Aizha Adreena Hayva harus bertarung dengan hidupnya bahkan sebelum ia cukup dewasa, berhenti sekolah, mencari pekerjaan dan merawat adiknya karena orantuanya meninggal di malam yang sunyi dan tenang, bahkan ia tak menyadari apapun. bertahun-tahun sejak kejadian itu, tak ada hal apapun yang bisa dia jadikan jawaban atas meninggalnya mereka. ditengah hidupnya yang melelahkan dan patah hatinya karena sang pacar selingkuh, ia terlibat dalam one night stand. pertemuan dengan pria asing itu membawanya pada jawaban yang ia cari-cari namun tidak menjadi akhir yang ia inginkan.
selamat menikmati kehidupan berat Aizha!!
(karya comeback setelah sekian lama, please dont copy my story!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Fhadillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Aizha duduk sendirian di sebuah coffe shop mini diseberang jalan sekolah Nuka, menunggu adik kecilnya pulang sekolah. Gadis itu menatap keluar jendela, kearah sekolah dasar sang adik sambil menyesap americano dinginnya. Akhir-akhir ini Aizha jadi lebih jarang bekerja padahal dulu dia dengan susah payah mencari pekerjaan dan untungnya dia bisa mendapatkan satu, namun kini terasa sia-sia dan seperti tak berarti lagi. Apa alasannya? Aizha mencoba-coba mengingat disudut ruang memorinya, apa Caiden pernah menyuruhnya berhenti? Apa pria itu mengatakan demi keselamatannya? Apapun itu Aizha bahkan tidak begitu peduli lagi, dia lelah, tubuh dan pikirannya lelah. Untuk beberapa hari ini serangan paniknya sering kambuh dan dia insomnia hampir tiap malam. Terakhir kali ia merasa sangat senang dan hidup adalah saat mereka bertiga pergi ke taman bermain di pusat kota dan bermain dengan puas, namun akhir-akhir ini entah kenapa terasa lebih berat dari biasanya.
Pada pagi menjelang siang ini tak ada banyak orang yang berada disekitar coffe shop baik di dalam maupun diluar. Mungkin karena ini adalah jam sibuk, orang-orang pastinya masih bekerja di kantor mereka, bekerja di manapun itu, sekolah, atau melakukan hal-hal sibuk lainnya. Hanya ada beberapa orang yang ada disana.
Seharusnya setelah mengantar Nuka sekolah tadi Aizha langsung kembali ke apartemen Caiden dan berangkat untuk menjemput adiknya saat jam pulang sekolah. Namun daripada melakukan hal itu, dia lebih memilih untuk duduk di tempat itu sendirian dengan secangkir americano dingin, blueberry cake, dan semua pemikirannya yang muncul dan hilang dalam kepalanya. Aizha merasa sedikit sesak beberapa hari ini, tak yakin kapan tepatnya hidupnya terasa seperti bukan lagi miliknya, gadis itu merasa seperti tengah menjalani kehidupan orang lain yang jauh berbeda dari miliknya dulu, terasa seperti dia sedang berada di dunia paralel yang jauh dari dunianya yang asli.
Aizha tak pernah menyangka pertemuannya dengan Caiden untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau bahkan entah untuk keberapa kali membawanya sampai ke detik ini, semua hal yang menyenangkan dan hal yang sulit. saat pemikiran itu muncul dikepalanya, seseorang penepuk pundak Aizha pelan menariknya kembali ke kesadaran penuh. Saat berbalik ia mendapati gadis remaja manis dalam balutan jaket hijau army dan jeans pendek berdiri dengan gugup di dekatnya.
“itu… aku… kucingku” gadis remaja itu berbicara dengan malu-malu sambil menunjuk kesuatu arah di belakang sana, tak yakin dimana tepatnya. Aizha merasa sedikit gemas pada gadis itu karena mengingatkannya pada Nuka, mungkin remaja itu hanya lebih tua beberapa tahun dari adiknya.
