Bayangkan, kedamaian dalam desa ternyata hanya di muka saja,
puluhan makhluk menyeramkan ternyata sedang menghantui mu.
itulah yang Danu rasakan, seorang laki-laki berusia 12 tahun bersama teman kecilnya yang lembut, Klara.
Dari manakah mereka?
kenapa ada di desa ini?
siapakah yang dapat memberi tahuku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mengare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari terakhir
"Ya ampun.., siapa yang akan menyangka kalau kita akan menggali tanah setelah menjadi pasukan pusat kota," keluh seorang prajurit yang istirahat sejenak setelah menggali parit di sekitar tumpukan karung tanah setinggi 5 meter.
"Haha.. Bukannya Nona Amel sudah memperingatkan kita sebelumnya," jawab yang lain.
"Hei, kalau beliau sampai tahu kamu memanggilnya Nona, dia pasti akan menghukum mu dengan berat."
"kalau begitu jangan bicara. beres sudah."
mereka berbicara dengan santai sampai membuat rekannya yang lain merasa risih. Dia memasang wajah kesal sambil menggeletakkan cangkulnya sembarangan.
"Apa sih hebatnya nona itu?! Aku yakin dia menjadi kesatria hanya bermodalkan kebangsawanan nya saja." kesatria berdiri pergi tapi segera dihampiri oleh kedua rekan dan menepuk pundaknya.
"Itu karena kamu belum mengenal beliau"
"Apa sih. Singkirkan tanganmu." kesatria itu menyingkirkan tangan rekannya dengan kesal sementara mereka berdua kembali ke parit dan berkerja dengan riang seolah biasa dengannya.
Kesatria itu benar-benar tidak tahu apa yang mereka pikirkan.
Dia menyadari kalau bukan hanya mereka yang bertingkah aneh tapi hampir keseluruhan dari rekannya demikian, bahkan pasukan guild di buat kagum dengan mereka.
"aku tidak menyangka pasukan kota seantusias ini. Padahal mereka melakukan tugas rendahan loh." sarkas salah seorang anggota guild.
"Semuanya! bekerja lebih keras dan tunjukkan seperti apa Api semangat Ambler menggelora!!" seru salah seorang mereka
"Hei. Diam saja!! Siapa yang membuat selogan bodoh itu?!" sahut rekannya yang lain.
Para kesatria membawa energi positif bagi yang lainnya. Bukan hanya mereka giat tapi juga sering bercanda dan tertawa tanpa menggangu pekerjaan mereka.
Ada beberapa yang berfikir, "apakah mereka benar-benar serius menjadi kesatria?"
Yang lain hanya mengikuti kegembiraan mereka dan tertawa bersama mereka.
Sementara yang lain justru risih karenanya.
Siang itu menjadi penuh warnah, teriakan semangat para pasukan yang berbanding terbalik dengan apa yang ada di hadapan mereka. Mereka bersemangat seolah itu adalah hari terakhir bagi mereka untuk bersemangat.
................
Tuan Senja kembali dari pembagian kebutuhan sementara, dia sempat mendapatkan perintah untuk mengevakuasi keluarganya ke pusat desa, tempat yang awalnya adalah gudang besar yang hanya digunakan saat panen raya terjadi.
Dia berdiri di depan pintu rumahnya dan mendengar suara Nyonya Vivi dan Nyonya Cendana yang sedang mengobrol, bertanya dalam hati. "Kenapa Nyonya Vivi ada di sini?"
Nyonya Cendana dan Nyonya Vivi sedang duduk bersama, mereka saling menceritakan cerita lucu anak mereka masing-masing yang membuat Danu dan Klara menjadi malu.
"Ma.. " panggil Klara sambil menarik ujung pakaian mamanya -memberi isyarat untuk diam.
"Klara benar-benar sangat manis saat itu, dia tidur sambil memeluk tangan saya dengan erat karena takut, dia bahkan meminta saya untuk terus membuka jendela hingga 1 bulan lamanya." Nyonya Vivi terus menceritakan masa lalu Klara, mengabaikan Klara yang ada di sampingnya.
