Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Pertanda dimulainya perjuangan baru untuk bertahan hidup
Pagi menyingsing dengan cara yang berbeda bagi Arjuna. Biasanya, fajar adalah pertanda dimulainya perjuangan baru untuk bertahan hidup. Namun pagi ini, fajar adalah hitung mundur. Pukul sepuluh pagi nanti, sebuah pengumuman di dunia maya akan menentukan apakah gerbang menuju mimpinya akan terbuka atau tertutup rapat. Rasa cemas yang dingin dan tajam menusuk perutnya, sebuah perasaan yang jauh lebih nyata daripada rasa lapar.
Ia terbangun bahkan sebelum ayam jantan di pekarangan tetangga kos sempat berkokok. Ia tidak bisa tidur lagi. Bayangan tentang logo Universitas Nusantara Global, tatapan tajam Aulia, dan barisan soal ujian yang ia lalui dengan begitu ajaib terus berputar di kepalanya. Harapan adalah sesuatu yang berbahaya. Semakin besar harapan itu, semakin sakit jika ia jatuh.
Setelah shalat Subuh, ia melakukan rutinitas paginya. Beberapa gerakan peregangan, push-up, dan sit-up di lantai kamarnya yang dingin. Ia bisa merasakan otot-ototnya merespons dengan sigap, tanpa ada sisa pegal dari kerja berat kemarin. Tubuhnya terasa prima, penuh energi yang meluap-luap. Justru pikirannya yang terasa lelah karena terus-menerus cemas.
Menunggu. Ia benci menunggu. Menunggu dalam diam di kamar sempit ini hingga pukul sepuluh terasa seperti sebuah siksaan. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, sesuatu untuk menyalurkan energi dan kegelisahannya. Sesuatu yang nyata dan produktif.
Proyek.
Ide itu muncul begitu saja. Bekerja. Mengubah kecemasan menjadi keringat, mengubah penantian menjadi rupiah. Itu jauh lebih baik daripada duduk melamun. Jika ia diterima, uang hasil hari ini akan menjadi bekal awalnya. Jika ia ditolak, uang itu akan menjadi penyambung hidupnya untuk mencari rencana lain. Tidak ada ruginya.
Keputusan itu terasa mantap. Ia segera bersiap-siap, mengenakan pakaian kerjanya yang paling layak—kaus yang sama dengan kemarin, tapi sudah ia cuci semalam dan keringkan di belakang kos.
Saat ia melangkah keluar kamar, ia melihat Budi dan Toni sudah duduk di teras, tampaknya baru selesai lari pagi. Wajah mereka terlihat segar, namun tatapan mereka pada Arjuna kini mengandung sesuatu yang berbeda: rasa hormat dan penasaran yang besar.
"Pagi, Jun," sapa Toni, lebih dulu. "Gimana? Tidur nyenyak? Nggak mimpiin pengumuman nanti, kan?"
"Pagi, Mas Toni, Mas Budi," balas Arjuna sambil tersenyum tipis. "Tidur sih nyenyak, cuma bangunnya kepikiran."
"Wajar, wajar," kata Budi sambil menyeruput kopinya. "Gue aja yang nggak ikut tes ikut deg-degan buat lo. Gila, UNG gitu lho. Lo bener-bener nekat sekaligus jenius, Jun."
"Belum tentu diterima juga, Mas," kata Arjuna merendah.
"Eh, tapi serius," Budi menatap Arjuna dengan heran. "Lo pagi-pagi udah rapi begini mau kemana? Ini kan hari H. Nggak mau nunggu di kamar aja sambil berdoa?"
"Mau ke proyek lagi, Mas," jawab Arjuna tenang.
Kedua temannya itu melongo, sama persis seperti semalam.
"APA?! Lo gila?!" seru Budi tak percaya. "Hari penentuan nasib lo malah mau jadi kuli bangunan? Otak lo ketinggalan di mana, Jun?"
Arjuna tertawa kecil melihat reaksi temannya. "Menunggu saja nggak akan bikin perut kenyang, Mas. Daripada cemas nggak jelas di kamar, lebih baik saya kerja. Lumayan, bisa buat bayar kos kalau nanti nggak diterima."
Jawaban sederhana itu membungkam Budi dan Toni. Mereka saling berpandangan, takjub dengan pola pikir teman mereka yang satu ini. Di saat orang lain mungkin akan berdiam di depan laptop atau pergi ke tempat ibadah, Arjuna justru memilih untuk membanting tulang.