Aizha berjalan ke belakang coffe shop itu dengan si remaja berada di depan untuk menuntun dirinya, Aizha tak tega melihat gadis itu yang mungkin saja saat ini kucingnya sedang dalam bahaya. Mereka melewati dapur dengan banyaknya orang yang tengah bekerja. Aizha berjalan sambil melirik kiri-kanan bertanya-tanya apa mereka boleh masuk ke tempat seperti ini? kini di hadapan mereka ada sebuah pintu kayu yang dicat berwarna merah dengan tulisan staff only diatasnya. Si remaja dengan santai dan ringan membuka pintu itu dan angin pelan menyapu wajah mereka.
“kucingku terjebak disana” kata gadis remaja itu sambil menunjuk keseberang jalan, ada banyak pepohonan dan semak-semak disana berbanding terbalik dengan pemandangan di depan coffe shop yang terdapat bangunan sekolah dan bangunan lainnya juga jalan raya yang sering di lewati kendaraan. Area belakang ini terasa lebih sepi dan rindang, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, juga sepeda atau pejalan kaki.
Aizha kembali melangkah mengikuti gadis asing itu ke seberang jalan untuk misi menyelamatkan kuncing. Namun baru beberapa langkah ia berjalan dan bahkan belum mencapai area lain jalan itu, seseorang dengan tiba-tiba menarik kedua tangannya dengan kuat dan menguncinya dibalik tubuh rampingnya, mulut Aizha juga dibekap dengan kain yang tercium secara samar-samar aroma aneh yang tak familiar. Aizha mencoba meronta-ronta dan berteriak namun tak ada satupun usahanya yang berhasil. Dengan perlahan matanya mulai terasa berat, dia padahal sudah hampir menghabiskan se cup americanonya beberapa saat yang lalu namun kini rasa ngantuk yang kuat menerpa dirinya, sekeras apapun ia mencoba melawannya, Aizha tetap merasa ingin menutup matanya. sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia masih bisa melihat sekilas gadis remaja itu berubah total seperti orang yang berbeda, remaja yang beberapa menit lalu terlihat begitu pemalu dan canggung kini penuh dengan kata kasar dan umpatan yang keluar dari mulutnya dan bertingkah seperti seorang boss.
...☠️☠️☠️...
Caiden menerima telepon dari nomor asing saat dia tengah melakukan pekerjaan di ruang kerjanya dengan laptop menyala tepat dihadapannya. Pria itu tak menunggu dering kedua untuk mengangkat telepon itu, terdengar suara seorang wanita dari seberang sana yang memperkenalkan diri sebagai wali kelas Nuka. Wanita itu menjelaskan bahwa tak ada siapapun yang menjemput gadis kecil itu dan dia sudah menunggu selama berjam-jam sendirian disana. Sang wali kelas juga bertanya jika mereka sibuk mereka bisa mengatakan alamat rumah agar dia yang akan mengantar Nuka pulang, Caiden mengatakan tak apa dia akan menjemput gadis itu. Caiden buru-buru keluar dari ruang kerja dan memanggil-manggil nama Aizha namun apartemen itu sangat sepi, tak ada suara apapun selain suaranya sendiri yang menggema dalam kesunyian, Caiden berlari ke kamar Aizha namun gadis itu juga tak ada disana, kemana sebenarnya gadis itu pergi?
Walaupun masih binggung dan sedikit cemas, Caiden tetap masuk ke dalam mobilnya dan melaju menuju sekolah SD tempat Nuka berada saat ini. Aneh sekali rasanya karena ini sudah jam 4 sore dan seharusnya Aizha sudah menjemput gadis itu jam 10 siang, namun dia malah menghilang. Caiden mencoba menghubungi nomor Aizha namun tak ada jawaban.
