Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencariku, Lau
Nicholas tidak pulang. Laura menatap sisi ranjang yang kosong, rapi dan dingin. Dia kira hubungan mereka mulai akan membaik. Dari keintiman yang mereka lakukan di hotel. Nicholas meluangkan waktu untuk makan siang bersama, ia menganggap semuanya spesial.
Ternyata semuanya masih sama. Sepi, sunyi dan hening.
Laura mencoba menghubungi Nicholas, ponselnya tidak aktif. Dia mendesah kesal.
"Kenapa Nick selalu bertindak sesuka hatinya," keluhnya. Dia memainkan jarinya lagi di atas ponselnya. Mencoba menghubungi Seila.
Panggilan pertama tidak dijawab, setelah panggilan kedua, barulah Seila merespon.
"Halo, Seila," Laura menyapa. Terdengar lenguhan di seberang telepon sana.
"Kamu masih tidur?" Tanya Laura sambil melihat jam dinding. Hampir jam delapan. Harusnya Seila sudah berada di kantor.
"Ya," Seila menggeliat. Di sebelahnya ada Nicholas yang masih terlelap tidur.
"Kamu tidak ke kantor?"
"Aku... Eum..." Ia mengerang. Nicholas memeluknya lebih erat lagi. Tidak membiarkannya beranjak dari tempat tidur.
"Aku sudah izin pada Nick untuk tidak masuk hari ini. Mungkin dua hari. Aku masih lelah."
"Oh, begitu. Ya, kamu harus pulihkan tenagamu dulu."
"Ada apa?" Tanya Seila. Tangannya memainkan rambut Nick dengan santai, tanpa ada rasa bersalah bahwa pria yang tidur bersamanya adalah suami dari sahabatnya. Dan wanita itu sekarang sedang berbincang dengannya.
"Kukira kamu sudah di kantor. Aku ingin tahu apa Nicholas sudah ada di sana."
"Ah..." Seila melirik Nicholas. Keduanya saling melempar senyum penuh arti. Biadab. "Sepertinya dia sudah ada di kantor. Kamu tahu sendiri, dia selalu tepat waktu."
"Kurasa juga begitu." Nicholas paling tidak suka jika dia diganggu saat sedang bekerja. Itulah kenapa Laura tidak menghubungi nomor kantor. Selama ini, dia mengetahui jadwal suaminya dari Seila. "Maaf sudah mengganggu waktu istirahatmu, silakan lanjutkan tidurmu."
"Oke, baiklah. Kamu sendiri, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku belum memikirkannya. Mungkin aku harus mandi dulu," sahut Laura. "Semoga harimu menyenangkan, Seila."
"Semoga harimu menyenangkan juga, Laura," balas Seila.
Panggilan pun terputus. Nicholas langsung menarik Seila ke dalam dekapannya. "Wanita itu mengacau saja. Apa tidak ada yang bisa dia lakukan selain merecokiku atau kamu."
"Dia tergila-gila padamu, Nick," ucap Seila dengan nada mencemooh.
"Dan aku tergila-gila padamu," Nick mengerling nakal dan Seila pun tertawa senang mendengar hal itu.
Keduanya sudah berhubungan sebelum Nicholas dan Laura menikah. Entah di mana otak keduanya, tetap melanjutkan hubungan mereka meski Laura dan Nicholas sudah resmi menjadi sepasang suami istri dan entah apa alasan Nicholas menikahi Laura? Benarkah karena Laura adalah seorang pewaris.
Sementara keduanya bersenang-senang di atas kepolosan Laura, wanita itu akhirnya memutuskan untuk berolah raga.
Seperti biasa, matanya reflek memindai ruangan. Sudah dua hari dia tidak ke tempat itu.
Kenapa rasanya sudah lama sekali, batin Laura.
"Mencariku, Lau?"
Laura menoleh dan mendapati Max berdiri di sana, bersandar santai di pintu gym pribadi dengan senyum khasnya yang selalu tampak menggoda. Dia mengenakan kaos hitam pas badan yang menonjolkan bentuk tubuh atletisnya, serta celana training abu-abu yang terlihat nyaman. Rambut hitamnya tampak masih sedikit basah, seolah baru saja mandi, dan aroma segarnya mulai menguasai ruangan—perpaduan antara mint dan kayu cedar yang begitu maskulin.
Tanpa sadar, Laura menarik napas lebih dalam, membiarkan aroma itu meresap ke dalam kesadarannya. Ada sesuatu yang menenangkan dari kehadiran Max, meskipun ia tahu bahwa pria itu adalah badai yang bisa menyeretnya jauh dari batasan yang selama ini ia pegang.
Max melangkah mendekat, matanya yang tajam menelisik ekspresi Laura. Senyum kecilnya tidak pernah benar-benar hilang, seolah dia selalu tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu.
"Kamu sungguh mencariku, Lau?" tanyanya, suaranya rendah dan sedikit serak, terdengar nyaris seperti bisikan yang menusuk pertahanan Laura.