Nyonya Cendana tertawa kecil mendengarnya. Mereka telah bersiap untuk mengungsi, tapi mereka harus menunggu kedatangan Tuan Senja yang cukup lama hingga mereka memutuskan untuk mengobrol.
Tuan Senja mengetuk pintu dan mengalihkan perhatian Nyonya Cendana dan Nyonya Vivi. Nyonya Cendana berdiri saat mendengar suara Tuan Senja yang memanggilnya. Dia membuka pintu dan tersenyum pada Tuan Senja.
Taun Senja mengelus kepalanya dan bertanya, "Apakah aku pergi terlalu lama?"
Nyonya Cendana tersenyum kecut, membuang wajah, dan mengeluh, "Sangat lama, kenapa tidak pulang sekalian."
Tuan Senja tertawa kecil, dia mencubit hidung Nyonya Cendana dengan gemas lalu berjalan masuk, meninggalkan Nyonya Cendana yang kesal dengan keusilan Tuan Senja.
Nyonya Cendana menatap Tuan Senja dengan tajam sambil memegang hidungnya yang memerah.
"Maaf, kalau boleh tahu, ada keperluan apa anda di sini?" tanya Tuan Senja dengan ramah.
"Ah.." Nyonya Vivi berdiri, menerangkan maksud keberadaannya di sana, "Maaf, tapi suami saya tidak bisa menemani saya dan anak saya untuk sementara waktu, jadi kami dititipkan kemari."
"Oh.. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat, semuanya sudah di siapkan, kan?" tanya Tuan Senja, memperhatikan barang-barang yang telah tertata rapi di lantai.
"Iya, sudah semua," jawab Nyonya Cendana.
****************
Bagian timur hutan ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan lebat, tapi semakin dekat dengan kabut hitam, semakin sedikit pula gugusan dedaunan yang terlihat. angin yang bertiup sejuk pada setiap orang yang melewati jajaran pohon, menyegarkan kulit yang berkeringat karena medan yang sulit.
Rangga berjalan melewati akar-akar pohon besar yang timbul di tanah. Dia terus mengamati sekitar, membawa kelompoknya ke dalam hutan. Jalan yang mereka lewati berkelok, sedikit cahaya matahari yang menembus dedaunan yang rimbun. Bagian timur selalu teduh hingga mereka mendekati kabut hitam, cahaya matahari yang terhalang rimbunan pepohonan, berangsur-angsur menjadi lebih terang.
Rangga dan rekan-rekannya berhenti pada ujung bagian hutan yang teduh, di hadapan mereka terlihat pemandangan yang jauh berbeda dari jalan yang mereka lalui. Cahaya matahari bersinar penuh pada pohon-pohon tinggi yang telah kering, berdiri di atas tanah yang telah tandus.
Kabut hitam itu menutupi sepenuhnya apa yang ada didalamnya, udara yang berhembus dari kabut itu dingin dan mencekam, dedaunan kering terbang mengikuti arah angin bertiup menerpa wajah Rangga dan rekan-rekannya.
Rangga menoleh ke belakang, menatap wajah gurunya, "Guru, apa rencana anda?"
Thomas berdiri tegak dan menjawab, "Kita menetap di sini sampai kita mendapatkan tanda dari pihak kuil."
...****************...
Jauh berbeda dengan bagian timur hutan, bagian barat cenderung jarang di tumbuhi pepohonan besar, pohon di sana rata-rata berukuran sedang. 20 orang pasukan berjalan melewati rumput yang tumbuh hingga setinggi paha orang dewasa.
Cahaya matahari yang menyebar luas, membuat rumput-rumput dan tanaman kecil tumbuh subur. Amel memimpin pasukannya melewati hutan berhenti pada ujung padang rumput yang berbatasan langsung dengan kabut hitam.
Dia menatap dengan seksama kabut hitam yang ada di depannya.
Amel menghadap pasukannya dan memberi isyarat untuk berhenti, "Persiapkan perbekalan kalian, kita akan berhenti sejenak di sini."
