NovelToon NovelToon
Rempah Sang Waktu

Rempah Sang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Istana/Kuno / Reinkarnasi / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author:

Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.

7. Sendok Hitam dan Pasar Malam

Kirana berlari menembus halaman paviliun yang gelap. Napasnya memburu, kakinya tersandung-sandung akar pohon beringin, tapi ia tidak peduli. Ia menerobos masuk ke pendopo utama kediaman Arya tanpa permisi.

“Mas Arya! Mas Arya!”

Raden Arya, yang sedang membersihkan bilah keris pusakanya dengan minyak cendana, tersentak kaget. Ia berdiri seketika, keris terhunus waspada.

“Ada apa? Pasukan musuh menyerang?”

Kirana menggeleng panik, wajahnya pucat pasi seperti mayat. Tanpa bicara, ia menyodorkan sendok perak yang ia genggam.

Arya menatap sendok itu. Matanya menyipit tajam saat melihat ujung sendok yang menghitam pekat. Ia tidak perlu bertanya dua kali. Ia tahu persis apa artinya.

“Di mana makanannya?” Suara Arya berubah dingin, jauh lebih dingin dari biasanya.

“Di…di dapur saya. Manisan mangga.”jawab Kirana gemetar. “Gue…gue pikir itu dari Mas Dipa. Keranjangnya mirip…”

Arya membanting kerisnya ke meja—membuat Kirana terlonjak—lalu berjalan cepat menuju dapur paviliun Kirana. Kirana mengekor di belakangnya, takut ditinggal sendirian.

Sesampainya di dapur, Arya memeriksa manisan yang berserakan di lantai. Ia melihat lalat mati di sana. Ia mengambil keranjang anyaman itu, mengendus aromanya.

“Racun Warangan.”desis Arya. “Arsenik dosis tinggi. Kau bisa mati sebelum sempat menelan kunyahan pertama.”

Lutut Kirana lemas lagi. Ia merosot duduk di bangku kayu. “Gila…orang sini sadis banget. Gue salah apa coba? Cuma masak Nasi Goreng doang!”

Arya berbalik, menatap Kirana yang ketakutan. Kemarahannya pada Kirana soal Dipa tadi siang menguap, digantikan oleh rasa marah yang membakar terhadap siapa pun yang berani menyentuh ‘koki’nya.

“Dipa tidak mengirim ini.”kata Arya tegas.

“Tapi tadi siang dia bilang mau ngasih manisan…”

“Dipa itu naif, terkadang bodoh, tapi dia bukan pembunuh.”potong Arya. “Seseorang mendengar percakapan kalian. Seseorang ingin kau mati, sekaligus mengadu domba aku dan adikku.”

Arya berlutut di depan Kirana, menyamakan tinggi mereka. Ia menatap mata gadis itu lekat-lekat.

“Dengar, Kirana. Mulai detik ini, kau tidak boleh makan apa pun yang tidak kau masak sendiri. Jangan terima hadiah, jangan terima bunga, jangan terima air minum dari siapa pun kecuali dari Laras atau aku. Paham?”

Kirana mengangguk cepat. Air mata menggenang di pelupuk matanya. “Gue takut, Mas. Gue mau pulang. Di zaman gue, paling banter gue dikatain haters di kolom komentar, bukan diracunin ginian.”

Melihat air mata itu, dinding pertahanan Arya retak sedikit. Tangannya yang kasar terulur ragu-ragu, lalu menepuk puncak kepala Kirana dengan canggung. Dua kali. Puk. Puk.

“Jangan menangis. Itu membuatmu terlihat jelek.” Ucap Arya kaku (niatnya menghibur). “Selama kau ada di radius pandanganku, Dewa Kematian pun harus minta izin padaku dulu untuk menyentuhmu.”

Kirana mendongak, menatap wajah garang itu. Entah kenapa, ancaman kematian barusan terdengar seperti janji paling romantis yang pernah ia dengar.

Tiga Hari Kemudian.

Suasana istana sangat ramai. Lampion warna-warni digantung di setiap sudut. Hari ini adalah Pesta Purnama, festival rakyat tahunan di mana gerbang istana dibuka untuk umum.

Kirana sedang sibuk di dapur utama membuat ribuan klepon (karena dia malas bikin kue yang ribet), ketika titah Raja turun.

