Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Selamanya
Adakah kau rasakan rindu padaku? Pertanyaan malam ini pada dinding kamar yang beku. —Kayra
****
Aku terjaga dan ruangan ini sudah tampak lebih terang karena cahaya lampu. Memangnya sudah jam berapa sekarang? Aku meraba-raba daerah sekitar bantal, mencoba untuk menemukan ponsel yang kalau tidak salah ingat terakhir kali aku letakkan di sana.
Sebelum tertidur, aku ingat betul bagaimana kegalauan mulai menggerogoti hati. Rasa merindu yang semakin menjadi-jadi kala kenangan dengan semangatnya mulai menari di pelupuk mata. Bulir-bulir air mata membasahi sudut-sudut jiwa yang kering ditinggalkan. Semakin lama, genangannya semakin meninggi. Lalu, dengan bodohnya, sama seperti sebelum-sebelumnya, aku memilih untuk menenggelamkan diri.
Aku membuka kembali galeri foto yang aku simpan di ponsel; foto-foto aku dan Alex yang kami ambil di berbagai kesempatan. Saat kami makan pecel ayam, minum kopi, saat di rumah beberapa waktu lalu, foto untuk persiapan cabang, fotoku yang diambil oleh Mas Yudhi atas permintaan Alex, dan ... koleksi foto terbaru adalah yang diambil pada saat kami sekeluarga menghadiri acara pembukaan cabang yayasan. Walaupun tidak ada Alex di sana dan aku tidak ingat apakah aku pernah melihat Alex malam itu, tetap saja rasanya dia ada di sana bersamaku. Mungkin karena aku memakai gaun yang dia belikan.
....
“If you lost, you can look and you will find me.”
Although it wasn't a thing I brought from Chicago, I hope you'd still like it. —A
....
No need to pay it back, Evlin. Pakai aja pas peresmian cabang yayasan nanti. You deserve the spotlight.
....
Aku tidak bisa menghilangkan bayangan Alex dari mana pun. Aku selalu bisa melihatnya ke mana arah mata memandang. Atau, dia memang tidak ada di luar sana, akan tetapi dia bersemayam terus di sini, di mataku? Kalau begitu kenyataannya, bagaimana caranya agar bisa aku mengusir dia daei sana? Ya Tuhan, aku sudah gila.
Akusudah gila dan aku masih tidak bisa menemukan ponselku.
Dang. Aku taruh di mana tadi benda itu?
“Dek.” Aku merasa seseorang menyentuh bahuku dengan lembut. Aku berbalik dan melihat Bang Rian. Wajahnya berkerut-kerut dan masam. Dia sedang kesal. Kenapa dia kesal? “Che tadi beneran ke sini?”
Loh, kok? “Abang tahu dari mana?” Aku bingung. Siapa yang memberitahukannya pada Bang Rian?
“Mama yang kasih tahu. Katanya kamu kelihatan kesal banget saat didatangin satu orang teman kamu. Aku akhirnya tanya gimana ciri-cirinya.” Bang Rian tampak betul-betul gelisah di atas kursi itu. Bang Che pasti benar-benar menyulut emosinya. Sama seperti dia berhasil memantik perasaan murka dalam diriku. “Tangan Abang udah gatal banget pengen kasih pelajaran sama bxjingan itu biar dia enggak berani ganggu kamu lagi.”
Oh, oh, oh, betapa aku ingin selaki melihatnya. Melihat mulut asal ngebacot milik Bang Che bonyok dihajar sama bogem mentah dari tangan Bang Rian. Namun, aku memilih untuk menjadi the bigger person dan melarang Bang Rian melakukan itu. “Ah, gak usah lah, Bang. Buang-buang waktu dan tenaga aja. Kalau kita ladenin, dia jadi tambah besar kepala nanti. Dia pikir dia masih punya pengaruh besar dalam hidup aku. Nope. Dia gak punya apa-apa.”
Dalam hening yang meliputi kami beberapa saat kemudian, aku bisa merasakan kalau Bang Rian, walaupun berat hati, setuju dengan apa yang aku katakan. Dia mengembuskan napas panjang dan kasar.
“Oke. Tapi, kamu jangan khawatir. Kata dokter kamu udah boleh pulang kalau kondisi kamu konsisten stabil beberapa hari ke depan.” Abangku itu di kalakian mengacak-acak rambutku, tanda kalau energi negatif yang tadi sempat menguasainya sudah ke luar bersama napas yang dihela. “You know how much we love you, Dek.”
Aku tersenyum. Senyum tulus pertama setelah kedatangan Bang Che. “I know.”
