Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
PINTU KELAS ELEKTRO, PUKUL 08.55
Pintu kelas teori Sinyal Digital sudah terbuka. Suara riuh rendah mahasiswa yang saling bertukar catatan dan obrolan tentang tugas memenuhi udara. Rayyan Albar mendekati pintu itu, tas ransel hitamnya yang sudah usang terisi penuh buku tebal dan laptop tua. Wajahnya fokus, pikirannya sudah masuk ke dalam materi yang akan dibahas.
Tapi, siluet seorang gadis yang bersandar di dinding dekat pintu, terpahat sempurna oleh sinar matahari dari jendela koridor, menghentikan langkahnya sejenak.
Jessy Sadewo.
Dia mengenakan dress putih sederhana yang justru menonjolkan kemewahannya karena potongan dan bahannya yang sempurna. Rambutnya tergerai lembut, dan senyumnya—sumringah, percaya diri, dan sedikit menantang—langsung tertuju padanya seolah mereka adalah sepasang kekasih yang telah janjian.
"Heey, Rayyan!" sapanya, suaranya sengaja dibuat manis dan bergetar girang.
Rayyan hanya meliriknya. Ekspresinya tidak berubah, bagaikan melihat sebuah lukisan yang tidak ia mengerti. Tanpa sepatah kata pun, dia menunduk, memasuki kelas, dan langsung menuju meja asisten dosen di depan, seolah Jessy hanyalah angin yang lewat.
Tapi Jessy tidak goyah. Dengan langkah percaya diri high heels-nya yang berderak di lantai, dia mengikutinya masuk ke dalam ruang kelas yang penuh dengan mahasiswa laki-laki.
Seluruh kepala langsung menoleh. Kehadirannya seperti seekor burung merak yang tersesat di kandang burung gereja. Desis-desis takjub dan bisikan-bisikan penuh selidik langsung menyebar. Beberapa mahasiswa menyembunyikan senyum kecanggungan, yang lain hanya melongo.
Jessy sama sekali tidak peduli. Matanya hanya tertuju pada satu orang.
"Heey, Rayyan. Aku Jessy, yang kemarin nabrak kamu," ujarnya, berjalan mendekati meja asisten dosen seolah itu adalah panggungnya. Suaranya jelas, sengaja terdengar oleh semua orang. "Nanti siang kita bisa makan bareng, nggak?"
"Woooiyy!!"
"Cieee yang ditembak!"
"Bang Rayyan dapet durian runtuh nih!"
Suara riuh teman-teman sekelasnya membahana, menambah keyakinan Jessy.
Tapi Rayyan bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dia sedang mengeluarkan laptop dan kabel-kabel dari tasnya. Dengan suara datar, jernih, dan memotong semua keriuhan, dia menjawab,
"Nggak."
Satu kata. Tajam dan tanpa embel-embel.
Jessy tersenyum lebih lebar, menangkapnya sebagai sebuah tantangan. "Nggak bisa. Kamu harus mau," godanya, memaksakan keinginannya dengan manja yang biasanya selalu berhasil. "Aku tunggu di kantin jam 11 ya!"
Dan sebelum Rayyan bisa menyangkal lagi, dia sudah berbalik dan melenggang keluar ruangan, meninggalkan jejak wangi mahal dan senyum kemenangan, seolah semuanya sudah disetujui. Pintu tertutup, tapi bisikan dan tatapan penasaran di kelas itu masih lama mengudara.
---
KANTIN UTAMA, JAM 12.07
Kantin sudah mulai sepi. Sisa-sisa aroma nasi goreng dan minyak goreng menggantung di udara. Hanya tersisa beberapa mahasiswa yang masih asyik mengobrol atau mengerjakan tugas.
Di sebuah meja yang strategis dekat pintu, Jessy masih duduk. Di depannya, sebuah jus alpukat dan sepiring pasta sudah tidak lagi menguap, dingin dan tak tersentuh. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme yang semakin cepat dan kesal.