“Nyai Key.”panggil Laras. “Gusti Prabu memanggil. Beliau ingin berjalan-jalan ke pasar malam dan meminta Nyai untuk…eh…’Menilai Jajanan’.”

“Menilai Jajanan?”Kirana mengernyit. “Bilang aja Raja mau jajan sembarangan tapi takut sakit perut.”

Kirana tidak bisa menolak. Ia mengganti pakaiannya dengan kebaya kutubaru sederhana warna kuning gading (pilihan Laras) dan kain batik cokelat. Rambutnya disanggul modern dengan hiasan bunga kamboja.

Saat ia keluar gerbang istana, rombongan Raja sudah siap. Prabu Wirabumi menyamar memakai pakaian saudagar kaya.

Dan di sampingnya, berdiri Raden Arya. Tidak memakai zirah perang, melainkan memakai beskap hitam pas badan yang membuatnya terlihat…Masya Allah. Kirana harus menahan diri untuk tidak mimisan.

“Ingat.”bisik Arya saat Kirana mendekat. “Jangan jauh-jauh. Jarak maksimal satu tombak dari badanku.”

“Siap, Bodyguard Ganteng.” Bisik Karina balik.

Mereka pun berjalan membelah keramaian pasar malam. Suasananya magis. Cahaya obor menerangi jalanan batu, aroma sate lilit dan jagung bakar memenuhi udara, suara gamelan berpadu dengan suara tawa anak-anak.

Kirana yang jiwa vlogger-nya meronta-ronta, sibuk celingukan.

“Wah, Gila! Ini kalau gue rekam masuk FYP nih! Aestetik parah!”serunya, menunjuk penjual topeng kayu.

Arya terus berjalan di sampingnya, satu tangannya selalu waspada di dekat pinggang (meski ia tidak bawa keris, ia bawa pisau belati tersembunyi). Matanya memindai kerumunan, mencari ancaman. Tapi ancaman terbesar justru datang dari gadis di sebelahnya yang terus menarik-narik selendang pinggangnya.

“Mas Arya! Mas Arya! Liat itu! Gulali zaman Majapahit!” Kirana menarik ujung kain Arya antusias.

“Jangan tarik-tarik. Nanti kainku melorot, kau mau tanggung jawab?”gerutu Arya, tapi ia tetap membiarkan dirinya diseret ke penjual gulali.

“Pak, beli satu!” Kata Kirana pada penjual tua.

“Dua kepeng, Nduk.” Jawab si Bapak.

Kirana bengong. “Duh, lupa bawa dompet. Mas Arya, bayarin dong. Nanti gue bayar pake…doa.”

Arya mendengus, tapi tetap merogoh kantungnya dan melempar koin perak.

Kirana menerima gulali itu dengan mata berbinar. Ia mematahkannya sedikit, lalu menyodorkannya ke mulut Arya.

“Nah, pajak preman.”

Arya mundur sedikit. “Aku tidak makan jajanan anak kecil.”

“Aelah, gengsi mulu. Cobain, enak! Manis kayak janji politikus!”

Arya melihat sekeliling. Tidak ada prajurit bawahannya. Aman. Dengan cepat, ia menyambar potongan gulali itu dengan mulutnya.

Manis.

“Gimana?” Tanya Kirana.

“Terlalu manis.” Komentar Arya datar. “Seperti kau.”

Kirana tersedak ludahnya sendiri. “Hah? Apa Mas? Gue nggak denger, ada suara mercon.”

“Lupakan.” Arya memalingkan wajah, menyembunyikan senyum tipisnya.

Tiba-tiba, kerumunan mendesak hebat. Ada arak-arakan Barong lewat. Orang-orang saling dorong untuk melihat.

“Awas!”

Tubuh mungil Kirana terdorong keras oleh seorang pria bertubuh besar. Ia nyaris terjungkal ke parit selokan kalau saja sebuah tangan kekar tidak menangkap pinggangnya.

Hap.

Kirana mendarat mulus di dada bidang Arya. Lagi.

Namun kali ini, Arya tidak langsung melepaskannya. Kerumunan semakin padat dan liar.

“Pegangan.”perintah Arya tegas di telinga Kirana.

Tanpa ragu, Arya melingkarkan lengan kirinya yang kuat di bahu Kirana, mendekap gadis itu erat-erat ke sisi tubuhnya, melindunginya dari sikutan dan dorongan orang-orang.

