NovelToon NovelToon
Desa Hujan

Desa Hujan

Status: tamat
Genre:Horor / Tamat
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Sudah dua tahun ini Feri tidak pernah pulang ke rumah. Ia tinggal di asrama tempatnya bersekolah. Rencananya ia hanya akan pulang setelah lulus. Tapi di liburan kenaikan kelas kali ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang. Ia juga mengajak sahabatnya untuk pulang ke desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Terkadang Hujan Berhenti

Tidak selamanya pada musim hujan langit dikuasai oleh mendung gelap yang terus-terusan menangis. Ada dimana hari dijadwalkan matahari untuk bersinar terang memberikan panas setidaknya untuk membuat jemuran para warga kering. Di saat itu pula warga desa mempunyai waktu untuk sejenak mengesampingkan kalut pikiran mereka dengan hujan dan malam yang setiap hari-harinya mencekam kekhawatiran.

“Fer… Wan… tadi malam langit cerah. Lihat hari ini sepertinya akan panas sampai sore”, kata Pak Tomo.

“Cari ikan sana Fer. Biar bapak yang urus jemuran”, pinta Pak Tomo.

Ironi memang. Seharusnya tinggal di sebuah desa seperti di tempat mereka musim hujan adalah sebuah panen besar untuk menangkap ikan. Tapi nyatanya para penduduk terkekang dan terbatas waktu untuk menikmati suguhan alam itu. Di hari itu tidak hanya Feri dan Iwan yang pergi ke sungai untuk memancing. Sebagian besar warga desa juga turut meramaikannya. Bahkan anak-anak pun juga ikut berangkat.

“Bagaimana menurutmu?”, tanya Feri kepada Iwan setibanya mereka di sungai.

“Indah sekali. Sungai di sini jauh lebih asri dibandingkan dengan sungai di kampungku”, Iwan takjub.

Air sungai yang jernih laksana cermin baru yang untuk pertama kali dibuka dari plastik kemasan. Aliran arus sungai yang mengalun dengan nada yang pas syahdu didengar. Hari itu benar-benar waktu yang tepat untuk para warga memanen pangan. Jangan ditanya berapa banyak ikan yang mereka dapatkan. Orang-orang seakan tanpa kesulitan menjinakkan penghuni-penghuni sungai yang sudah cukup lama mengendap di musim hujan.

Penduduk desa begitu menikmati waktu senggang mereka dari kekangan keadaan meski hanya untuk sementara. Orang-orang yang memancing begitu girang dengan tangkapan mereka. Baru sebentar kail dilempar mereka harus sudah menariknya lagi untuk kemudian memasang umpan yang baru. Bocah-bocah begitu gembira bisa bermain bersama-sama lagi di tempat yang jauh dari rumah. Sewajarnya anak-anak hanya dengan bermain air saja mereka sudah merasa memiliki surga mereka sendiri. Namun yang namanya perkiraan bisa ada melesetnya tidak selalu benar. Baru saja setengah hari berlalu kumpulan awan-awan hitam dari kejauhan sudah mengancam berarak melaju menuju ke arah sungai dimana warga sedang beraktivitas. Orang-orang tidak menyadari akan hal itu.

“Sukri. Kamu bawa orang-orang pulang ya. Suruh mereka pulang sekarang juga. Anak-anak jangan sampai lupa. Jangan sampai ada yang tertinggal”, pinta Pak Dirman kepada Sukri.

“Siap Pak Lurah”, patuh Sukri.

“Pulang.. pulang.. pulang… sebentar lagi mau hujan”, Sukri teriak-teriak.

Adalah Pak Dirman kepala desa yang matanya tidak melewatkan mendung yang mengendap-endap akan datang ke desanya. Setelah kecolongan satu orang warganya ia tidak mau lengah dalam tanggungjawabnya memimpin dan menjaga mereka dalam pertempuran yang masih dini ini.

Feri yang memilih titik lokasi paling jauh di sungai dari kerumunan pemancing yang lain langsung bergegas meninggalkan posisinya setelah mendengar perintah yang menyuruh mereka untuk segera pulang. Ia berjalan sambil celingukan mencari kawannya yang katanya ingin mencari titik lokasi mancing sendiri karena mengaku sudah berpengalaman. Tapi yang ada justru Feri tidak melihat Iwan diantara kerumunan warga yang lain.

“Pak Lurah… Pak Lurah”, Feri berlari menghampiri Pak Dirman.

“Ayo kita pulang sebentar lagi mendung”, ajak Pak Dirman.

“Waduh Pak. Teman saya tidak ada”, kata Feri panik.

