Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Lekky tersenyum miring, suaranya rendah dan penuh kepuasan saat dia menundukkan kepalanya, menghirup aroma rambut Yuki yang terperangkap dalam pelukannya.
“Bahkan setelah lupa ingatan pun, tubuhmu masih mengingatku dengan baik, hmm…” bisiknya, nadanya mengandung godaan yang halus, seolah menikmati situasi ini lebih dari yang seharusnya.
Yuki tidak menjawab, tidak juga berusaha melepaskan diri. Dia hanya diam, tenggelam dalam kehangatan yang terasa begitu familiar, begitu aman. Tangan Lekky perlahan mengelus punggungnya, gerakan lembut yang seakan ditujukan untuk mengingatkan Yuki akan sesuatu yang telah lama hilang.
“Yuki,” panggilnya pelan, membiarkan namanya meluncur seperti nada yang manis.
Yuki mengangkat kepalanya perlahan, matanya mencari wajah pria itu. Ada sesuatu yang aneh—dia tidak tahu siapa lelaki ini, tetapi entah mengapa, dia merasa seperti seharusnya mengenalnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu yang membuatnya tetap berada dalam dekapan pria ini.
Lekky tersenyum lagi, kali ini lebih lembut, lebih penuh perasaan. “Kau tidak perlu mengingat,” katanya. “Cukup rasakan.”
Dan Yuki menurut.
Yuki mengangkat kedua tangannya, jemarinya yang ramping menyentuh wajah pria di hadapannya dengan hati-hati. Kulitnya dingin, dengan bekas luka yang tampak kasar di beberapa bagian, seolah pernah mengalami luka yang sangat parah. Yuki tidak tahu apa yang telah terjadi pada pria ini, tapi jari-jarinya bergerak sendiri, menelusuri setiap guratan luka dengan rasa ingin tahu dan sedikit rasa sakit yang aneh di hatinya.
Lekky mengeluarkan suara rendah, hampir seperti dengkuran singa yang menikmati belaian lembut. Dia tidak menolak sentuhan Yuki, malah membiarkannya terus menyentuh, seakan memberikan izin tanpa kata-kata.
Namun, posisi mereka terasa kurang nyaman bagi Yuki. Dengan ekspresi penuh permohonan, dia mengangkat kedua tangannya, menatap Lekky dengan mata besar yang jernih, meminta sesuatu tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.
Lekky menatapnya beberapa saat, lalu tersenyum miring. “Kau ingin aku menggendongmu?” tanyanya dengan nada geli.
Yuki tidak menjawab, hanya terus menarik lengan Lekky dengan sedikit rengekan halus, mendesaknya untuk memenuhi keinginannya.
Lekky menghela napas pendek, lalu dengan satu gerakan mudah, dia mengangkat Yuki ke dalam pelukannya. Gadis itu langsung melingkarkan tangannya di leher Lekky, membenamkan wajahnya di bahunya dengan nyaman.
“Baiklah… Kau manja sekali,” gumam Lekky, tetapi tidak ada nada penolakan di suaranya. Sebaliknya, ada kepuasan terselubung yang sulit dibaca, seakan dia menikmati bagaimana Yuki begitu mudah bersandar padanya.
Lekky berjalan perlahan melewati hutan, membiarkan Yuki menikmati kenyamanannya. Tangan Yuki masih menelusuri wajahnya, jari-jarinya menyusuri bekas luka yang tampaknya cukup dalam.
“Apa yang terjadi padamu…?” bisiknya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.
Lekky hanya mendengkur rendah, Sebaliknya, dia hanya menatap Yuki dengan mata yang penuh misteri dan senyum yang seakan menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.
Ketika jemari Yuki tanpa sadar meraba bibir Lekky, pria itu tiba-tiba tertawa pelan, suara rendahnya bergetar seperti hembusan angin malam yang membawa sesuatu yang berbahaya.
Lekky menatapnya dengan mata tajam yang penuh hiburan, lalu menyeringai. “Selain manja, kau juga masih nakal,” gumamnya dengan nada menggoda.
Jemari Yuki masih bertengger di sudut bibirnya, dan tanpa mengurangi intensitas tatapannya, Lekky dengan lembut menangkap pergelangan tangan Yuki, menahannya di sana.
“Berhenti menyentuh di tempat yang tidak seharusnya,” lanjutnya, suara beratnya terdengar seperti peringatan halus. Dia menurunkan tangan Yuki perlahan, tetapi tidak melepaskannya sepenuhnya, jari-jarinya masih melingkari pergelangan tangan gadis itu.
“Kau tahu, aku bukan pria yang murah hati.” Tatapan Lekky menggelap, mencerminkan sesuatu yang samar—antara ancaman dan godaan. Bibirnya melengkung tipis, menyiratkan kesenangan tersembunyi dalam situasi ini.
Lekky melangkah dengan tenang, membawa Yuki dalam gendongannya seolah berat tubuh gadis itu bukan masalah sama sekali. Lengan Yuki melingkari lehernya, dan tanpa ragu, dia mengapitkan kedua kakinya di pinggang pria itu, membiarkan dirinya ditopang sepenuhnya.
Lekky menghela napas dramatis, meskipun sorot matanya justru terlihat penuh hiburan. “Ah… apa yang baiknya kulakukan pada gadis nakal sepertimu?” gumamnya, nada suaranya terdengar seperti setengah keluhan, setengah godaan.
Namun, meskipun kata-katanya mengisyaratkan keberatan, langkah Lekky tetap ringan, penuh keyakinan. Dia bergerak dengan lincah di antara pepohonan, seolah hutan ini adalah bagian dari dirinya, tempat di mana dia benar-benar berada di puncak kendali.
