NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Persekutuan Rahasia"

Siang itu, rumah sakit menjelma menjadi panggung kekacauan. Bukan karena gempa, bukan pula karena badai. Tapi karena manusia-manusia yang haus akan berita, menyemut di depan ruang gawat darurat dengan wajah penuh hasrat dan mata yang tak pernah lelah mencari sensasi. Mikrofon-mikrofon menjulur seperti tangan-tangan serakah. Kamera berkilat tanpa henti, seakan nyawa seseorang hanyalah sebuah tayangan untuk ditonton beramai-ramai.

Di balik tirai tipis itu, seorang pria tengah bertarung dengan ajal. Dada kanannya robek ditembus peluru—tajam, dingin, dan tanpa ampun. Dialah Novri Kharisma, terdakwa yang tak sempat menuntaskan pengakuannya. Rahasia besar yang akan ia buka di ruang sidang, kini membeku bersama tubuhnya yang nyaris tak bernyawa.

Di sisi ranjang, Liana duduk. Tangan kecilnya menggenggam jemari ayah angkatnya yang dingin, seolah kehangatan cinta seorang anak bisa memanggil hidup kembali. Tangisnya pecah, tidak gaduh, tidak berlebihan—namun cukup untuk merobek ketenangan ruangan itu. Suara hatinya tumpah bersama air mata, membentuk lautan pilu yang hanya dimengerti oleh jiwa yang pernah kehilangan.

Johan, Kalmi, dan Desi berdiri di belakangnya. Mereka tidak bicara. Tidak ada yang perlu diucapkan ketika luka begitu nyata. Diam mereka adalah doa. Sikap mereka adalah harapan yang digantungkan pada langit yang terasa makin jauh.

Di luar ruangan, kegaduhan tak mereda. Wartawan masih berteriak, polisi mulai kewalahan. Orang-orang ingin tahu lebih banyak dari yang seharusnya mereka tahu. Tapi rahasia itu tetap terkunci rapat—terperangkap di balik luka, nyaris terkubur bersama napas terakhir seorang lelaki yang pernah mencintai seperti ayah kandung sendiri.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Kalmi menepuk lengan Johan pelan. “Jo, keluar sebentar yuk. Gue mau ngomong sesuatu.”

Johan hanya mengangguk. Keduanya berjalan menyelinap di antara kerumunan, menjauh dari sorotan kamera, mencari tempat sunyi agar suara mereka bisa didengar satu sama lain, bukan sekadar dilawan oleh kebisingan.

Di lorong yang tenang, Kalmi membuka suara. Serius. Padat. “Ini udah kelewatan, Jo. Mereka nembak di tengah sidang, di depan polisi. Kalau Novri aja bisa kena, kita apalagi. Nyawa kita juga bisa jadi target selanjutnya.”

Johan mengangguk. Pandangannya kosong, tapi pikirannya sibuk bekerja. “Aku tahu, Mi. Tapi kita nggak boleh takut. Kalau ini benar ulah Pak Mulyono, kita harus pastiin buktinya sampai ke tangan yang tepat. Harus ada yang berdiri melawan kebusukan ini.”

“Ke siapa?” tanya Kalmi, lirih. “Ke Pak Soegeng? Dia udah dipecat. Dia bukan polisi lagi.”

Johan tersenyum samar. Senyum penuh kenangan. “Lo lupa? Dia dipecat bukan karena salah, tapi karena berani. Dan keberanian itu lebih langka dari jabatan apa pun. Dia masih punya nama. Masih jadi simbol keadilan di tengah gelapnya sistem. Gue yakin dia belum selesai berjuang.”

Kalmi terdiam sesaat. Ia menghela napas panjang, seolah mencoba menimbang antara ketakutan dan keberanian.

“Baiklah,”. “Kita cari dia. Tapi kita harus hati-hati. Langkah kita pasti diawasi sekarang.”

Johan menepuk bahunya. “Kita nggak sendiri, Mi. Tapi jangan pernah biarkan ketakutan menghentikan langkah. Bukan sekarang.”