Bang Rian sekonyong-konyongnya memberikan sesuatu padaku; ponsel yang dari tadi aku cari. “Ponsel kamu tadi jatuh, case sama screen protector-nya cuma lecet dikit aja sih. Tapi, kalau kamu mau ganti nanti Abang bantu cariin yang baru.”
Oh. Aku menerima ponsel itu dari tangan Bang Rian.
“Makasih ya, Bang. Enggak usah diganti, lecetnya dikit banget.” Aku menekan tombol kunci, layar menyala memperlihatkan fotoku dan Alex. Shoot. Jangan bilang kalau Bang Rian juga sempat mengecek layar seperti yang baru saja kulakukan dan melihat foto yang ada di layar juga.
“Missing him?”
Aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke arah Bang Rian yag menatapku dengan .... No. Aku tidak mau menerima belas kasihan darinya. Tidak untuk urusan ini. Sudah cukup rasanya rasa kasihan yang kurasakan untuk diriku sendiri.
Dia memandangku dalam. Aku hanya kembali tersenyum, kali ini dengan mendung, dan mengedikkan bahu. “Gak ada yang perlu disembunyikan, Dek. Abang kan abang kamu. Abang tahu apa yang kamu rasakan." Perkataan Bang Rian membuatku tertunduk. Di balik sikap konyol dan badan kekarnya, aku juga tahu bahwa Bang Rian adalah seorang cowok yang sama sensitifnya dengan Bang Bian yang kalem. “Abang udah baca semua pesan kamu buat Alex. Dan Abang tahu kalau kamu juga sayang banget sama dia. Iya, kan?”
Beberapa kala berlalu dalam diam saat aku mengumpulkan keberanian untuk membuka suara. “Tapi ... sekarang itu semua udah enggak ada gunanya lagi, Bang. Aku udah nyakitin dia dan bikin dia menjauh dari aku,” akuku sembari menunduk.
“Jangan sedih. Abang udah coba telepon dia, tapi masih belum diangkat. Mungkin dia masih sibuk. Abang juga udah kirim pesan bilang kalau kamu sakit. Mudah-mudahan dia baca pesan itu.”
Yeah, Bang. Mudah-mudahan saja dia mau baca pesan itu. Mudah-mudahan saja dia masih peduli sama aku.
****
Bagaimana cara merayakan hidup saat kita berada di titik ini? Titik di mana Tuhan membuat kita bermandi jarak, berpeluh sepi, sementara aku masih ingin bersamamu dan terus menari. Sialnya, malam terus melaju, Sayang. Dan kau-lah rindu itu.
—Kayra.
****
Aku sudah ada di rumah, akan tetapi aku harus tetap menjalani masa pemulihan terlebih dahulu. Lebih dari satu bulan aku meninggalkan pekerjaan di yayasan dan aku merasa sangat tidak enak kepada Tante Meli dan rekan-rekan yang ada di sana. Akhirnya aku menyampaikan rencanaku kepada Tante Meli saat beliau menyempatkan diri untuk datang ke rumah untuk membesukku.
Aku meminta Tante Meli untuk mengizinkanku mengundurkan diri dengan alasan kondisiku yang belum stabil. Aku juga bilang kalau aku ingin berada dekat dengan keluarga. Awalnya Tante Meli sangat menyayangkan keputusanku karena beliau menganggap aku mempunyai kesempatan yang besar kalau tetap berada di Jakarta. Namun, mau tidak mau beliau akhirnya setuju. Pengunduran diriku akan diurus setelah aku lulus kuliah.
Dua bulan di rumah membuatku ketinggalan jauh dari teman-teman lain yang sudah mulai berlari dengan tesis mereka. Mengingat hal itu saja hampir membuatku gila. Namun, di balik itu, aku bisa menjadikan rasa ketinggalan jauh itu sebagai bahan bakar yang membawaku melesat dalam masa pemulihan. Aku rasa aku sudah cukup siap untuk menghadapi kesibukanku lagi.
Mama berat melepaskanku kembali ke Jakarta seorang diri. Oleh karena itu Bang Rian ada di sini untuk menemaniku.
Dan Alex masih mengawalku dengan bayangnya. Bukan; aku membiarkan bayangan Alexander Rahardjo mengikutiku ke mana pun aku melangkah. Aku tidak bisa membiarkannya pergi, apalagi setelah menyadari betapa aku membutuhkannya. Betapa sedikitnya hal tentang dia yang kuketahui. Betapa banyak waktu yang kusia-siakan tanpa pernah berpikir suatu hari nanti dia akan pergi, bahwa suatu saat dia tidak akan ada lagi di sini. Aku yangmembuatnya pergi dariku.
....
“Gak usah merasa bersalah gitu, Kay. Kamu punya selamanya untuk mengenal semua hal tentang aku.”
....
Siapa yang tahu kalau selamanya hanya bertahan selama ini.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️