NovelToon NovelToon
Cincin Peninggalan Kakek

Cincin Peninggalan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Kebangkitan pecundang / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:26.2k
Nilai: 5
Nama Author: RivaniRian21

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 Pertanda dimulainya perjuangan baru untuk bertahan hidup

Pagi menyingsing dengan cara yang berbeda bagi Arjuna. Biasanya, fajar adalah pertanda dimulainya perjuangan baru untuk bertahan hidup. Namun pagi ini, fajar adalah hitung mundur. Pukul sepuluh pagi nanti, sebuah pengumuman di dunia maya akan menentukan apakah gerbang menuju mimpinya akan terbuka atau tertutup rapat. Rasa cemas yang dingin dan tajam menusuk perutnya, sebuah perasaan yang jauh lebih nyata daripada rasa lapar.

Ia terbangun bahkan sebelum ayam jantan di pekarangan tetangga kos sempat berkokok. Ia tidak bisa tidur lagi. Bayangan tentang logo Universitas Nusantara Global, tatapan tajam Aulia, dan barisan soal ujian yang ia lalui dengan begitu ajaib terus berputar di kepalanya. Harapan adalah sesuatu yang berbahaya. Semakin besar harapan itu, semakin sakit jika ia jatuh.

Setelah shalat Subuh, ia melakukan rutinitas paginya. Beberapa gerakan peregangan, push-up, dan sit-up di lantai kamarnya yang dingin. Ia bisa merasakan otot-ototnya merespons dengan sigap, tanpa ada sisa pegal dari kerja berat kemarin. Tubuhnya terasa prima, penuh energi yang meluap-luap. Justru pikirannya yang terasa lelah karena terus-menerus cemas.

Menunggu. Ia benci menunggu. Menunggu dalam diam di kamar sempit ini hingga pukul sepuluh terasa seperti sebuah siksaan. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, sesuatu untuk menyalurkan energi dan kegelisahannya. Sesuatu yang nyata dan produktif.

Proyek.

Ide itu muncul begitu saja. Bekerja. Mengubah kecemasan menjadi keringat, mengubah penantian menjadi rupiah. Itu jauh lebih baik daripada duduk melamun. Jika ia diterima, uang hasil hari ini akan menjadi bekal awalnya. Jika ia ditolak, uang itu akan menjadi penyambung hidupnya untuk mencari rencana lain. Tidak ada ruginya.

Keputusan itu terasa mantap. Ia segera bersiap-siap, mengenakan pakaian kerjanya yang paling layak—kaus yang sama dengan kemarin, tapi sudah ia cuci semalam dan keringkan di belakang kos.

Saat ia melangkah keluar kamar, ia melihat Budi dan Toni sudah duduk di teras, tampaknya baru selesai lari pagi. Wajah mereka terlihat segar, namun tatapan mereka pada Arjuna kini mengandung sesuatu yang berbeda: rasa hormat dan penasaran yang besar.

"Pagi, Jun," sapa Toni, lebih dulu. "Gimana? Tidur nyenyak? Nggak mimpiin pengumuman nanti, kan?"

"Pagi, Mas Toni, Mas Budi," balas Arjuna sambil tersenyum tipis. "Tidur sih nyenyak, cuma bangunnya kepikiran."

"Wajar, wajar," kata Budi sambil menyeruput kopinya. "Gue aja yang nggak ikut tes ikut deg-degan buat lo. Gila, UNG gitu lho. Lo bener-bener nekat sekaligus jenius, Jun."

"Belum tentu diterima juga, Mas," kata Arjuna merendah.

"Eh, tapi serius," Budi menatap Arjuna dengan heran. "Lo pagi-pagi udah rapi begini mau kemana? Ini kan hari H. Nggak mau nunggu di kamar aja sambil berdoa?"

"Mau ke proyek lagi, Mas," jawab Arjuna tenang.

Kedua temannya itu melongo, sama persis seperti semalam.

"APA?! Lo gila?!" seru Budi tak percaya. "Hari penentuan nasib lo malah mau jadi kuli bangunan? Otak lo ketinggalan di mana, Jun?"

Arjuna tertawa kecil melihat reaksi temannya. "Menunggu saja nggak akan bikin perut kenyang, Mas. Daripada cemas nggak jelas di kamar, lebih baik saya kerja. Lumayan, bisa buat bayar kos kalau nanti nggak diterima."

Jawaban sederhana itu membungkam Budi dan Toni. Mereka saling berpandangan, takjub dengan pola pikir teman mereka yang satu ini. Di saat orang lain mungkin akan berdiam di depan laptop atau pergi ke tempat ibadah, Arjuna justru memilih untuk membanting tulang.