Nita dan Della saling pandang dengan cemas sebelum akhirnya mendekat.
"Jes, udah deh yuk. Balik aja," bujuk Nita, suaranya lembut. "Dia kan asdos, pasti lagi ada urusan kampus atau ngebimbing junior. Sibuk kali."
Della mengangguk, mencoba menenangkan. "Iya, Jes. Rayyan itu bukan cowok biasa. Jadwalnya padat banget. Mungkin emang nggak bisa."
Tapi kata-kata itu justru seperti bensin yang disiram ke bara di dalam dada Jessy. Bukan cowok biasa. Itu yang membuatnya semakin penasaran, dan semakin tersinggung. Dalam hidupnya, tidak ada pria yang pernah membuatnya menunggu. Tidak ada yang berani mengabaikan undangannya. Rasa mulai membara—campuran dari penolakan, rasa malu, dan keinginan yang tak tertahankan untuk menaklukkan.
Wajahnya yang biasanya cerah sekarang keruh, alisnya berkerut, dan bibirnya mengerut. Dia mengeluarkan selembar kertas dari tas kecilnya—jadwal kelas Rayyan yang dia dapat dengan cara memaksa. Matanya menyapu setiap baris.
13.30 WIB - LAB. ELEKTRO 3 - PRAKTIKUM MIKROPROSESOR
Nafasnya tertahan. Jadi itu alasannya. Dia punya kelas lagi.
Dengan gerakan tiba-tiba, Jessy berdiri. Kursinya berdecit keras di lantai, memecah kesunyian kantin.
"Gue mau cari dia!" serunya, suaranya mengandung amarah dan tekad yang membara.
Tanpa menunggu respon dari kedua sahabatnya yang hanya bisa terpana, Jessy sudah berjalan cepat meninggalkan kantin. Langkahnya tegas, high heels-nya menghunjam lantai dengan suara yang menggambarkan amarah dan kekecewaannya. Dia berjalan menuju Lab Elektro 3, dengan satu tujuan: menemukan Rayyan dan mendapatkan jawaban yang dia inginkan, tidak peduli bagaimana caranya. Rasa kesal itu telah berubah menjadi obsesi yang membara, dan Jessy Sadewo tidak terbiasa dikalahkan.
***
LABORATORIUM ELEKTRO 3, JAM 12.30
Koridor di sekitar Lab Elektro 3 sepi dan sunyi, berbeda dengan keramaian di bagian lain kampus. Hanya suara dengung AC sentral yang terdengar samar. Jessy berdiri di depan pintu lab yang tertutup, napasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat.
Dia mencoba mendorong pintunya. Kreek... Pintu yang seharusnya terkunci itu ternyata tidak tertutup rapat dan terbuka dengan pelan.
Gelap. Hanya ada cahaya redup yang menyelinap dari jendela kecil di bagian atas, menyinari debu-debu yang menari di udara. Lab itu berbau logam, solder, dan sesuatu yang tajam seperti ozone. Rak-rak penuh dengan komponen elektronik dan kabel-kabel yang berjuntai membentuk bayangan-bayangan aneh di dinding.
Jessy melangkah pelan, sepatunya nyaris tidak bersuara di lantai vinyl. Lalu, telinganya menangkap sesuatu: suara napas. Dalam. Teratur. Halus. Seperti seseorang yang tertidur lelap.
Dia mengikuti suara itu, matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan. Dan di sana, di sebuah pojokan lab yang paling jauh dari pintu, di balik sebuah meja kerja yang penuh dengan papan sirkuit yang berserakan, terbaringlah seorang pria.
Rayyan.
Dia tertidur di atas sebuah hamparan kardus bekas komponen, jaketnya yang sederhana dijadikan bantal. Wajahnya yang biasanya tegas dan berisi konsentrasi kini terlihat lepas. Cahaya redup menyentuh garis rahangnya yang tegas, alisnya yang hitam, dan bulu matanya yang panjang. Dalam tidurnya, semua ketegasan itu luruh, menyisakan wajah seorang lelaki muda yang lelah namun damai. Tampan dan cerdas. Kolaborasi yang, dalam diam, diakui Jessy sebagai sesuatu yang nyaris sempurna.
