"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: PAGI SETELAH DEMAM
Cahaya pagi masuk melalui celah tirai—lembut, hangat, menyinari kamar Chelsea dengan cahaya keemasan.
Chelsea membuka mata perlahan—kepala masih sedikit pusing tapi jauh lebih baik dari semalam. Demamnya sudah turun, tubuhnya tidak lemas lagi.
Ia menggerakkan tangannya—
Dan merasakan sesuatu yang hangat menggenggamnya.
Chelsea menoleh.
Lucian tertidur di kursi samping ranjangnya—posisi tidak nyaman, kepala bersandar di tepi kasur, tangan kanannya menggenggam tangan Chelsea.
Wajahnya lelah—mata sedikit bengkak, bayangan hitam di bawah matanya, bibir sedikit pucat.
Dia... dia tidak tidur semalaman?
Chelsea menatap lebih dekat—ada bekas air mata di pipi Lucian yang sudah kering.
Dia menangis?
Dadanya sesak.
Kenapa dia menangis? Apa karena aku sakit?
Chelsea teringat—di tengah demamnya semalam, kesadarannya muncul tenggelam. Ia mendengar sesuatu. Bisikan. Tangisan.
"Maafkan aku karena jatuh cinta padamu."
Pipi Chelsea memanas—bukan karena demam, tapi karena mengingat kata-kata itu.
Dia... dia benar-benar mengatakannya? Atau itu hanya mimpiku?
Tapi melihat wajah Lucian yang tertidur—wajah yang menunjukkan begitu banyak kesedihan bahkan dalam tidurnya—Chelsea tahu itu bukan mimpi.
Dia mencintaiku.
Lucian mencintaiku.
Sesuatu di dada Chelsea bergetar—hangat, membahagiakan, tapi juga... menyakitkan.
Karena ia melihat kesedihan di wajah Lucian.
Kesedihan yang dalam.
Kesedihan orang yang merasa tidak pantas bahagia.
Kenapa kamu merasa tidak pantas, Lucian? Kenapa kamu bilang kamu monster?
Chelsea mengangkat tangan bebasnya—perlahan, hati-hati—menyentuh wajah Lucian.
Mengusap pipinya dengan ibu jari—lembut, takut membangunkannya.
Siapa yang menyakitimu? Siapa yang membuatmu merasa seperti ini?
Jari-jarinya menelusuri garis wajah Lucian—dahi, alis, tulang pipi, rahang.
Wajah yang tampan tapi selalu terlihat sedih.
Mata yang—bahkan ketika tersenyum—tidak pernah benar-benar bahagia.
Kamu bukan monster, Lucian. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di masa lalu. Tapi orang yang merawatku sepanjang malam, orang yang menangis untukku—bukan monster.
Chelsea tersenyum kecil—air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Aku juga mencintaimu, Lucian. Mungkin sudah sejak lama. Aku hanya tidak sadar.
Ia menarik tangannya—tidak mau membangunkan Lucian yang pasti sangat lelah.
Chelsea berbaring lagi—tapi kali ini menatap Lucian, mengamatinya.
Melihat bagaimana napasnya teratur.
Bagaimana tangannya masih menggenggam tangannya—bahkan dalam tidur, ia tidak melepaskan.
Bagaimana alisnya kadang mengernyit—seperti mimpi buruk.
Kamu pasti punya banyak luka yang kamu sembunyikan.
Suatu hari nanti... aku ingin kamu cerita padaku. Aku ingin tahu semuanya. Aku ingin jadi orang yang bisa kamu percaya.
Chelsea menutup mata lagi—tapi tidak tidur. Hanya merasakan kehangatan tangan Lucian di tangannya.
Kehangatan yang membuat dadanya terasa... penuh.
Untuk pertama kali sejak ayahnya meninggal—Chelsea tidak merasa kesepian.
Satu jam kemudian, Lucian terbangun.
Lehernya kaku, punggungnya sakit—tidur di kursi memang tidak nyaman.