Kirana merasa seperti anak ayam yang dilindungi induk elang. Aroma tubuh Arya—campuran cendana, keringat maskulin, dan sedikit manis gulali—membuat kepalanya pening dalam artian yang menyenangkan.

Di tengah hiruk pikuk pasar malam kuno, di bawah cahaya bulan purnama dan lampion, Kirana merasa aman.

Ia mendongak sedikit, menatap rahang tegas Arya dari dekat.

Duh, Gusti, batin Kirana. Kalau gue nggak bisa pulang ke masa depan…kayaknya gue ikhlas deh.

Namun, momen manis itu rusak ketika mata tajam Arya menangkap sosok mencurigakan di balik bayangan gapura. Sosok berjubah hitam yang menatap lurus ke arah Kirana, lalu menghilang di keramaian.

Arya mengeratkan dekapannya di bahu Kirana, sampai Kirana sedikit meringis.

“Kita kembali ke istana.”bisik Arya tegang. “Sekarang.”

“Yah…belum beli cilok…”keluh Kirana, tidak menyadari bahaya yang baru saja lewat.

“Nyawamu atau cilok?”

“Cilok sih…tapi ya udah deh, Nyawa dulu.”

Sesampainya di halaman Paviliun Cakra, Arya langsung mendorong Kirana masuk melewati gerbang kayu dengan sedikit kasar. Ia segera memerintahkan para penjaga untuk melipatgandakan patroli.

“Masuk ke kamar. Kunci pintu. Jangan keluar sampai pagi.” Perintah Arya tanpa menoleh, napasnya masih memburu.

Kirana mendengus kesal sambil membetulkan sanggulnya yang miring. “Mas Arya kenapa sih? Tiba-tiba panik gitu? Padahal tadi nggak ada apa-apa. Overthinking tau gak!”

Arya tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung di bawah cahaya obor taman, memunggungi Kirana. Tangan kanannya mencengkeram lengan kirinya dengan kuat.

Mata jeli Kirana menangkap sesuatu. Ada tetesan cairan kental yang jatuh ke tanah berpasir.

Tes. Tes. Tes.

Darah.

Mata Kirana membelalak. Ia melihat lengan baju beskap hitam Arya yang basah dan robek memanjang.

“Mas Arya! Lo…lo berdarah?!”

Kirana lari menghampiri, mengabaikan perintah Arya untuk masuk kamar. Ia menarik paksa tangan Arya yang menutupi lukanya.

Benar saja. Ada sayatan panjang di lengan kiri Sang Panglima. Darah segar mengucur deras, mewarnai kain hitam itu menjadi merah pekat.

“Ya ampun! Ini kenapa? Kena kawat berduri?” Teriak Kirana panik.

“Hanya goresan.”elak Arya, berusaha menarik tangannya kembali. Wajahnya sedikit pucat, tapi ekspresinya tetap datar seolah ia hanya kena gigit nyamuk.

“Goresan nenek moyang lo! Ini dalam banget, Mas!” Kirana menyeret Arya—yang anehnya menurut saja—untuk duduk di balai-balai bambu teras.

“Laras! Bawa air anget sama kain bersih! Cepetan!” Teriak Kirana.

Dengan tangan gemetar, Kirana menyingsingkan lengan baju Arya. Lukanya lurus dan rapi. Jelas bukan karena kecelakaan. Ini bekas sabetan pisau tajam.

Kirana terdiam. Otaknya memutar kembali kejadian di pasar malam. Saat kerumunan mendesak…saat pria itu menabraknya…saat Arya tiba-tiba memeluknya erat dan mengerang pelan.

“Tadi…”bisik Kirana, suaranya tercekat. “Pas di kerumunan tadi…ada yang nyerang gue?”

Arya diam saja, membiarkan Kirana membersihkan lukanya dengan air hangat yang dibawakan Laras.

“Jawab, Mas.”desak Kirana, matanya mulai berair. “Lo meluk gue bukan cuma buat ngelindungin dari desakan orang kan? Lo…lo nahan pisau buat gue?”

Arya menghela napas panjang, menatap langit malam.

“Orang itu mengincar perutmu.” Jawab Arya tenang, seolah sedang membicarakan cuaca. “Pisau belati kecil, tapi beracun. Untungnya aku sempat menangkisnya, walau sedikit terlambat.”

