Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan Ayla
Di Kantor
Begitu tiba di kantor, Ayla menarik napas dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Dengan kemeja sederhana dan rok panjang, ia kembali berbaur dalam perannya sebagai pegawai honorer yang culun dan tidak mencolok, seperti biasa.
"Duh, kamu telat lagi," komentar Nadya, sahabatnya yang selalu mengenakan kacamata, langsung menyambutnya dengan nada setengah mengomel.
"Kamu habis dikejar utang, ya?" seloroh Fira dengan nada ceria, seperti kebiasaannya yang suka bercanda.
Ayla hanya tersenyum tipis, mencoba tidak terlalu menanggapi. Tubuhnya masih terasa sangat lelah, dan pikirannya masih dipenuhi banyak hal.
"Kurang tidur," jawabnya singkat, sambil meletakkan tasnya di meja, berharap percakapan ini tidak berlanjut lebih jauh.
Mereka lalu larut dalam perbincangan ringan, membahas berbagai hal yang sedang hangat di kantor. Suasana sedikit lebih hidup dengan obrolan yang mengalir tanpa henti.
"Kamu tahu nggak? CEO kita, Leonard Aryasatya, sudah kembali!" kata Nadya tiba-tiba dengan nada penuh semangat, seolah menyampaikan berita besar.
Ayla yang sedang sibuk merapikan beberapa dokumen di mejanya langsung terdiam. Tangannya refleks berhenti bergerak.
Leonard?
Nama itu seperti petir yang menyambar telinganya. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang.
"Dan katanya," Fira ikut menimpali dengan suara penuh antusias, "sepupunya juga bakal sering ke kantor mulai sekarang!"
Ayla mengerjap, mencoba menelan keterkejutannya. Ia harus tetap tenang, tidak boleh menunjukkan reaksi berlebihan.
"Siapa?" tanyanya akhirnya, dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin, seolah tidak ada hal aneh dalam pertanyaan itu.
Namun, di dalam dirinya, ada perasaan gelisah yang sulit ia abaikan.
"Kenzo Ardian," jawab Nadya dengan nada penuh antusias. "Dia juga kaya dan berkuasa, tapi lebih misterius dari Leonard. Kabarnya, dia jarang muncul di media, dan hampir tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di balik sosoknya."
Ayla menarik napas dalam, mencoba meredam gelombang kegelisahan yang tiba-tiba melandanya.
Tangannya mencengkeram ujung meja tanpa sadar. Ia berusaha menenangkan pikirannya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan belaka.
Namun, satu pertanyaan terus berputar di benaknya—bagaimana bisa ia menghadapi seseorang yang baru saja ia layani semalam?
Pikirannya mulai dipenuhi skenario-skenario buruk yang bisa saja terjadi. Ia berharap Leonard tidak mengenalinya, atau lebih tepatnya, ia berharap pria itu bahkan tidak memperhatikannya sama sekali.
Ayla menggigit bibirnya, mencoba menepis rasa cemas yang semakin menghimpit. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh menunjukkan reaksi berlebihan. Tidak boleh ada yang tahu.
Mami Jenny
Di tempat lain, di sebuah ruangan yang remang-remang dengan aroma parfum mahal yang samar tercium di udara, Mami Jenny duduk dengan wajah tegang. Jemarinya yang bersarung kuku merah pekat menggenggam lengan kursinya erat-erat, sementara tatapannya terpaku pada sebuah benda di atas meja.
Di hadapannya, sebuah kotak merah kecil tergeletak dengan tenang, kontras dengan kegelisahan yang bergejolak dalam dadanya. Itu adalah kotak yang semalam ia tinggalkan di dekat Ayla, sesuatu yang seharusnya menjamin keamanan dan menghindari masalah.
Dengan napas tertahan, tangannya terulur, membuka kotak itu perlahan, seolah ia masih berharap ada kesalahan. Namun, harapan itu sirna dalam sekejap begitu matanya menangkap isi kotak tersebut.
Alat pengaman di dalamnya masih utuh.
Tidak tersentuh.
Mami Jenny mengerutkan kening, ekspresinya berubah serius.
Ayla tidak memakainya.
Dada Mami Jenny terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat seiring pikirannya yang mulai berputar dengan berbagai kemungkinan. Jika Ayla benar-benar tidak menggunakan alat itu, maka ini bisa menjadi masalah besar—masalah yang bisa berujung pada sesuatu yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, berpikir cepat.
Apa yang harus ia lakukan?
Haruskah ia memberitahu Ayla?
Tidak. Itu bukan pilihan yang bijak. Jika Ayla tahu, gadis itu pasti akan panik, dan kepanikan hanya akan membuat situasi ini semakin tidak terkendali.