Ia membuka mata—
Dan melihat Chelsea menatapnya.
Lucian langsung bangun, melepaskan genggaman tangannya. "Maaf—aku—aku tidak bermaksud—"
"Terima kasih," potong Chelsea—suaranya masih lemah tapi tulus. "Terima kasih sudah menjagaku sepanjang malam."
Lucian mengusap wajahnya—mencoba menyembunyikan jejak menangis semalam. "Itu... itu pekerjaanku."
"Bukan." Chelsea menggeleng—menatap Lucian dengan tatapan yang membuatnya tidak bisa berpaling. "Ini bukan pekerjaan. Kamu... kamu melakukan lebih dari itu."
Dada Lucian sesak.
Jangan menatapku seperti itu. Jangan membuatku berharap.
"Bagaimana perasaanmu?" Lucian mengalihkan topik—menyentuh dahi Chelsea dengan punggung tangannya. "Demamnya sudah turun. Bagus."
"Aku... aku jauh lebih baik." Chelsea tersenyum—senyum kecil yang membuat wajahnya bersinar. "Karena kamu."
Lucian menarik tangannya—cepat, seperti terbakar.
"Aku... aku buatkan sarapan. Kamu harus makan."
Ia bangkit, akan pergi—
"Lucian."
Ia berhenti—tidak menoleh.
"Aku... aku mendengar," kata Chelsea pelan. "Semalam. Aku setengah sadar. Aku mendengar kamu berbisik."
Jantung Lucian berhenti.
Tidak. Dia mendengar? Dia tahu aku—
"Kamu bilang aku anak yang baik. Kamu bilang aku tidak pantas diperlakukan seperti itu."
Lucian menoleh—perlahan.
Chelsea tersenyum—air matanya jatuh.
"Terima kasih. Itu... itu hal terindah yang pernah ada yang katakan padaku."
Hanya itu yang dia dengar? Dia tidak dengar yang lain?
Lucian tidak tahu harus lega atau kecewa.
"Itu... itu kebenaran," katanya akhirnya. "Kamu memang anak yang baik. Sangat baik."
Chelsea menatapnya lama—seperti mencari sesuatu di wajah Lucian.
Lalu ia berbisik—sangat pelan, nyaris tidak terdengar:
"Kamu juga orang baik, Lucian. Apapun yang kamu pikir tentang dirimu sendiri—kamu orang baik."
Dada Lucian sesak—seperti ada yang mencengkeramnya.
Aku bukan orang baik. Aku pembunuh. Aku monster.
Tapi melihat mata Chelsea—mata yang tulus, yang percaya padanya—Lucian tidak sanggup membantahnya.
"Aku... aku buatkan sarapan," katanya akhirnya—lari dari percakapan ini sebelum ia mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Chelsea mengangguk—masih tersenyum.
Lucian keluar kamar—napasnya tercekat, dadanya sesak.
Ia bersandar di dinding luar kamar Chelsea—menutup wajahnya dengan tangan.
Dia hampir tahu. Dia hampir dengar aku bilang aku mencintainya.
Aku harus lebih hati-hati. Aku tidak bisa—
Tapi bagian lain dari dirinya berbisik: Kenapa tidak? Kenapa kamu tidak boleh mencintainya?
Karena aku tidak pantas. Karena aku pembunuh. Karena—
Tapi dia tidak tahu itu. Dan selama dia tidak tahu—apakah aku tidak boleh bahagia? Sebentar saja?
Lucian menggelengkan kepala—mencoba mengusir pikiran itu.
Jangan. Jangan berpikir seperti itu. Ini berbahaya. Ini akan menghancurkan kalian berdua.
Tapi detak jantungnya tidak bisa dibohongi.
Cara dadanya menghangat setiap Chelsea tersenyum.
Cara ia ingin terus berada di sampingnya.
Cara ia... sudah jatuh cinta terlalu dalam untuk bisa kembali.
Aku dalam masalah besar.