"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Curahan Hati Prof Gilbert
Gilbert hanya bisa diam dan pasrah saat melihat Giani memutuskan memakai mobilnya. Setelah kepergian Giani, Gilbert pergi berangkat ke laboratorium Sword of Science. Namun, selama berada di ruangannya, Gilbert banyak melamun dan tidak fokus dalam bekerja. Alhasil Ben sampai harus memanggil pria paruh baya itu.
"Ada apa lagi denganmu? Kau tahu, laporan ini adalah laporan terburuk yang pernah kau buat, Profesor."
"Maaf, maafkan aku, Tuan. Aku akan segera memperbaikinya."
"Apa putrimu sudah berangkat?"
"Ya dan dia ngotot membawa mobil sendiri. Aku benar-benar khawatir. Jalan dari Melbourne ke Sidney sangat jauh. Dia berkendara sendirian. Aku benar-benar mencemaskannya."
"Kurasa putrimu itu ahlinya membuat orang kepikiran, ya?" ujar Ben.
Gilbert tersenyum tipis. Tidak biasanya atasan pemilik laboratorium itu banyak bicara, tapi kini beberapa hari terakhir Gilbert malah justru nyaman menceritakan masalah putrinya pada Benjamin.
"Anda benar. Mungkin karena dia telah lama tumbuh tanpa sentuhan seorang ibu dan hanya aku yang membesarkannya, makanya aku merasa selalu mencemaskannya. Takut hal-hal yang buruk terjadi padanya."
Ben menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Hari ini dia sedang ingin mendengar cerita mengenai Giani. Gadis yang tanpa sengaja dia perk*sa 3 bulan yang lalu. Ben merasa iba dengan Gilbert. Pria yang berusia hampir 60 tahun yang membesarkan seorang anak gadis sendirian.
Namun, di balik itu semua. Sebenarnya Ben mulai menaruh perhatian pada Giani. Ia merasa memiliki keterikatan tak kasat mata dengan gadis itu.
"Putrimu adalah seorang wanita yang berani."
"Justru karena itu aku khawatir. Dia tidak pernah sekali pun mau merepotkanku. Dia membatasi dirinya, dia tidak pernah mengeluh, apalagi menangis di depanku. Dia selalu menanggung masalahnya sendirian. Aku baru tahu dari rekanku, jika beberapa waktu yang lalu dia sempat di panggil oleh tuan Ramos karena berbuat kesalahan. Giani tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai hal itu."
"Itu artinya putrimu sudah dewasa," sahut Ben. Namun, kata-kata profesor Gilbert malah justru membuat Ben semakin diliputi perasaan aneh.
"Baiklah, aku sepertinya sudah terlalu banyak bicara, Tuan. Aku akan memperbaiki laporan ku. Siang nanti aku akan kembali lagi."
Gilbert keluar dari ruangan Ben dengan wajah masih berbalut keresahan. Selepas pintu ruangannya tertutup. Ben menyugar rambutnya dan menghela napasnya kasar. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Paolo.
"Aku ada tugas untukmu. Cari Giani di Sidney. Aku mau kamu jadi pengawalnya, lindungi dia dari apapun dan aku mau setiap hari kamu memberikan laporan seperti biasanya padaku."
Ben mematikan sambungan teleponnya. Tak lama terdengar keributan dari luar. Dia berdecak kesal. Apa lagi sekarang? tak lama muncul seorang wanita paruh baya dengan penampilan yang masih modis dan juga elegan. Dia adalah Shena, ibu Benjamin.
"Ada apa? kenapa harus membuat keributan di tempatku?"
"Anak buahmu menyebalkan. Mereka melarangku dan Aluna masuk, Ben."
"Aku memang menyuruh mereka untuk melarang siapapun masuk kemari. Aku sedang malas bertemu siapapun."
"Ben, ibu tahu kesalahan ibu banyak padamu, tapi tidak bisakah kau tidak membenci Aluna juga? Bagaimana pun dulu aku pernah berjanji pada orang tuanya akan menjaga Aluna dan menikahkan Aluna denganmu."
Ben tertawa, tapi bagi orang yang kenal betul dengan dirinya pasti akan bergetar ketakutan saat mendengar tawa pria itu. Karena Ben sama hampir sama sekali tidak pernah tertawa. Jadi jika pria itu menertawakan sesuatu pastilah itu dianggap lelucon saja olehnya.