Pasukan itu segera beristirahat sementara beberapa dari mereka berjaga ke sekitar. Salah seorang dari mereka menghampiri Amel sambil membawa sebuah batu kuning yang bercahaya padanya.
Amel menerima batu itu dan berjalan menjauh dari kumpulan pasukan hingga dia menyendiri ke tempat yang cukup sepi.
Amel mengangkat batu itu dan bicara padanya, "Saya Amel Ambler, apakah ada yang bisa saya bantu?"
batu itu berkedip dan mengeluarkan suara, "Amel, bagaimana kabar mu nak?"
Wajah kaku Amel mengendur, dia menjadi lebih santai saat mendengar suara seorang wanita paruh baya dari batu itu. Ujung bibirnya agak mengangkat, dia menjawab, "Aku baik-baik saja, ibunda harus menjaga kesehatan ibunda, jangan sampai anda sakit."
"Ya ampun anak ini.., bisakah kamu bicara santai dengan ibu mu sendiri. Oh iya, kenapa tidak mencoba memanggilku mama, bukannya panggilan itu sering terdengar belakangan ini."
Amel mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan panggilan itu. "Maaf, saya rasa panggilan ibunda lebih nyaman saya gunakan dari pada mama."
"ya sudah kalau begitu." -nada kecewa.
Menghela nafas dan melanjutkan pembicaraan, "Apa yang ingin anda beritahukan kepada saya. Tidak mungkin anda memanggil saya hanya untuk ini."
"Haa.. Semakin lama kamu semakin mirip ayahanda mu saja. Aku cuma ingin mendengar kabar mu saja, kebetulan ayahanda mu ingin bicara."
Batu itu agak redup dan diam cukup lama sampai suara seorang laki-laki yang serak terdengar.
"Amel Ambler, katakan apa seperti apa situasinya."
Tubuh Amel menjadi tegang hanya dengan mendengar suara itu, wajahnya menjadi benar-benar serius. "Energi hitam pada kabut itu telah dikonfirmasi. Hasil menunjukkan kalau energi itu berasal dari spirit dari salah satu monster kuno, Dark Knight. Saat ini, saya sedang dalam tugas pemantauan dan persiapan penyergapan."
"Begitu. Jadi, apa kekuatan khusus spirit itu?" tanya ayahnya.
"Setelah diselidiki oleh pihak kuil, kekuatannya adalah membuka portal." jawab Amel.
"Huff.., Baiklah Aku akan kesana. seharusnya pasukan ku akan sampai setelah 4 hari." batu itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Amel Ambler aku tidak akan banyak bicara, aku sudah mengingatkan mu sebelumnya."
Amel mengepalkan tangannya, rasa kesal memenuhi hatinya.
"Amel, bertahan lah, apapun yang terjadi."
suara Ayahnya terdengar berat saat mengatakan hal itu.
Amel menggertakkan giginya dia ingin mencaci tapi suaranya terkunci begitu mulutnya terbuka. Dengan kesal dia berkata, "Saya rasa Tuan Besar Ambler tidak perlu mengatakannya. Saya heran, mengapa baru kali ini, anda memanggil nama saya secara langsung."
Amel menekan tombol yang ada di atas batu itu dan menghentikan komunikasi mereka. Namun, saat dia berbalik, terdengar raungan aneh dari balik kabut. Amel berlari ke garis depan dan terkejut, dia melihat kabut itu bergerak dengan cepat ke arah mereka.
Kabut tipis segera menerpa pasukannya serta Rangga yang ada di sisi lain hutan. Mata merah bermunculan dari balik kabut tebal, mereka mendekat ke arah mereka dan perlahan menampakkan wujudnya.
"Ini lebih cepat dari yang di perkirakan." gumam Amel.
128 orang pasukan bantuan datang dalam 3 hari. Saat ini 28 orang di antaranya sedang berhadapan langsung dengan monster yang muncul dari kabut yang mengandung energi hitam.
28 orang yang harus menghadapi musuh yang tidak diketahui jumlah pasti dan kekuatannya, kecuali 9 monster dengan energi kegelapan yang pekat hingga dapat dirasakan oleh Hayako.