Novel Noda Merah Pernikahan adalah webseries Novel Pertama yang tayang di Genflix dengan judul "Cinta Albirru" yang dibintangi oleh Michelle Joan dan Kiki Farel.
Zeya gadis yatim piatu yang terpaksa karena keadaan membuat dirinya terjun ke dunia hitam menjadi seorang wanita penghibur.
Suatu hari tanpa di duga ia bertemu dengan seorang pria yang bernama Albirru anak seorang ustad.
Tak lama berkenalan Albirru mengajak Zeya menikah, Zeya yang memang ingin bebas dari dunia hitam menerima tawaran Albirru untuk menikah dengannya walaupun hanya secara siri.
Belum genap setahun pernikahan mereka, Zeya harus menerima kenyataan jika suami yang ia harap dapat membimbingnya menjadi wanita yang lebih baik ternyata telah menikah lagi dengan jodoh dari kedua orang tuanya.
Apakah yang akan Zeya lakukan. Apakah ia bisa menerima pernikahan suaminya.
Siapkan sapu tangan dan tisu. Novel ini akan banyak menguras air mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Kedatangan Abi dan Ummi
Pagi harinya Zeya merasakan kepalanya pusing. Suhu badannya tinggi. Ia menarik selimutnya kembali.
Zeya mencoba kembali memicingkan matanya. Berharap setelah bangun nanti badannya sudah terasa lebih baik.
Panas matahari masuk melalui celah jendela kamar, menghangatkan tubuh Zeya. Ia mencoba membuka matanya walau kepalanya masih terasa sakit.
Zeya menyingkap selimut, dan berjalan perlahan menuju dapur. Ia membuat teh hangat untuk mengganjal perutnya.
Perutnya berbunyi, minta diisi. Zeya melihat kulkas, yang tersisa hanya telur. Ia membuat telur dadar untuk makan siangnya.
Baru beberapa suap, Zeya meninggalkan nasi beserta telur dadar itu. Lidahnya masih terasa pahit.
Zeya meraih kotak obat yang ada diatas lemari. Ia lalu mengambil obat pusing untuk dikonsumsi.
"Kamu harus kuat Zeya, bukan hanya kali ini kamu harus berjuang seorang diri saat sakit menyerang tubuhmu. Ini juga salammu, sudah tahu tubuhnya tidak bisa terkena air hujan tetap saja hujan-hujanan," gumam Zeya seorang diri.
Walau tubuhnya terasa tidak baik, Zeya tetap membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya.
Zeya mengambil hijab dan mengenakannya. Setiap akan kepengajian Zeya selalu menggunakan hujabnya.
Apakah aku sebaiknya menggunakan hijab setiap saat, bukan hanya ketika belajar mengaji saja.
Zeya mematut dirinya dicermin. Ia menatap wajahnya yang dipantul kaca. Zeya tersenyum sendiri melihat dirinya.
"Aku lihat, diriku juga pantas mengenakan hijab. Sebaiknya aku merubah penampilanku. Aku lihat Zahra sangat anggun dengan hijabnya. Apaan sih, kenapa aku jadi memikirkan istri mas Al itu. Lagi pula aku tak boleh menggunakan hijab hanya karena ingin mengikuti Zahra," gumam Zeya bicara dengan dirinya sendiri.
Zeya mengambil motor dan menggunakannya menuju rumah ustadzah, guru ngajinya.
Satu jam Zeya mengaji, ia juga berbagi cerita tentang rumah tangganya. Ustaszah menasihati agar Zeya ikhlas dan sabar.
Memang tak ada alasan bagi suami meminta izin terlebih dahulu sebelum menikah lagi, tapi sebagai seorang pria sejati dan untuk menghargai perasaan istri seharusnya Albirru meminta izin sebelum berpoligami.
Ustadzah juga meminta Zeya agar tetap mendalami ilmu agamanya, jangan karena kecewa terhadap suaminya ia kembali ke jalan yang salah lagi. Ustadzah guru mengaji Zeya tahu semua tentang masa lalunya dari pengakuan Zeya langsung.
Pulang mengaji Zeya mampir ke super market membeli bahan buat masak. Walau suhu badannya masih hangat, Zeya tetap memasak. Setelah sholat zuhur, Zeya membaringkan tubuhnya. Kepalanya masih terasa pusing.
Albirru masuk ke rumah kontrakan itu dengan perlahan. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang ia miliki.
Albirru mencari Zeya ke dapur. Tapi istrinya tak tampak, ia masuk ke kamar dan melihat Zeya yang tertidur.
Ia mendekati Zeya dan melihat masih ada sisa air mata di sudut mata wanita itu. Albirru melihat tubuh wanita yang ia cintai itu semakin kurus.
Albirru mengecup dahinya dan merasakan suhu tubuh istrinya yang panas. Ia lalu membangunkan Zeya.
"Sayang, bangunlah. Kamu sakit, kita ke rumah sakit ya." Albirru mengguncang lengan istrinya pelan untuk membangunkan.
Zeya membuka matanya perlahan, melihat Albirru dengan sedikit memaksa Zeya memberikan senyumnya. Ia bangun dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.
"Kamu kapan pulangnya, mas?"
"Baru saja, kamu sakit. Kita ke rumah sakit ya."
"Nggak perlu mas, aku sudah minum obat."