Amarah Jessy yang membara tiba-tiba padam. Dia terpaku, hanya bisa menatap. Ada sesuatu yang sangat vulnerabel dan jujur dari pemandangan ini, sangat kontras dengan pria dingin yang menolaknya mentah-mentang. Entah dorongan apa yang ada dalam benaknya, mungkin rasa ingin tahu, mungkin keinginan untuk menguasai, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa dia pahami.
Dengan hati yang berdebar kencang, Jessy berjongkok perlahan di sampingnya. Dia membungkuk, wajahnya hanya berjarak secenti dari wajah Rayyan. Dia bisa mencium bau sabun mandi yang sederhana dan sedikit bau keringat. Tanpa pikir panjang, dipicu oleh rasa penasaran dan keinginan untuk 'menaklukkan' yang tak terbendung, dia menutup matanya dan menempelkan bibirnya pada bibir Rayyan dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh rasa ingin tahu.
Sentuhan hangat dan lembut itu seperti kejutan listrik.
Rayyan tersentak keras dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, masih berkabut oleh mimpi, merekam wajah Jessy yang begitu dekat, wajah yang cantik sempurna dengan mata yang membesar karena kaget.
Untuk sepersekian detik, mereka berdua terpaku. Ada sebuah keheningan yang aneh, sebuah momen suspensi di mana yang terdengar hanya debaran jantung mereka yang saling berkejaran.
Tapi kemudian, kesadaran Rayyan datang menghantam seperti air dingin. Dia mengenali wajah itu, mengenali situasi ini. Dia mendorong dirinya untuk duduk, tangannya dengan kasar mengusap bibirnya, seolah ingin menghapus bekas yang menjijikkan.
"Apaan sih!" suaranya serak namun penuh dengan nada jijik dan kemarahan. "Jijik, tau nggak?!"
Mendengar kata 'jijik', wajah Jessy berubah drastis. Bagai disiram air dingin, rasa malu dan kagetnya langsung berubah menjadi amarah yang menyala-nyala. Dia bangkit berdiri, tubuhnya gemetar.
"Apa?! Jijik?!" teriaknya, suaranya meninggi dan pecah oleh emosi. "Kamu tau nggak siapa aku?!" Dia menatap Rayyan dengan pandangan penuh kebencian dan harga diri yang tercabik. "Kamu cuma mahasiswa jalur beasiswa! Aku bisa suruh Papiku cabut beasiswa kamu sekarang juga!"
Wajah Rayyan menjadi dingin. Tantangan di matanya justru semakin menjadi. Dia berdiri, menyamai tinggi Jessy, dan menatapnya langsung tanpa takut.
"Cabut aja," ujarnya, suaranya rendah namun terpotong jelas, penuh dengan tantangan yang lebih menyakitkan daripada teriakan. "Gue nggak peduli."
Jessy tercengang. Mulutnya terbuka sedikit, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tidak ada. Tidak ada rasa takut sama sekali di mata pria itu. Tidak ada permohonan. Hanya ketidak acuhan yang begitu tulus dan menghinakan.
"Kamu—!" Nafasnya tersengal, dadanya naik turun. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuasaan yang dirasa mulai luntur. "Oke. Oke. Aku pastiin kamu bakal datang ke aku. Mohon-mohon minta dikasihani. Kamu bakal lihat!"
Tanpa bisa menahan amarahnya lebih lama, Jessy berbalik dan berjalan cepat keluar lab. Dia membanting pintu lab itu sekuat tenaga.
BAAAM!
Suara bantingan itu bergema keras di koridor yang sepi, menggambarkan betapa hancurnya harga diri seorang Jessy Sadewo dan mengawali sebuah permainan api yang berbahaya.
kudu di pites ini si ibu Maryam