Mereka kembali ke ruang rawat. Wajah Liana sembab, tapi tatapannya tajam. Ia tahu mereka harus pergi. Dan meski hatinya berat, ia mengangguk—mengizinkan, meski cemas mengendap di pelupuk matanya.

Langit sore menggantung kelabu di luar jendela. Dan di antara duka, rahasia, dan keheningan... langkah kebenaran mulai diayunkan kembali.

Pak Soegeng: Sang Penjaga Nurani yang Dibuang

Dulu, namanya harum di koridor kepolisian. Pak Soegeng, pria bersahaja yang menjadikan kebenaran sebagai kompas hidupnya, dikenal sebagai penyelidik tajam dengan nurani yang tak pernah tawar-menawar. Ia bukan sekadar aparat, tapi penjaga sunyi dari hukum yang sering digugat oleh kekuasaan.

Namun pada puncak kariernya, saat banyak memilih diam, Pak Soegeng memilih bersuara. Suara itu tidak lantang, tapi cukup nyaring untuk membuat para raksasa kekuasaan gemetar. Ia membuka tabir gelap jaringan korupsi yang merayap di akar sistem. Nama-nama besar jatuh dalam laporannya—beberapa tak tersentuh oleh hukum, tapi goyah oleh kebenaran.

Tak butuh waktu lama, badai pun datang. Ia dicopot dari jabatannya, dipaksa pensiun dini. Bukan karena gagal, melainkan karena terlalu berani. Namun, ketika seragamnya dilepas dan jabatannya dilucuti, satu hal yang tak pernah bisa dirampas dari dirinya: martabat.

Kini, ia tinggal di sebuah desa kecil yang nyaris terlupakan peta. Tak lagi dikelilingi oleh berkas perkara dan meja penyidik, tapi oleh sawah-sawah sunyi dan langit yang jujur. Di sanalah, dalam keterasingannya, Pak Soegeng tetap menjadi tempat bersandar bagi mereka yang tersesat mencari keadilan. Ia menjadi guru, pelindung, dan kadang hanya pendengar—semua dilakukan dengan kesetiaan yang tak berkurang meski zaman berubah.

Tubuhnya mungkin tak muda lagi. Usia hampir enam puluh tahun memberi garis-garis dalam di wajahnya. Tapi tegapnya masih utuh. Tatapannya tajam, namun hangat. Seorang ayah yang pernah kehilangan banyak hal, namun tak pernah kehilangan hatinya.

---

Malam menutup langit dengan tabir kelam saat Johan dan Kalmi melintasi jalanan sepi. Deru mesin menjadi satu-satunya teman sepanjang perjalanan. Kota telah lama mereka tinggalkan, dan kini yang tersisa hanyalah tikungan-tikungan sunyi, pohon-pohon yang berdiri seperti penjaga, dan bayang-bayang yang seakan berbisik dari balik gelap.

“Jo, kita nggak bisa sembarangan,” suara Kalmi pecah pelan, nyaris menyatu dengan hembusan angin dari kaca jendela yang terbuka sedikit. “Kita tahu siapa yang kita hadapi. Pak Mulyono bukan orang biasa. Dia punya mata di mana-mana.”

Johan tidak segera menjawab. Matanya tajam menatap ke depan, kedua tangannya menggenggam kemudi seolah nyawanya digantung di sana.

“Itu sebabnya kita butuh Pak Soegeng,” ujarnya akhirnya, lirih namun mantap. “Dia satu-satunya yang pernah berdiri melawan mereka… dan tidak hancur.”

Kalmi menunduk sebentar, berpikir. “Kalau rencana ini gagal, kita yang bakal dikorbankan. Lo siap, Jo?”

“Gue nggak punya pilihan selain siap,” jawab Johan. “Karena kalau kita mundur sekarang, semua perjuangan—semua nyawa yang sudah tumbang—akan hilang seperti debu.”

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Diam mereka bukan ketakutan, tapi semacam penghormatan untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri: kebenaran.