Sesekali, tanpa peringatan, Lekky menjulurkan kepala dan mengecup pipi Yuki dengan gerakan sekilas, lalu berpindah ke leher gadis itu, membiarkan bibirnya menyentuh kulit lembut yang memancarkan kehangatan. Sentuhan ringan itu seolah dilakukan dengan iseng, tapi jelas ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya.
Yuki tetap diam dalam pelukannya, tidak memberikan perlawanan sedikit pun. Entah karena dia masih terjebak dalam kabut ingatannya yang samar, atau karena tubuhnya sendiri lebih dulu mengenali pria ini sebelum pikirannya bisa memproses semuanya.
Ketika akhirnya Lekky berhenti melangkah, Yuki mendapati dirinya dibawa ke sebuah padang bunga yang membentang luas, dipenuhi kelopak-kelopak berwarna kuning keemasan yang bergoyang lembut diterpa angin senja. Cahaya matahari yang mulai meredup menebarkan semburat jingga di cakrawala, membuat pemandangan itu tampak seolah berasal dari dunia lain—hangat, damai, dan sejenak terlepas dari segala intrik serta bahaya yang mengintai.
“Wuahhhh!”
Tanpa menunggu lebih lama, Yuki melompat turun dari gendongan Lekky, melepaskan dirinya dengan lincah. Dia berlari ke tengah hamparan bunga, tangannya terentang, menyibak kelopak-kelopak yang hampir setinggi pinggangnya. Angin menyapu rambutnya, membuat helaian panjang itu menari di udara.
Senyumnya begitu lepas—sebuah ekspresi kebebasan murni, seperti seseorang yang baru lahir kembali setelah sekian lama terkurung dalam bayang-bayang yang menyesakkan.
Dia tertawa. Suaranya ringan, jernih, mengisi udara dengan kehangatan yang langka.
Lekky hanya berdiri di tempatnya, matanya mengamati Yuki dengan sorot yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang samar di balik senyum miringnya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hiburan atas tingkah laku Yuki. Seakan-akan, dalam sekejap itu, dia sedang melihat sesuatu yang dulu pernah dimilikinya… dan kini kembali berada dalam genggamannya.
Lekky tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di tempatnya, membiarkan Yuki larut dalam dunianya sendiri. Dia tahu betul isi kepala gadis itu—pikirannya yang penuh kebingungan, kenangan yang samar, dan perasaan yang bercampur aduk. Kemampuan membaca pikiran yang dimilikinya selalu berguna, terutama dalam situasi seperti ini.
Dengan tenang, Lekky melangkah ke bawah naungan pohon besar di tepi padang bunga. Dia bersandar pada batangnya, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan gerakan santai. Asap putih mengepul dari bibirnya, melayang terbawa angin senja.
Matanya tetap tertuju pada Yuki. Gadis itu masih berjalan ke sana kemari di antara bunga-bunga kuning keemasan, jemarinya menyentuh kelopak yang lembut, sesekali berhenti untuk menatap langit yang mulai gelap.
Lekky tidak mengganggunya. Tidak memanggil atau mencoba menariknya kembali. Dia hanya mengawasi—dengan sabar, dengan tenang, dan dengan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pengamatan biasa. Seolah-olah dia sedang menunggu… atau mungkin menikmati momen ini lebih dari yang bersedia dia akui.
Ketika suara langkah kaki mendekat, disertai bunyi ranting yang patah di bawah pijakan kasar, ekspresi Lekky berubah. Dia mendesah pelan, mengembuskan asap rokoknya dengan malas sebelum bergumam dengan nada kesal,
“Pengganggu datang.”
Matanya yang tajam melirik ke arah datangnya suara, namun tubuhnya tetap santai bersandar pada pohon. Dia tahu siapa yang datang—atau setidaknya bisa menebak. Dan seperti biasa, orang itu datang membawa masalah.
Sementara itu, Yuki masih sibuk dengan padang bunga, seolah-olah dia tidak menyadari ketegangan yang mulai menggantung di udara.
...****************...
Ketika suara langkah kaki mendekat, disertai bunyi ranting yang patah di bawah pijakan kasar, ekspresi Lekky berubah. Dia mendesah pelan, mengembuskan asap rokoknya dengan malas sebelum bergumam dengan nada kesal,
“Pengganggu datang.”
Matanya yang tajam melirik ke arah datangnya suara, namun tubuhnya tetap santai bersandar pada pohon. Dia tahu siapa yang datang—atau setidaknya bisa menebak. Dan seperti biasa, orang itu datang membawa masalah.
Sementara itu, Yuki masih sibuk dengan padang bunga, seolah-olah dia tidak menyadari ketegangan yang mulai menggantung di udara.
Pangeran Riana menghampiri Yuki dengan langkah cepat, mengusik ketenangan yang sempat tercipta di padang bunga. Di belakangnya, para prajurit mengikuti dengan senjata di tangan, siap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin muncul.
Lekky masih bersandar di pohon, tidak menunjukkan tanda-tanda khawatir atau gentar. Dia hanya menyaksikan kejadian itu dengan senyum samar, seolah sudah menduga semua ini akan terjadi.
Pangeran Riana tidak berkata apa-apa saat tangannya langsung meraih pergelangan Yuki dan menariknya dengan tegas.
Yuki tersentak, matanya melebar saat kesadarannya kembali. Dia baru menyadari keberadaan Pangeran Riana—dan juga para prajurit di belakangnya.