NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Malam itu, rumah keluarga Alastair terbungkus keheningan yang rapi dan dingin. Lampu-lampu koridor menyala temaram, seolah ikut menjaga rahasia yang tidak pernah benar-benar diucapkan.

Leonard sudah berada di kamarnya.

Ia berbaring di atas kasur empuk berlapis seprai mahal, menatap langit-langit putih tanpa fokus. Jas hitam yang akan ia kenakan besok pagi tergantung rapi di balik lemari kaca. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sempurna—terlalu sempurna untuk sebuah pernikahan yang belum sepenuhnya ia terima.

Besok pagi. Pernikahan.

Leonard menghela napas panjang. Pikirannya berputar pada satu pertanyaan yang sejak siang terus menghantuinya.

"Apa aku bisa menerima Leora?"

Leora yang tenang. Terlalu tenang. Seolah sama-sama memahami bahwa pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan kesepakatan dua keluarga. Namun justru ketenangan itu yang membuat Leonard semakin sulit bernapas.

Bayangan ayahnya muncul dalam benaknya—harapan yang tidak pernah diucapkan, tapi terasa jelas menekan. Leonard tahu satu hal dengan pasti: ia tidak ingin mengecewakan ayahnya.

Getaran pelan dari meja samping ranjang memecah lamunannya.

Ponsel Leonard menyala.

Jaesica Qie.

Nama itu membuat rahangnya mengeras. Orang yang masih berada di hidupnya, dan sama sekali tidak tahu bahwa beberapa jam lagi Leonard akan menikah dengan wanita lain.

Ia meraih ponsel itu dan membuka pesannya.

Jaesica:

"Sayang, kenapa kamu nggak membalas pesanku beberapa hari ini?"

Leonard menatap layar cukup lama. Kata sayang itu masih ditujukan padanya, namun malam ini terasa asing. Ia tetap membalas—singkat, datar, seolah tidak terjadi apa-apa.

Leonard:

"Aku nggak ke mana-mana. Cuma sibuk"

Balasan datang cepat.

Jaesica:

"Sibuk sampai lupa aku?"

Leonard memejamkan mata sebentar. Kepalanya terlalu penuh untuk percakapan panjang.

Leonard:

"Jangan begitu. Aku cuma capek. Beberapa hari ini meeting terus."

Beberapa detik kemudian

Jaesica:

"Aku kangen kamu, aku pengen bertemu"

Leonard terdiam. Ia membalas dengan nada yang masih milik seorang kekasih, tapi dingin, menjaga jarak.

Leonard:

"Iya. Aku tahu"

Pesan berikutnya masuk.

Jaesica:

"Kamu kenapa sih, kok gitu"

Leonard menatap layar lama. Lelah yang ia rasakan akhirnya menemukan jalannya. Ia mengetik lebih panjang, lebih jujur, tanpa sadar jemarinya sedikit gemetar.

Leonard:

"Jaesica bisakah kamu memahami perasaanku?

Kamu terlalu berlebihan.

Aku lelah, tolonglah…

Jangan manja terus."

Pesan itu terkirim.

Leonard tidak langsung mengunci ponselnya. Ia meletakkannya di dada, menatap langit-langit gelap. Alih-alih lega, dadanya justru terasa semakin berat.

Kenangan bersama Jaesica datang satu per satu.

Waktu-waktu panjang yang telah mereka habiskan bersama. Obrolan larut malam. Tuntutan-tuntutan kecil yang lama-lama berubah menjadi keharusan. Jaesica yang selalu ingin tahu ke mana ia pergi, dengan siapa ia bertemu, apa yang ia lakukan. Perhatian yang awalnya terasa hangat, lalu perlahan berubah menjadi belenggu.

Leonard menyadari satu hal yang selama ini ia abaikan—Jaesica terlalu mengekang. Segalanya terasa berlebihan. Setiap keterlambatan menjadi masalah, setiap kesibukan harus dijelaskan, setiap jarak dianggap sebagai penolakan.

Dan malam ini, ia benar-benar lelah.

Ia memutar tubuhnya ke samping, ponsel diletakkan kembali ke meja. Lampu kamar tetap mati, menyisakan gelap dan suara napasnya sendiri.

Besok pagi, hidupnya akan berubah. Ia akan menikahi Leora—seorang wanita yang tidak menuntut apa pun darinya, bahkan sebelum menjadi istrinya.

Pikiran itu membuat dadanya kembali sesak.

Entah kapan matanya terpejam, Leonard Alastair akhirnya tertidur.

...----------------...

Pagi itu, lantai tertinggi Apartemen H-Wai Megah tampak lebih hidup dari biasanya. Satu apartemen penuh telah dipesan selama dua hari oleh keluarga Damian dan Alastair—khusus untuk seluruh rangkaian pernikahan yang akan berlangsung hari itu. Dari balik dinding kaca besar, kota terlihat sibuk, seolah tidak peduli pada keputusan besar yang akan diambil di dalam ruangan ini.

Leonard duduk di depan cermin besar ruang make-up pengantin pria.