Ketika akhirnya mereka tiba, desa itu menyambut dengan sunyi. Sebuah rumah tua berdiri di ujung jalan tanah yang basah oleh embun malam. Lampu kuning redup menyala dari dalam, menggantung di beranda seperti cahaya kecil yang setia menunggu. Rumah itu tak besar, tak mewah, tapi ada sesuatu yang kuat mengalir darinya—semacam keteduhan yang hanya dimiliki oleh orang yang hidupnya telah banyak terluka, namun tetap memilih memaafkan.

“Ini dia,” bisik Johan.

Kalmi menelan ludah pelan. Di depan mereka, bukan sekadar rumah… tapi harapan terakhir yang mungkin masih bisa menyelamatkan semuanya.

Setelah memastikan tak ada bayangan yang mengikuti, tak ada langkah mencurigakan di balik pekat malam, Johan dan Kalmi akhirnya berdiri di depan pintu kayu itu. Rumah tua yang sunyi, diterangi lampu temaram, seperti menyimpan ribuan cerita yang memilih diam. Angin malam menyentuh daun pintu, menimbulkan bunyi lirih yang menyerupai bisikan masa lalu.

Dengan hati-hati, Kalmi mengetuk. Pelan, tapi cukup untuk mengusik hening.

Pintu itu terbuka perlahan. Di baliknya, berdirilah sosok pria tua dengan rambut seputih salju dan wajah yang diukir waktu. Meski tubuhnya tak sekuat dulu, sorot matanya masih menyala, menyimpan ketajaman yang tak bisa dirampas usia.

“Kalian datang larut sekali,” ucapnya. Suaranya rendah, ramah, tapi ada getar tanya di dalamnya. “Ada apa?”

“Maaf, Pak,” jawab Kalmi, suaranya sopan dan penuh hormat. “Kami tahu ini tidak tepat waktu. Tapi kami membawa sesuatu yang penting. Sesuatu yang tak bisa ditunda.”

Pak Soegeng menatap mereka beberapa detik, lalu mempersilakan masuk dengan satu isyarat tenang. Derit halus dari engsel pintu menyambut langkah mereka, seolah mengantar pada sebuah dunia yang telah lama menjauh dari hiruk pikuk. Ruang tamu itu sederhana. Hangat. Aroma kayu tua bercampur dengan kenangan. Di dinding, tergantung bingkai-bingkai foto—potret masa lalu yang diam-diam bercerita. Ada keluarga. Ada rekan sejawat. Ada kebanggaan dan luka dalam satu bingkai kehidupan.

Mereka duduk. Johan membuka suara, menjelaskan semuanya dari awal—tentang peristiwa ganjil di hutan Bukit Barisan, tentang peluru yang membungkam mulut kebenaran, tentang rahasia yang nyaris terbongkar namun terbenam kembali di ruang rumah sakit yang dingin. Pak Soegeng mendengarkan tanpa menyela. Wajahnya tenang. Tak ada reaksi yang meledak. Tapi dari sorot matanya, tampak jelas: ia menyerap segalanya. Setiap kata. Setiap celah.

Hening sesaat menggantung di antara mereka, seperti jeda sebelum badai datang.

“Jadi, kalian ingin saya turun tangan?” tanyanya akhirnya. Suaranya berat, namun mengandung keyakinan yang telah ditempa waktu. “Kalian ingin saya ikut membuka lembar kelam ini kembali?”

Johan mengangguk pelan. “Kami tahu risikonya besar, Pak. Tapi kami percaya... Bapak satu-satunya yang bisa membantu kami sekarang.”

Pak Soegeng menatap mereka dalam-dalam. Ada keteduhan di sana. Juga kepedihan yang lama dipendam.

“Yang kalian cari bukan kemenangan,” ujarnya lirih, “tapi kebenaran. Dan itu, anak-anak muda, selalu dibayar dengan harga yang mahal.”

Ia menarik napas panjang, menatap keluar jendela, pada malam yang menggigil dalam diam.

“Kalau kalian sudah siap kehilangan banyak hal... bahkan mungkin kehilangan segalanya—aku akan berdiri bersama kalian.”

Dan malam itu, di rumah sunyi di ujung desa, sebuah janji diam-diam ditulis oleh tiga hati yang tak sudi tunduk pada ketidakadilan.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!