"Yang berjanji pada orangtua Aluna adalah dirimu, Ibu. Bukan aku. Jadi aku tidak ada kewajiban apapun untuk menepati janji itu."
"Tapi kau adalah putraku."
"Itu dulu, sebelum kau membunuh ayahku. Apa kau pikir dengan aku memanggilmu ibu, aku akan melupakan penghianatanmu begitu saja?"
Shena terdiam begitu juga dengan Aluna. Gadis yang beberapa tahun lalu diangkat anak oleh ibunya itu kini tak berani menatap wajah Ben.
"Carilah pria lain yang bersedia mencintaimu. Karena aku sudah memiliki seseorang yang mengisi hati dan pikiranku," ujar Ben.
"Apa wanita yang dulu berurusan denganku? kau tidak pernah bersikap baik pada wanita mana pun, tapi waktu itu kau berbeda. Kau bersikap baik padanya."
"Itu bukan urusanmu Aluna. Aku ingatkan padamu sekali lagi, mulai sekarang kau tidak aku perbolehkan untuk datang kesini lagi."
"Ibu .... " Aluna menatap Shena dengan tatapan mengiba, tapi wanita itu malah diam dan menarik Aluna keluar. Aluna merenggek pada Shena.
"Bu, aku yakin perempuan itu yang telah membuat kakak berubah," ujar Aluna kesal.
"Diamlah, Luna. Ibu juga sedang berpikir. Kita bahas ini di rumah. Dinding di tempat kakakmu ini memiliki telinga dan mata," desis Shena. Luna seketika terdiam. Benar juga.
Ramos memasuki ruangan atasannya setelah mendapat telepon dari Ben langsung. Melihat dari wajah Ben, tampaknya pria itu sedang kesal.
"Apa ada tugas untuk saya, Tuan?"
"Bagaimana apa kau sudah mendapatkan apa yang aku mau?"
"Sudah, Tuan. Apa yang anda katakan 100% benar. Nyonya Shena bukanlah ibu kandung anda."
"Wanita itu benar-benar harus mendapatkan pelajaran yang setimpal. Dia telah menghancurkan keluargaku demi ambisinya. Jika saja saat itu aku tidak menemukan foto itu, mungkin hingga sekarang aku tidak akan tahu."
Tatapan mata Ben tampak kosong. Selama ini dirinya justru malah memelihara ular yang sewaktu-waktu bisa menggigitnya. Fakta yang baru saja dia ketahui benar-benar membuat Ben tidak dapat mempercayai siapapun selain Ramos dan Paolo.
"Sebaiknya tuan menunggu waktu yang tepat sembari mengumpulkan bukti-bukti lainnya."
"Kau benar. Oh, ya, bagaimana perkembangan soal tuan Rodrigues?"
"Senjata yang beberapa waktu lalu di dapat oleh Arthur adalah senjata modifikasi milik kita yang telah mereka rubah keseluruhannya dan mereka produksi secara massal."
Ben memijat pelipisnya. Tampaknya dia sekarang harus segera mengambil tindakan terhadap Rodrigues.
"Kumpulkan anak buah kita. Besok malam kita serang tempat produksi senjatanya. Beraninya mereka berlaku curang pada kita."
Ramos mengangguk. Sejenak dia melirik ke arah atasannya itu. Tatapan Ben masih terlihat datar dan kosong. Ramos merasa iba melihat bagaimana Benjamin menjalani hidupnya. Ramos sudah seperti kakak bagi Ben karena saat itu tuan besar atau ayah kandung Ben sendiri yang meminta Ramos untuk menjaga Ben.
"Anda juga mendapat undangan dari tuan Roger untuk datang ke pestanya malam ini."
"Apa dia juga mengundang Pierre?
"Iya, Tuan. Bahkan Nona Viona yang sering mengikuti anda kemana-mana itu, dia juga diundang."
Ben mendesah berat. Sepertinya hari ini dia tidak diberi waktu untuk bisa bernapas lega.
"Baiklah, katakan pada Roger aku akan datang. Bilang padanya untuk menyiapkan tempat untukku seperti biasa."
"Baik, Tuan."
Kini giliran Ramos yang mendesah berat. Dia tahu betul, jika tempat yang diminta oleh atasannya itu bukanlah tempat sembarangan yang bisa dimasuki oleh pelayan biasa.