DEWA SAHAM

Hari-hari di kantor pusat Dirgantara Group, di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, berjalan seperti biasa: penuh kesibukan, laporan, dan pertemuan antar divisi. Namun, bagi Arif Dirgantara, CEO muda anak perusahaan Dirgantara Investama, rutinitas itu mulai terasa berbeda sejak kehadiran seorang karyawan baru yang cerdas dan berkarisma: Retno Kinasih.

Retno duduk di ruang rapat lantai 25, menyusun laporan presentasi investasi regional. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya serius menatap layar laptop, sementara kacamata tipis bertengger di hidung mancungnya. Ia belum tahu bahwa dari balik kaca ruang rapat, Arif memperhatikannya—bukan sekadar sebagai atasan menilai kinerja bawahan, tapi sebagai seorang pria yang perlahan mulai terpesona.

“Dia cepat belajar,” gumam Arif pelan.

“Siapa, Pak?” tanya Sekretaris Arif, seorang wanita paruh baya bernama Mira.

“Retno. Kinasih, bagian analis,” jawab Arif santai, mencoba menutupi ketertarikan yang mulai tumbuh.

Mira tersenyum kecil. “Saya sudah dengar soal dia, Pak. Banyak yang bilang, anak itu punya naluri bisnis yang tajam.”

Hari itu, Retno mempresentasikan analisisnya tentang prospek ekspor bahan baku logam ke Vietnam dan Filipina. Suaranya mantap, caranya menjelaskan membuat para direktur senior yang hadir terdiam. Ia tidak hanya paham angka, tapi juga mengerti arah pasar.

“Luar biasa,” komentar Direktur Operasional, Pak Rudi Santoso, setelah presentasi selesai.

Arif hanya tersenyum kecil, matanya tak lepas dari Retno yang menunduk sopan. “Baik, hasil analisisnya bagus. Kita akan bawa ke rapat utama minggu depan,” ujarnya dengan nada tenang. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang bergejolak.

Beberapa minggu berikutnya, Arif mulai menemukan alasan untuk sering memanggil Retno ke ruangannya. Kadang untuk membahas laporan, kadang hanya sekadar menanyakan hal kecil yang sebenarnya bisa disampaikan lewat email.

“Retno, tolong bantu saya cek ulang proposal kerja sama dengan investor Singapura,” katanya suatu siang.

“Baik, Pak,” jawab Retno lembut, mendekat membawa berkas.

Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, Arif bisa merasakan aroma lembut bunga melati dari parfum Retno. Hal sederhana itu membuat jantungnya berdebar aneh.

Arif menatap Retno yang menjelaskan isi berkas dengan cermat. Di antara tumpukan kertas dan suasana serius, ada rasa hangat yang tumbuh diam-diam. Bukan sekadar kagum—lebih dari itu.

Suatu sore, setelah rapat panjang, Retno turun ke lobi gedung Dirgantara Tower. Hujan deras mengguyur Jakarta. Taksi sulit didapat.

Arif yang kebetulan baru keluar dari parkiran melihat Retno berdiri di bawah kanopi, memeluk map kerjanya sambil menatap hujan.

“Retno!” panggil Arif sambil menurunkan kaca mobil hitamnya.

“Oh, Pak Arif!” Retno sedikit terkejut.

“Masuk saja, saya antar. Hujan deras begini, nanti basah semua berkasnya.”

“Wah, nggak usah repot, Pak, saya bisa tunggu—”

“Ini sudah malam, Retno. Saya kebetulan lewat arah yang sama,” potong Arif halus.

Akhirnya Retno masuk ke mobil. Suasana di dalam hening. Hanya suara hujan dan wiper yang bergerak perlahan.

“Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan,” kata Retno pelan.

“Tidak merepotkan. Lagipula, saya sudah lama tidak punya alasan untuk pulang lebih lambat dari kantor,” jawab Arif sambil tersenyum tipis.

Retno tersenyum, pipinya sedikit merona. “Alasan yang cukup aneh, Pak.”

Arif menatapnya sejenak. “Mungkin, tapi kadang alasan aneh bisa membuat hari jadi berbeda.”

Sejak hari itu, hubungan mereka mulai lebih akrab. Tidak ada yang berani membicarakannya di kantor, tetapi bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan.

“Bu Retno itu dekat sekali sama Pak Arif, ya?”

“Katanya sering dipanggil ke ruangannya. Tapi kayaknya bukan cuma urusan kerja, deh.”

Retno tahu gosip itu, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa setiap kali Arif tersenyum padanya, ada sesuatu di dadanya yang bergetar. Ia tahu posisinya jauh berbeda. Ia hanya karyawan biasa dari keluarga sederhana di Semarang, sementara Arif adalah pewaris konglomerat keluarga Dirgantara—nama besar yang menguasai berbagai sektor bisnis di Indonesia.

Namun, cinta tidak mengenal hierarki.

Malam itu, di balkon apartemennya yang sederhana di kawasan Kuningan, Retno menatap lampu-lampu kota Jakarta yang berkilau.

“Ini gila,” gumamnya. “Aku jatuh cinta pada atasan sendiri.”

Tapi saat matanya menatap layar ponsel—ada pesan singkat dari Arif:

‘Terima kasih sudah bantu hari ini. Istirahat yang cukup, Retno. Dunia ini berat, tapi senyummu membuatnya terasa ringan.’

Retno menatap pesan itu lama. Air matanya menetes, entah kenapa. Antara bahagia dan takut. Ia tahu, jalan cinta mereka tidak akan mudah. Tapi malam itu, di bawah langit Jakarta yang temaram, bunga-bunga kecil di hatinya mulai mekar—pelan, tapi pasti.