“Waduh.. tadi bukannya sama kamu. Dia pergi kemana?”, tanya Pak Dirman yang ikutan panik.

“Saya kurang tahu Pak tadi pamitnya mau mancing sendiri”, kata Feri.

“Permisi Pak Lurah. Tadi saya lihat temannya mas Feri pergi ke arah embung”, kata seorang warga yang menjadi saksi kemana Iwan pergi.

“Ya sudah ayo kita susul”, perintah Pak Dirman.

Sukri membawa warga desa pulang. Sementara Pak Dirman bersama Feri dan salah seorang warga mencari Iwan yang terakhir kali terlihat berjalan menuju embung.

Melawan arah. Pencarian Iwan menerjang jalan untuk bertemu dengan arak-arakan awan gelap yang mulai berdatangan. Dari sungai ke embung mereka bertiga berlari cepat. Feri sangat takut jika kawannya itu melakukan hal yang sama seperti tempo hari berdiri di bibir embung dengan keadaan air embung yang sekarang sudah penuh tampungan air hujan. Temannya itu benar-benar tidak tahu apa yang bisa dilakukan diam-diam oleh air tenang yang menghanyutkan itu.

Pak Dirman yang berada di garis depan terlebih dahulu tiba di lokasi embung. Namun ia justru dibuat terdiam melihat orang yang sedang mereka cari sedang bersembunyi di semak-semak ilalang berlagak sedang mengintai sesuatu.

“Loh kamu ini sedang apa? Kami cari. Ayo kembali ke desa”, kata Pak Dirman.

“Pak itu mbak Endang”, kata Iwan.

Ternyata bukanlah kemauan Iwan sendiri untuk pergi ke embung melainkan di saat memancing tadi Iwan yang sedang mencari titik lokasi memancing secara tidak sengaja melihat Endang yang berjalan entah kemana. Ia pun membuntutinya karena rasa khawatir sekaligus penasaran. Dan ternyata di sinilah tujuan Endang. Embung.

Feri bersama salah seorang warga desa tiba. Warga desa tersebut menghampiri Pak Dirman dan Iwan tapi tidak dengan Feri yang terus melaju menambah kecepatan laju larinya.

“Mbak… ini aku Feri mbak!”, teriak Feri dari kejauhan sebelum akhirnya ia bisa menyergap kakaknya dengan pelukan.

Kakak beradik itu jatuh menggelinding tepat sebelum beberapa jengkal lagi masuk ke dalam embung.

“Mbak ini aku Feri mbak. Ayo kita pulang ditunggu bapak di rumah”, ucap Feri sembari menangis melihat kondisi kakaknya yang tampak tak karuan.

Pak Dirman, Iwan dan seorang warga desa menghampiri mereka berdua untuk mengajaknya segera meninggalkan tempat itu. Seorang warga desa memimpin jalan mereka di depan diikuti Endang dan Feri kemudian Iwan dan Pak Dirman yang paling belakang.

“Berhenti sebentar”,

Pak Dirman menahan laju Iwan di tempat yang sama persis tatkala Iwan mengintai Endang. Pak Dirman kemudian menyuruh Iwan untuk berbalik kembali melihat ke arah embung sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Baru saja melihat sebentar Iwan hendak menumpahkan kata-kata dari mulutnya sebelum dengan sigap ditahan dengan tutupan telapak tangan oleh Pak Dirman.

“Ayo kita lanjut pulang”, Pak Dirman dan Iwan berjalan menyusul yang lainnya.

Hujan mulai turun ketika Feri dan Iwan akhirnya sampai di rumah. Melihat putri sulungnya yang ikut pulang bersama mereka Pak Tomo tanpa ragu langsung memeluknya.

“Makasih ya Wan kau sudah memperhatikan mbak ku”, ucap Feri kepada Iwan.

Sementara itu Iwan masih termangu dengan peristiwa yang baru saja dialaminya. Dimulai dari pagi cerah yang penuh canda tawa ditutup di waktu sore dengan kejadian yang hampir meregang nyawa. Ketika Pak Dirman memintanya untuk kembali berbalik melihat embung sebelum pulang ia melihat sesuatu yang seketika langsung meruntuhkan keberaniannya. Dari embung yang tampak tenang airnya mulai bergoyang ketika gerimis mengetuknya. Perlahan-lahan sosok-sosok itu mulai menampakkan wujudnya. Kepala-kepala manusia lumpur menyembul dari dalam embung.

1
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
makin penasaran
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
gurauan nya kurang bisa gw pahami
Kustri
ini beneran 26 part?
pendek BGT...
coba lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!