"Salut," hanya itu kata yang keluar dari mulut Toni, penuh kekaguman. "Hati-hati di jalan, Jun. Nanti jam sepuluh, kita semua yang di sini ikut doain lo."
"Terima kasih, Mas," kata Arjuna tulus. Dukungan itu terasa hangat di hatinya.
Ia pun berangkat, meninggalkan teman-temannya yang masih menggelengkan kepala tak percaya. Perjalanan menuju lokasi proyek terasa berbeda. Ia tidak lagi memperhatikan jalanan, pikirannya fokus pada dua hal: pekerjaan di depan mata dan jarum jam yang terus bergerak tanpa ampun menuju angka sepuluh.
Setibanya di lokasi proyek, suasana sudah ramai. Para pekerja sudah memulai aktivitas mereka. Saat Arjuna masuk, beberapa kuli yang kemarin menatapnya dengan aneh kini justru tersenyum dan menyapanya.
"Woi, Anak Kuat! Datang lagi kau!" seru salah seorang dari mereka dari atas tumpukan bata.
"Siap mecahin rekor lagi hari ini, Jun?" timpal yang lain sambil tertawa.
Arjuna hanya tersenyum dan mengangguk, merasa sedikit canggung namun juga senang dengan penerimaan mereka. Reputasinya sebagai pekerja super rupanya sudah menyebar. Ia berjalan menghampiri Pak Tarno yang sedang memeriksa denah bangunan.
Sang mandor melihat kedatangannya dan langsung tersenyum lebar. Senyum yang tulus, bukan lagi senyum meremehkan seperti pertemuan pertama mereka.
"Nah, ini dia bintang kita! Saya tahu kamu pasti datang!" kata Pak Tarno dengan suara riang. "Saya suka semangat kerjamu, Nak. Pagi-pagi sudah di sini."
"Selamat pagi, Pak," sapa Arjuna sopan.
"Dengar baik-baik," kata Pak Tarno sambil menunjuk ke arah gerbang proyek. "Semalam datang lagi lima truk semen. Itu jatahmu semua kalau kamu sanggup. Jangan bikin saya kecewa."
Lima truk. Itu berarti potensi penghasilan yang lebih besar dari kemarin. Semangat Arjuna langsung terpompa.
"Oh ya," Pak Tarno menambahkan, nadanya sedikit lebih personal. "Nanti jam sepuluh kan pengumumannya? Sambil kerja sambil berdoa, ya. Semoga rezekimu bukan cuma dari semen ini saja."
"Amin. Terima kasih banyak doanya, Pak," jawab Arjuna, terharu oleh perhatian sang mandor.
Tanpa membuang waktu lagi, Arjuna langsung menuju truk pertama. Ia melenturkan otot-ototnya. Pukul delapan pagi. Ia punya waktu dua jam. Dua jam untuk bekerja sekeras yang ia bisa, untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan dikalahkan oleh keadaan, apa pun hasil pengumuman nanti.
Ia mulai mengangkat karung semen pertamanya hari itu. Pikirannya fokus, tubuhnya bergerak dengan ritme yang sudah ia kuasai. Setiap karung yang ia pindahkan adalah doa. Setiap tetes keringat adalah harapan. Jarum jam terus berputar, dan di bawah terik matahari pagi, Arjuna berlomba dengan waktu dan takdirnya sendiri.
Di ruang rapat dewan rektorat Universitas Nusantara Global yang dingin dan kedap suara, suasana terasa khidmat namun juga penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Profesor Wijoyo, sang Rektor yang kharismatik dan telah memimpin UNG selama satu dekade, duduk di ujung meja mahoni yang panjang. Di sekelilingnya, para dekan dari berbagai fakultas, termasuk Profesor Budiarto, serta kepala bagian penerimaan mahasiswa baru, Ibu Ratna, menatap layar besar di depan mereka.
Waktu di jam digital dinding menunjukkan pukul 09.45 pagi. Lima belas menit menuju pengumuman yang akan menentukan nasib ratusan calon mahasiswa.
"Jadi, kita semua sudah sepakat," ujar Profesor Wijoyo, suaranya yang tenang dan berwibawa memecah keheningan. "Terlepas dari semua keanehan dan diskusi panjang kita, hasil tes ini kita nyatakan sah."