Mami Jenny menggigit bibirnya, menahan kegelisahan yang semakin menyesakkan dada.
Tidak, ia tidak boleh membiarkan ini menjadi perhatian siapa pun. Ini harus dirahasiakan… setidaknya untuk sekarang.
Dengan gerakan cepat, ia menutup kembali kotak merah itu, kemudian tanpa berpikir panjang, memasukkannya ke dalam laci mejanya. Tangannya meraih kunci kecil di samping, memutar lubangnya hingga terdengar bunyi klik yang menandakan laci itu terkunci rapat.
Untuk saat ini, hanya dia yang tahu. Dan ia harus memastikan tetap seperti itu.
Kembali ke Suasana Kantor
Hari ini, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Pegawai berlalu-lalang dengan ritme yang lebih cepat, seolah ada energi tak kasat mata yang membuat semuanya bergerak lebih gesit.
Dan bagi Ayla, hari ini terasa lebih berat daripada hari-hari sebelumnya.
Bukan hanya karena tugasnya yang bertambah, tapi juga karena keputusan yang baru saja diumumkan pagi ini—untuk waktu yang belum bisa ditentukan, ia diminta menggantikan resepsionis yang biasanya menjaga ruangan CEO.
Sebuah tugas yang seharusnya sederhana.
Namun bagi Ayla, itu berarti satu hal: ia akan lebih sering bertemu dengan Leonard Aryasatya.
Darahnya berdesir setiap kali mengingat nama itu. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan beberapa dokumen di mejanya. Bagaimana bisa dia menjalani hari-hari ke depan dengan harus berada begitu dekat dengan pria itu?
Ia berusaha mengatur napasnya, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba—
"Ayla!"
Sebuah suara mengagetkannya hingga ia tersentak. Ayla langsung menoleh dengan jantung yang masih berdebar kencang.
Di hadapannya, Nadya berdiri dengan ekspresi sedikit panik.
"Ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit goyah akibat kejutan tadi.
Nadya tak membuang waktu dan langsung berkata dengan nada terburu-buru, "CEO sudah datang, ayo beri hormat!"
Ayla membeku sejenak.
CEO sudah kembali.
Leonard Aryasatya sudah kembali.
Pikiran Ayla langsung dipenuhi ketakutan yang ia coba tekan sejak tadi. Namun, ia tidak bisa berlama-lama larut dalam ketegangan, karena Nadya sudah lebih dulu melangkah dengan cepat, nyaris setengah berlari menuju lantai bawah.
Ayla menelan ludah.
Tidak ada pilihan lain. Ia harus ikut.
Jantung Ayla semakin tidak karuan, berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya bahkan mulai terasa dingin akibat kegugupannya.
Namun, ini bukan saatnya untuk panik.
Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa penampilannya benar-benar tidak mencolok. Tidak ada yang boleh memperhatikannya lebih dari yang seharusnya. Dengan sedikit ragu, Ayla akhirnya melangkah turun, bergabung dengan pegawai lainnya yang sudah menanti kehadiran sang CEO.
Dari sudut ruangan, ia mencuri pandang.
Sosok Leonard Aryasatya berdiri di sana dengan postur tegap dan sorot mata tajam yang begitu menusuk. Dingin. Berwibawa. Berbahaya. Seolah hanya dengan tatapannya saja, pria itu bisa membuat siapa pun kehilangan keberanian.
Namun, perhatian Ayla tak hanya tertuju pada Leonard.
Di sampingnya, ada pria lain yang memiliki kemiripan wajah dengannya—hanya saja, ekspresinya jauh berbeda. Jika Leonard terlihat penuh tekanan dan mendominasi ruangan dengan auranya yang mengintimidasi, pria ini justru tampak lebih tenang. Ada senyuman kecil yang terbit di sudut bibirnya, memberikan kesan ramah yang kontras dengan ketegangan yang ada.
Tak perlu bertanya, Ayla tahu siapa dia.
Kenzo Ardian.
CEO kedua perusahaan, sekaligus sepupu dari Leonard.
Sementara Ayla masih berusaha mencerna suasana, seorang pria—manajer perusahaan—melangkah maju dengan ekspresi profesional. Suaranya terdengar jelas saat ia berbicara dengan nada sopan dan hati-hati.
"Maaf, Tuan. Saya izin memberitahukan bahwa Lia, resepsionis ruangan Anda, sedang cuti untuk beberapa waktu. Sebagai penggantinya, posisi tersebut sementara diisi oleh Hana, pegawai honorer dari bagian pemasaran."
Ayla menahan napas. Dia sangat gugup.