Lampu-lampu putih terang mengelilinginya. Seorang MUA berdiri di samping, bekerja dengan gerakan tenang dan profesional—merapikan rambut Leonard, menyamakan garis wajahnya, memastikan setiap detail terlihat sempurna.

Leonard nyaris tidak bergerak.

Tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat tenang, dingin, nyaris tanpa cela. Tidak ada yang bisa menebak bahwa pikirannya sedang berantakan.

Sebentar lagi, batinnya. Semua akan dimulai.

Ponsel yang tergeletak di meja rias bergetar pelan.

Leonard melirik lewat cermin.

Jaesica Qie.

Ia meraih ponsel itu. MUA sedikit menghentikan tangannya.

“Sebentar ya, Tuan,” ucapnya sopan.

Leonard mengangguk singkat, membuka pesan tersebut.

Jaesica:

"Sayang, bisakah kita belanja bersama hari ini? Temani aku beli tas baru."

Leonard memejamkan mata sejenak. Permintaan yang terdengar sepele, tapi datang di waktu yang sama sekali tidak tepat. Ia mengetik cepat, tanpa emosi, tanpa basa-basi.

Leonard:

"Tidak. Aku ada urusan klien.

Sebentar lagi juga mulai sibuk, jadi jangan ganggu aku dulu."

Pesan terkirim.

Leonard meletakkan kembali ponselnya di meja rias, layar menghadap ke bawah. MUA kembali melanjutkan pekerjaannya—merapikan kerah jas, membenahi detail terakhir.

“Jasnya sudah pas, Tuan Leonard,” ujar MUA tenang.

Leonard berdiri. Jas itu jatuh sempurna di tubuhnya—tegas, rapi, tanpa satu pun lipatan salah. Dari luar, ia tampak seperti pria yang benar-benar siap menjadi pengantin.

Padahal hanya dia yang tahu, ketenangan itu hanyalah lapisan luar.

Ruang utama itu hening.

Bukan hening yang kosong, melainkan hening yang penuh wibawa—seolah setiap orang yang hadir tahu bahwa mereka sedang menyaksikan sesuatu yang tidak semua orang berhak lihat.

Leonard sudah berdiri di panggung depan.

Jas pengantinnya melekat sempurna di tubuhnya, potongan tegas berwarna gelap yang membuat parasnya tampak semakin rupawan. Posturnya tegap, bahunya lurus, wajahnya tenang—nyaris menyerupai seorang pangeran yang lahir dari garis keturunan bangsawan lama.

Tatapan Leonard menyapu ruang pernikahan itu perlahan.

Jumlah tamu sangat terbatas. Tidak ada keramaian berlebihan. Tidak ada sorotan kamera. Bahkan media dan acara televisi secara tegas dilarang meliput pernikahan ini. Semua berlangsung diam-diam, tertutup, dan hanya untuk mereka yang dianggap cukup penting.

Di deretan kursi tamu yang menghadap langsung ke arahnya, Leonard melihat wajah-wajah yang ia kenal baik.

Ayah dan ibunya duduk berdampingan—wajah tenang, penuh wibawa.

Roy duduk tidak jauh dari mereka, rautnya serius namun jelas menyimpan rasa bangga.

Tiga sahabat lainnya hadir dengan sikap hormat, menyadari betul bahwa hari ini bukan sekadar seremoni biasa.

Dan di barisan terdepan, presdir Damian duduk tegak, tatapannya lurus ke depan—seseorang yang sejak awal menjadi alasan utama mengapa pernikahan ini terjadi.

Leonard menarik napas pelan.

Lalu musik lembut mulai mengalun.

Perlahan, semua tatapan beralih ke satu arah.

Leonard pun menoleh.

Di sana, di ujung ruangan, Leora muncul.

Ia berjalan anggun di atas lantai marmer, mengenakan gaun putih yang jatuh lembut mengikuti setiap langkahnya. Sepatu hak yang kemarin ia pilihkan—yang ia pastikan pas dan nyaman—kini terpasang di kakinya, membuat langkahnya mantap tanpa ragu.

Di tangannya, Leora menggenggam rangkaian bunga putih sederhana namun elegan.

Wajahnya tertutup sebagian oleh tile tipis gaun pengantin, memberi kesan lembut sekaligus misterius. Rambutnya ditata rapi dengan gaya klasik, menyerupai putri bangsawan dari cerita lama—tenang, berkelas, dan jauh dari kesan berlebihan.

Leonard terdiam.

Untuk sesaat, pikirannya kosong.

Ia menyadari sesuatu yang tidak ia duga sebelumnya—Leora tidak tampak seperti perempuan yang terpaksa berada di sana. Ia berjalan dengan ketenangan seseorang yang telah menerima takdirnya, apa pun bentuknya.

Langkah demi langkah, jarak di antara mereka semakin dekat.

Dan di saat itu, Leonard Alastair memahami satu hal:

pernikahan ini mungkin dimulai tanpa cinta, tanpa pilihan bebas, namun wanita yang kini berjalan ke arahnya… bukan seseorang yang bisa ia anggap remeh.

Di tengah pernikahan yang dirahasiakan dunia, di hadapan tamu yang terpilih saja, Leonard berdiri menunggu—untuk pertama kalinya benar-benar menatap calon istrinya.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!