Kirana menutup mulutnya dengan tangan. Ia merasa mual. Jadi saat dia sibuk merengek minta cilok, Arya sedang bertarung nyawa dalam diam, menahan sakit sambil tetap tersenyum (tipis) padanya?

“Kenapa lo nggak bilang?!” Kirana memukul pelan bahu Arya yang tidak terluka, air matanya tumpah. “Lo bisa mati bego!”

Arya menoleh, menatap Kirana lekat-lekat. Sorot matanya yang biasanya tajam, kini melembut karena lelah.

“Kalau aku bilang, kau akan berteriak. Orang-orang akan panik. Pelaku bisa kabur memanfaatkan kekacauan, atau lebih buruk, melukaimu lagi.”jelas Arya. “Tugasku adalah memastikan kau pulang dengan utuh. Luka ini…tidak seberapa.”

Kirana tidak bisa berkata-kata lagi. Ia mengambil sobekan kain bersih, lalu membalut luka itu dengan telaten. Ia mengikatnya kencang—sedikit terlalu kencang karena gemas dan khawatir.

“Aw”ringis Arya pelan.

“Biarin. Biar sadar.”omel Kirana sambil sesenggukan. “Lain kali…lain kali jangan sok jadi pahlawan sendirian. Gue lebih milih nggak makan gulali seumur hidup daripada liat lo kayak gini.”

Setelah perban terpasang rapi (dengan simpul pita yang agak tidak macho), Kirana masih memegangi lengan Arya. Ia tidak mau melepaskannya.

Arya, yang biasanya anti sentuhan, kali ini membiarkannya. Ia mengangkat tangan kanannya yang bebas, lalu dengan ragu-ragu menghapus air mata di pipi Kirana dengan Ibu jarinya yang kasar.

“Sudah kubilang, jangan menangis. Jelek.”bisik Arya.

Kirana mendongak, menatap wajah pria di depannya. Di bawah sinar bulan, Panglima Perang yang ditakuti seluruh kerajaan itu terlihat…rapuh. Dan sangat manusiawi.

“Mas Arya…”

“Hmm?”

“Makasih.”

Arya hanya mengangguk singkat. “Masuklah. Tidur. Besok kau harus masak bubur ayam. Aku sedang ingin bubur.”

“Pake kacang nggak?”tanya Kirana spontan, berusaha mencairkan suasana.

“Terserah. Asal jangan diaduk. Kalau kau aduk, aku usir kau dari paviliun.”canda Arya dengan wajah serius.

Kirana tertawa kecil di sela tangisnya. Bahkan di masa lalu, perdebatan bubur diaduk atau tidak tetap abadi.

Malam itu, Kirana tidur dengan perasaan campur aduk. Ia takut setengah mati pada musuh yang mengincarnya, tapi di sisi lain, hatinya menghangat mengetahui ada seseorang yang rela berdarah-darah hanya untuk memastikan ia bisa makan gulali dengan tenang.

1
Roro
yeee ketemu lagi arya sama kirana
Roro
keren sumpah
NP
Makasih banyak ya kak 🥰🔥
Roro
wahhh ternyata nanti berjodoh di masa depan 😍😍😍
NP: 🤣🤣 tadinya mau stay di masa lampau kirana nya galau 🤭
total 1 replies
Gedang Raja
tambah semangat lagi ya Thor hehehe semangat semangat semangat
Roro
akan kah kirana tinggal
Roro
ayo thor aky tungu update nya
Roro
gimana yah jadinya, apa kita akan bakal pulang atau bertahan di era masa lalu.
NP: Hayoo tebak, kira kira Kirana pilih tinggal di masa lalu atau masa depan?
total 1 replies
Roro
Arya so sweet
Roro
panglima dingin.. mancair yah
NP
Ditunggu ya kak hehehe.. makasih udah suka cerita nya😍
Roro
aku suka banget ceritanya nya Thor, aku tunggu lanjutan nya
Roro
lanjut thor
Roro
kok aku suka yah sama karakter Kirana ini
Roro
ahhhsetuju Kirana
Roro
bagus ceritanya aku suka
Roro
keren thor
Roro
keren jadi semngat aku bacanya, kayak nya tertular semangat nya Kirana deh
NP: Makasih banyak kak Roro😍🙏
total 1 replies
Roro
fix Kirana berada di abad ke 14
Roro
jangan jangan Kirana sampai ke abad 14
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!