Laura mengerjap, mengumpulkan kembali kesadarannya. Ia buru-buru menggeleng. "Tentu saja tidak."
Max mengangkat alis, seolah tidak percaya. "Oh?" Dia melipat tangan di dada, mengamati Laura dengan tatapan penuh selidik. "Tapi kamu terlihat seperti seseorang yang sedang menunggu seseorang."
"Aku hanya ingin berolahraga," sangkal Laura cepat.
Tanpa menunggu reaksi Max, ia berjalan ke salah satu alat gym—sepeda statis—dan mulai mengayuhnya dengan kecepatan rendah. Namun, Laura tahu Max tidak akan semudah itu menyerah.
Benar saja, pria itu hanya tersenyum tipis sebelum dengan santainya mengambil tempat di treadmill yang berada tepat di depannya. Ia mulai berjalan dengan langkah santai, tatapannya tidak pernah lepas dari Laura.
"Jadi, aku tidak akan mendapat pengakuan bahwa kamu memang mencariku?" Max bertanya dengan nada menggoda.
Laura menghela napas, berusaha fokus pada langkah kakinya di atas pedal sepeda. "Aku sudah bilang, aku hanya ingin berolahraga."
Max terkekeh, lalu bersandar ringan pada pegangan treadmill. "Baiklah, aku akan percaya. Untuk sekarang."
Sesaat hening, hanya suara mesin gym yang memenuhi ruangan. Namun, Max tidak membiarkan keheningan bertahan lama.
"Ngomong-ngomong," ujarnya, tatapannya melekat pada Laura. "Aku menunggumu di taman di jamuan makan malam tadi malam, kupikir kamu akan datang."
Laura terkejut. "Jamuan makan malam?"
Max mengangguk. "Yang diadakan di hotel. Kamu lupa? Astaga, kamu sungguh lupa?"
Laura menggigit bibirnya. Oh, benar. Kenapa dia bisa lupa. Dia bahkan menghabiskan malam dengan Nicholas. Apakah momen bertemu Max yang ia lupakan, atau malam intim bersama Nicholas juga tidak cukup berkesan sehingga dia melupakan acara itu.
Max melanjutkan, suaranya terdengar dibuat-buat dramatis. "Aku sampai kedinginan menunggumu."
Laura mendengus pelan, matanya melirik Max yang tampak sangat menikmati reaksinya. "Kamu berlebihan. Lagi pula aku tidak menjanjikan apa pun padamu."
"Tidak juga." Max mengangkat bahu. Kemudian dia mengamati wajah Laura dengan seksama. "Kupikir kamu melewatkan malam yang menyenangkan yang membuat tidurmu nyenyak."
Laura mendadak terdiam. Tidur nyenyak? Apakah benar dia tidur nyenyak saat di hotel? Dia tidak ingat, yang dia ingat adalah tidurnya tadi malam. Dia justru hampir tidak tidur semalaman, berguling-guling gelisah di atas ranjang kosong, bertanya-tanya di mana Nicholas berada.
Max sepertinya menangkap perubahan ekspresi Laura. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya lebih rendah saat berbicara lagi. "Atau... sebaliknya?"
Laura mengalihkan pandangan, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang mulai menjalari tubuhnya. "Jangan membahas itu."
Max hanya tersenyum, seolah sudah tahu jawabannya tanpa perlu mendengar pengakuan dari Laura.
"Baiklah," katanya akhirnya, mengubah topik. "Kalau begitu, kamu ingin berapa lama di sini? Aku bisa menemanimu sepanjang sesi latihan."
Laura menatapnya, lalu menghela napas. Ia tahu Max tidak akan mudah ditolak, jadi ia memilih untuk menyerah. "Kalau kamu tidak punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan."
Max menyeringai, menaikkan kecepatan treadmillnya. "Tidak ada yang lebih penting daripada menemanimu, Lau."
Dan entah kenapa, kalimat sederhana itu mengguncang sesuatu di dalam hati Laura. Sesuatu yang selama ini kosong—dan Max tampaknya tanpa sadar mulai mengisinya.
"Bagaimana dengan para klienmu yang royal."
"Jadwalku kosong, aku akan menemanimu."
"Dan aku harus membayarnya?"
Max tergelak, sudut bibirnya terangkat dengan tatapan menggoda, "Untukmu? Tentu saja ini gratis. Kita teman, bukan?"
Laura menatap Max dengan sorot mata yang sulit diartikan. Pria itu selalu seperti ini—tenang, penuh percaya diri, dan selalu menggoda dengan cara yang seolah tidak disengaja. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tetap misterius, sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa Laura pahami.
"Aku tidak ingat kapan kita menjadi teman," gumamnya.
Max terkekeh ringan. "Oh? Kalau begitu, kita ini apa?"
Laura menoleh, hendak membalas, tetapi Max sudah lebih dulu memperkecil jarak di antara mereka. Keharuman khasnya kembali menyerbu indranya, menciptakan sensasi yang enggan ia akui.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura