidak menoleh.
Bahkan saat Amira mengambilkan lauk untuknya, Maira menolak halus.
"Maunya Papa yang ambilin," katanya, tanpa menatap Amira.
Seketika, Amira merasa hatinya diremas.
Tapi ia tetap tersenyum, menahan luka kecil yang mulai menganga.
Arif tidak menyadari apa-apa.
Ia hanya tertawa kecil dan menyuapi Maira dengan penuh cinta.
Amira menunduk, menatap piringnya kosong.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya...
"Apa yang terjadi pada Maira? Kenapa jarak ini terasa begitu nyata, begitu dingin...?"
Sambil mengelus perutnya perlahan di bawah meja, Amira berbisik dalam hati.
"Semoga kamu kuat, Nak... Semoga Bunda kuat..."
Malam itu, rumah kecil mereka terasa lebih sunyi dari biasanya.
Arif sudah tertidur di kamar, kelelahan setelah seharian bekerja.
Tapi Amira masih terjaga.
Di kamar lain, Maira pun belum benar-benar tidur.
Amira tahu, karena ia mendengar suara halus boneka kain yang dimainkan dari balik pintu kamar kecil itu.
Pelan-pelan, Amira mengetuk.
Tok tok tok.
"Maira... boleh Mama masuk?" tanyanya lembut.
Tidak ada jawaban.
Tapi setelah beberapa detik, terdengar suara kecil, "Hmm..."
Amira mengartikan itu sebagai izin. Ia membuka pintu perlahan.
Lampu kamar dinyalakan redup. Di sudut ranjang, Maira duduk sambil memeluk bonekanya.
Amira mendekat, duduk di tepi tempat tidur.
"Maira..." panggilnya, berusaha mengulur tangan untuk membelai rambut si kecil.
Namun, Maira langsung menggeser tubuhnya menjauh, menjauhkan diri dari sentuhan Amira.
Sakit itu menghantam dada Amira begitu kuat.
Tapi ia menahan diri, tetap tersenyum meski matanya mulai panas.
"Mama sayang Maira, tahu?" bisik Amira, suaranya serak tertahan.
Maira menggigit bibir bawahnya, tidak berani menatap.
Ada konflik di matanya — ketakutan, kebingungan... dan penolakan kecil yang tumbuh dari bisikan beracun yang disemai Livia.
Amira menunduk, menahan air mata yang mendesak keluar.
"Kalau... kalau Maira ada adik nanti," lanjut Amira, berusaha tetap ceria, "Mama tetap sayang Maira. Sayang banget. Nggak akan berubah."
Maira menggeleng cepat, wajahnya mulai memerah.
"Nggak mau adik!" serunya keras, tiba-tiba.
Amira terkejut.
Maira mulai menangis, tubuh mungilnya bergetar.
"Nanti Papa sama Mama sayang adik aja... Maira nggak mau!" isaknya, menunduk dalam-dalam, membenamkan wajahnya ke boneka.
Air mata Amira jatuh akhirnya.
Ia menahan isak di tenggorokan, berusaha tidak membuat Maira makin takut.
Dengan pelan, Amira mengusap punggung kecil itu.
"Sayang... Mana janji. Kamu tetap anak Mama. Selamanya."
Ia menarik Maira ke pelukannya — dan untuk pertama kalinya, Maira tidak melawan.
Ia tetap menangis di dada Amira, membuat pelukan itu terasa sesak dan berat.
Seolah ada dinding yang mulai runtuh, tapi belum sepenuhnya hilang.
Di dalam hatinya, Amira berdoa.
"Tolong jangan ambil Maira dari aku... Tolong bantu aku melewati ini..."
Malam itu, di bawah lampu redup, dua hati — seorang ibu dan seorang anak — sama-sama berperang melawan ketakutan yang tidak mereka mengerti sepenuhnya.
Tangisan Maira mulai mereda dalam pelukan Amira.
Di antara isakan kecil, Amira tetap mengusap punggung kecil itu, membisikkan kata-kata lembut berulang-ulang.
Saat itu, pintu kamar terbuka perlahan.
Arif berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh tanya dan khawatir.
Ia berjalan masuk, menghampiri mereka.
"Ada apa ini?" tanyanya pelan, menunduk agar bisa sejajar dengan Amira dan Maira.
Amira menggeleng kecil, tak sanggup bicara.
Arif menatap Maira, yang kini mengintip dari balik pelukan Amira.
Matanya merah, pipinya basah.
“Papadi sini, Sayang..." kata Arif sambil mengulurkan tangan.
Pelan-pelan, Maira berpindah ke pelukan Arif, mencari perlindungan di dada ayahnya.
Arif mengangkatnya, membiarkan Maira duduk di pangkuannya.
Maira menggenggam erat baju Arif, seolah takut dilepaskan.
"Kenapa, Nak?" bisik Arif sambil mengusap rambutnya.
"Nggak mau cerita sama Ayah?"
Maira terdiam lama.
Tapi dorongan dari dalam hatinya yang polos akhirnya membuatnya memberanikan diri.
Tangan kecilnya menarik-narik baju Arif.
"Tadi... siang...," bisik Maira di sela isak kecil, "Tatnte bilang... kalau... kalau nanti ada adik... Papa sama Mama nggak akan sayang Maira lagi..."
Arif tertegun.
Nafasnya seolah tertahan.
Amira, yang mendengarnya jelas, menahan air mata. Dadanya terasa sesak mendengar bagaimana Livia telah menaburkan racun ketakutan di hati kecil Maira.
"Siapa, Nak?" tanya Arif dengan suara serak.
"Tante Livia jawab Maira lirih.
"Tante Livia, bilang... kalau Maira punya adik... Maira nggak akan disayang lagi... Terus... Maira harus gimana biar nggak punya adik..."
Air mata Maira jatuh lagi.
Arif mengatupkan rahangnya rapat-rapat, menahan amarah yang mulai membara.
Livia.
Teman lamanya.
Orang yang ia kira hanya sekadar rekan... berani memanipulasi anak kecilnya.
Arif menarik napas panjang, memeluk Maira lebih erat.
"Sayang..." katanya perlahan, "Dengerin Papa, ya..."
Maira mengangkat wajahnya perlahan, matanya membengkak.
"Apapun yang terjadi... Papa dan Mama tetap sayang Maira. Selamanya.
Mau ada adik, mau nggak... Maira tetap anak Papa dan Mama. Cinta Papa ke Maira nggak akan pernah berkurang, ngerti?"
Maira mengangguk kecil, walau ketakutannya belum sepenuhnya hilang.