Ia menghela napas panjang, matanya tertuju pada satu nama yang terpampang paling atas di daftar peringkat hasil seleksi. Peringkat 1: Arjuna Wicaksono.
Profesor Budiarto mengangguk. "Benar, Pak Rektor. Setelah analisis forensik digital dan pengecekan silang, tidak ditemukan adanya indikasi kecurangan, peretasan sistem, atau joki. Hasil ini murni."
"Tapi itu yang justru tidak masuk akal," sahut Dekan Fakultas Ekonomi, seorang wanita paruh baya yang terkenal sangat teliti. "Bagaimana mungkin? Saya sudah melihat kembali portofolio anak ini. Izinkan saya menampilkannya lagi."
Ibu Ratna dengan sigap menampilkan data diri Arjuna di layar utama. Foto lusuh dari ijazah SMA menampilkan wajah seorang pemuda kurus dengan tatapan polos. Di bawahnya, tertera data yang begitu kontras dengan pencapaiannya.
"Lulusan SMA Negeri dari sebuah kecamatan kecil di Temanggung," Ibu Ratna membacakan data itu seolah masih tidak percaya. "Tidak ada riwayat keikutsertaan olimpiade sains. Tidak ada sertifikat TOEFL atau IELTS. Tidak ada kegiatan organisasi menonjol. Referensi hanya dari kepala sekolahnya. Dan status terakhir... yatim piatu, tinggal bersama neneknya yang baru saja meninggal dunia."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Para dekan, yang terbiasa melihat portofolio calon mahasiswa dari sekolah-sekolah elit dengan segudang prestasi internasional, hanya bisa menggelengkan kepala. Data ini terlalu biasa, terlalu sederhana untuk hasil yang begitu fenomenal.
"Ini seperti menemukan sebongkah berlian mentah di tengah tumpukan jerami," gumam Profesor Wijoyo lebih pada dirinya sendiri. "Dan yang membuat saya tidak habis pikir adalah teori dari Profesor Budiarto."
Ia menatap Dekan Fakultas Teknik itu. "Anda masih yakin dengan teori Anda bahwa dua kesalahannya itu disengaja?"
"Saya semakin yakin, Pak Rektor," jawab Profesor Budiarto dengan mantap. "Kesalahan pada soal yang paling mudah justru menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kecerdasan yang luar biasa. Dia tidak hanya menguasai materi, dia juga memahami psikologi kita sebagai penilai. Dia ingin terlihat tidak sempurna, agar tidak dicurigai. Anak ini adalah sebuah teka-teki."
Profesor Wijoyo bersandar di kursinya, jemarinya bertaut di depan wajah. "Sebuah teka-teki yang sangat menarik," katanya. "Universitas ini dibangun untuk mencari bibit-bibit unggul, para calon pemimpin bangsa. Dan kepemimpinan bukan hanya soal nilai akademis, tapi juga soal karakter, strategi, dan seringkali, misteri. Anak ini, Arjuna Wicaksono, memiliki semua elemen itu."
Ia menegakkan tubuhnya, tatapannya menyapu seluruh dewan. "Kita bisa saja memilih peringkat kedua atau ketiga yang profilnya lebih 'aman' dan jelas. Tapi itu berarti kita lari dari kesempatan untuk menemukan sesuatu yang benar-benar spesial. Universitas ini tidak boleh takut pada anomali. Justru kita harus merangkulnya."
Keputusannya sudah final.
"Ibu Ratna," perintah sang Rektor. "Tepat pukul sepuluh nol-nol, publikasikan hasilnya sesuai prosedur. Kirimkan surat elektronik resmi pada semua peserta yang lolos. Dan untuk peringkat pertama..."
Ia berhenti sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Saya ingin Anda mengatur pertemuan personal dengannya sesegera mungkin. Saya sendiri yang akan menyambut berlian dari desa ini."
Di luar jendela, kehidupan kampus berjalan seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa di dalam ruangan itu, nasib seorang pemuda yang kini tengah bermandi keringat dan debu semen, baru saja ditetapkan. Mereka semua sepakat untuk memberikan beasiswa penuh pada Arjuna, namun di benak setiap orang di ruangan itu, pertanyaan yang sama masih menggantung: Siapakah sebenarnya Arjuna Wicaksono?
biar nulisny makin lancar...💪