Hatiku yang lebih sakit dari tubuhku ini, mas. Tapi aku harus kuat. Aku harus menghadapi semuanya. Hidup akan terus berjalan, tak ada gunanya kita menyesali takdir yang terjadi dalam hidup kita.
"Tapi suhu badan kamu panas banget."
"Aku sudah biasa begini, mas. Bahkan dulu aku sempat mau mati, aku masih kuat," lirih Zeya.
"Kamu marah dengan mas."
"Kenapa aku harus marah?"
"Mas nggak suka kamu berkata seperti tadi. Saat ini kamu itu tanggung jawab, mas. Apa pun yang terjadi pada dirimu, jangan samakan dengan kamu yang dulu. Jika kamu membutuhkan sesuatu kamu tinggal ngomong. Dan kalau kamu sakit, kamu tak boleh menahannya sendiri. Kamu harus bicarakan dengan mas."
"Mas mau makan?" tanya Zeya mengalihkan ucapan Albirru.
"Mas minta maaf, Zeya."
"Minta maaf untuk apa, mas? Aku rasa tak ada yang salah."
"Mas minta maaf karena meninggalkan kamu kemarin. Mas melupakan jika kamu ada di sana. Mas takut Zahra langsung menghubungi abi dan ummi."
"Oh ... itu. Aku nggak apa-apa, mas. Aku telah biasa dilupakan. Jadi mas jangan kuatir."
"Zeya, tak ada niat mas untuk melupakan kamu. Sekali lagi mas minta maaf."
"Santai aja, mas. Aku nggak apa-apa. Apa mas sudah lupa siapa aku. Dari dulu banyak pria yang datang dan pergi dikehidupanku. Mereka hanya datang saat membutuhkan aku dan juga tubuhku. Jadi bagiku itu hal yang biasa. Mas jangan takut, hatiku ini tidak lemah. Aku telah terbiasa diterpa badai, hal yang mas lakukan belum seberapa dengan yang pernah aku alami."
"Jangan bicara begitu, Zeya. Itu sama saja kamu menganggap mas sama dengan pria-pria itu. Mas tak pernah menganggap kamu hanya sebagai pemuas di ranjang saja . Mas mencintai kamu."
"Aku tak mengatakan mas sama. Dan terima kasih jika mas memang mencintaiku. Aku siapkan makan malam dulu."
Zeya bangun dan berjalan meninggalkan Albirru di kamar seorang diri. Ia mengambil bahan untuk memasak.
Sebenarnya kepala Zeya masih terasa sakit, tapi ia tak ingin melihat sisi rapuhnya pada Albirru. Zeya telah bertekad tidak akan pernah menangis lagi dihadapan pria itu.
Ia akan buktikan pada Albirru jika ia bisa kuat dan bertahan apapun nanti perlakuan pria itu padanya. Zeya tak akan pernah bermain perasaan dan hati lagi menghadapi Albirru.
Jika ia akan menangis, tak akan ia lakukan dihadapan pria itu. Biarlah ia menangisi nasibnya seorang diri tanpa ada yang tau.
Zeya mengaduk sup ayam yang sedang dimasaknya. Ia merasakan ada tangan yang memeluk pinggangnya.
"Jangan marah lagi, sayang. Mas sedih melihat kamu mendiamkan mas seperti ini."
Albirru mengecup pipi Zeya dan meletakkan kepalanya di bahu wanita itu. Ia membalikkan tubuh Zeya menghadap dirinya.
"Mas mencintaimu, cinta mas masih sama seperti dulu. Kamu jangan berpikir jika mas berubah. Kamu tetap memiliki tempat terindah di hati ini." Albirru mengecup bibir Zeya.
"Mas, aku sedang memasak. Bisa mas lepaskan pelukannya dulu."
Albirru melepaskan pelukannya. Ia memilih duduk memperhatikan Zeya.
Aku tahu Zeya, kamu pasti marah padaku. Tidak biasanya kamu bersikap dingin seperti ini. Maafkan aku, Zeya. Aku telah membuat kamu terluka.
Sementara itu di rumahnya Zahra dikejutkan dengan kedatangan abi dan umminya Albirru.
Zahra mempersilakan mertuanya duduk. Ia membuatkan teh hangat buat kedua orang tua Albirru itu.
"Abi dan ummi kok nggak ada ngomong mau ke sini," ucap Zahra.
"Abi dan ummi mau buat kejutan padamu dan Albirru. Mana anak itu, jam segini apa masih kerja."
"Mas Al lagi ke luar kota, Abi."
"Apakah ia sering meninggalkan kamu begini?" tanya ummi.
"Jika harus ke luar kota, ummi."
"Abi, Gimana Albirru ini. Baru menikah aja istri udah ditinggal-tinggal. Abi beri aja usaha yang lain buat Albirru agar ia tak perlu ke luar kota lagi." Ummi mengusap tangan Zahra seakan memohon pengertiannya.
"Nanti saat ia pulang, Abi bicarakan."
"Abi, ummi ... aku tak apa-apa. Mas Al melakukan ini juga buat masa depan kami. Sekarang kita makan aja dulu, tadi aku udah masak."
Zahra membawa kedua orang tua Albirru itu menuju dapur untuk menyantap makan malam.
Bersambung
**********************
Terima kasih untuk semua pembaca novel ini.