Di tempat yang berbeda, entah dimana itu, Aizha mulai tersadar dari tidur atau bahkan mungkin pingsannya. Dia sudah membuka matanya namun kegelapan masih saja menyelimuti, Aizha tak bisa melihat apapun dan dia juga tak bisa mengeluarkan suara apapun, ada sesuatu yang menganjal mulutnya yang menghalangi suaranya untuk keluar. Aizha butuh waktu beberapa puluh detik untuk dapat mencerna bahwa ia tengah berbaring di ranjang dengan kedua kaki dan tangannya yang diikat ke sisi ranjang itu dan dia tak bisa melakukan apa-apa. Suara berdecit tempat tidur yang reyot itu terdengar lebih keras dari yang seharusnya bergema dalam ruangan setiap kali Aizha meronta-ronta.
Dimana dia? Apa yang terjadi? apa dia sedang diculik? Apa ini karena permasalahan itu? Gadis itu berhenti meronta-ronta saat mendengar suara high heels yang bergemelatuk dengan lantai saat seseorang berjalan memasuki ruangan tersebut. Setelahnya sunyi, sepertinya orang itu telah berhenti di sisi samping tubuhnya dan Aizha tak bisa mengatakan apapun dengan mulut di bekap.
“halo, kamu pasti terkejut karena tiba-tiba berada di sini” kata wanita itu dan Aizha hanya bisa kembali meronta-ronta di ranjang itu.
Dengan kekehan kecil perempuan itu membuka penutup mata dan mulut Aizha sehingga kini gadis itu dapat melihat dengan jelas. Perempuan itu berdiri menjulang di sampingnya, dalam ruangan itu hanya ada beberapa lampu pijar berwarna kuning sehingga tidak begitu membantu penerangan disana, bagian mata perempuan itu ditutupi bayangan dari topi yang ia kenakan, walaupun begitu seharusnya Aizha bisa mengingat siapa dirinya karena perempuan itu entah bagaimana terasa begitu familiar, seseorang yang pernah ia temui sebelumnya bahkan suaranya terdengar begitu akrab namun tak bisa diingat dengan baik oleh gadis itu.
“merepotkan sekali, benar kan Aizha?! Jika saja pria bodoh itu menjalankan tugasnya dengan baik kita berdua tidak perlu berakhir disini. Aizha sayang seharusnya aku membunuhmu saat ini namun setelah kupikir-pikir sepertinya kamu harus membantuku… sama seperti aku yang terlalu sering membantumu dulu, dulu sekali benarkan!?” perempuan itu terus mengoceh dengan suara rendahnya sambil berjalan-jalan di sekitar ranjang tempat Aizha berbaring, di akhir kalimatnya perempuan itu membisikannya pada Aizha.
Aizha meronta-ronta dan terus meronta-ronta sambil berteriak minta dilepaskan, namun bukannya melepaskan Aizha, perempuan itu malah tertawa dan berjalan menjauh kearah pintu bersama 3 orang pria bertubuh besar yang mengikutinya dari belakang. Setelah suara pintu terkunci, Aizha merasa begitu sia-sia untuk berteriak dan semua yang bisa ia lakukan saat ini hanya terisak, menangis karena merasa takut dan berharap entah siapapun itu akan datang untuk mengeluarkannya dari tempat kotor ini.
Masih dengan tubuh terbaring dengan kedua tangan dan kaki terikat erat, Aizha mencoba mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangannya kesegala arah ruangan itu. tempat itu tak terlihat seperti ruangan biasa karena ukurannya yang luas dan kosong, ada beberapa ranjang yang sama seperti tempatnya tertidur dan diatasnya juga ada perempuan-perempuan yang terikat. Mereka semua terlihat begitu sakit dan pasrah seperti tak ada lagi cahaya kehidupan dari mereka walaupun mereka masih bergerak, aah ternyata Aizha bukan satu-satunya orang yang diculik dan disekap disini. Di paling ujung sebelah kanan Aizha ada satu gadis yang tertidur dengan tubuh yang sangat kurus dan wajah pucat, rambutnya terkulai lemas dan tak sehat, hanya kakinya saja yang diikat sedangkan tangan kanannya diinfus. Apa dia sedang sakit parah? Namun kenapa tetap ditahan disini? Aizha merinding dan semakin ketakutan saat ia membayangkan bagaimana kini nasibnya, nasibnya yang malang dan buruk.