"Salut," hanya itu kata yang keluar dari mulut Toni, penuh kekaguman. "Hati-hati di jalan, Jun. Nanti jam sepuluh, kita semua yang di sini ikut doain lo."

"Terima kasih, Mas," kata Arjuna tulus. Dukungan itu terasa hangat di hatinya.

Ia pun berangkat, meninggalkan teman-temannya yang masih menggelengkan kepala tak percaya. Perjalanan menuju lokasi proyek terasa berbeda. Ia tidak lagi memperhatikan jalanan, pikirannya fokus pada dua hal: pekerjaan di depan mata dan jarum jam yang terus bergerak tanpa ampun menuju angka sepuluh.

Setibanya di lokasi proyek, suasana sudah ramai. Para pekerja sudah memulai aktivitas mereka. Saat Arjuna masuk, beberapa kuli yang kemarin menatapnya dengan aneh kini justru tersenyum dan menyapanya.

"Woi, Anak Kuat! Datang lagi kau!" seru salah seorang dari mereka dari atas tumpukan bata.

"Siap mecahin rekor lagi hari ini, Jun?" timpal yang lain sambil tertawa.

Arjuna hanya tersenyum dan mengangguk, merasa sedikit canggung namun juga senang dengan penerimaan mereka. Reputasinya sebagai pekerja super rupanya sudah menyebar. Ia berjalan menghampiri Pak Tarno yang sedang memeriksa denah bangunan.

Sang mandor melihat kedatangannya dan langsung tersenyum lebar. Senyum yang tulus, bukan lagi senyum meremehkan seperti pertemuan pertama mereka.

"Nah, ini dia bintang kita! Saya tahu kamu pasti datang!" kata Pak Tarno dengan suara riang. "Saya suka semangat kerjamu, Nak. Pagi-pagi sudah di sini."

"Selamat pagi, Pak," sapa Arjuna sopan.

"Dengar baik-baik," kata Pak Tarno sambil menunjuk ke arah gerbang proyek. "Semalam datang lagi lima truk semen. Itu jatahmu semua kalau kamu sanggup. Jangan bikin saya kecewa."

Lima truk. Itu berarti potensi penghasilan yang lebih besar dari kemarin. Semangat Arjuna langsung terpompa.

"Oh ya," Pak Tarno menambahkan, nadanya sedikit lebih personal. "Nanti jam sepuluh kan pengumumannya? Sambil kerja sambil berdoa, ya. Semoga rezekimu bukan cuma dari semen ini saja."

"Amin. Terima kasih banyak doanya, Pak," jawab Arjuna, terharu oleh perhatian sang mandor.

Tanpa membuang waktu lagi, Arjuna langsung menuju truk pertama. Ia melenturkan otot-ototnya. Pukul delapan pagi. Ia punya waktu dua jam. Dua jam untuk bekerja sekeras yang ia bisa, untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan dikalahkan oleh keadaan, apa pun hasil pengumuman nanti.

Ia mulai mengangkat karung semen pertamanya hari itu. Pikirannya fokus, tubuhnya bergerak dengan ritme yang sudah ia kuasai. Setiap karung yang ia pindahkan adalah doa. Setiap tetes keringat adalah harapan. Jarum jam terus berputar, dan di bawah terik matahari pagi, Arjuna berlomba dengan waktu dan takdirnya sendiri.

Di ruang rapat dewan rektorat Universitas Nusantara Global yang dingin dan kedap suara, suasana terasa khidmat namun juga penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Profesor Wijoyo, sang Rektor yang kharismatik dan telah memimpin UNG selama satu dekade, duduk di ujung meja mahoni yang panjang. Di sekelilingnya, para dekan dari berbagai fakultas, termasuk Profesor Budiarto, serta kepala bagian penerimaan mahasiswa baru, Ibu Ratna, menatap layar besar di depan mereka.

Waktu di jam digital dinding menunjukkan pukul 09.45 pagi. Lima belas menit menuju pengumuman yang akan menentukan nasib ratusan calon mahasiswa.

"Jadi, kita semua sudah sepakat," ujar Profesor Wijoyo, suaranya yang tenang dan berwibawa memecah keheningan. "Terlepas dari semua keanehan dan diskusi panjang kita, hasil tes ini kita nyatakan sah."

Ia menghela napas panjang, matanya tertuju pada satu nama yang terpampang paling atas di daftar peringkat hasil seleksi. Peringkat 1: Arjuna Wicaksono.

Profesor Budiarto mengangguk. "Benar, Pak Rektor. Setelah analisis forensik digital dan pengecekan silang, tidak ditemukan adanya indikasi kecurangan, peretasan sistem, atau joki. Hasil ini murni."

"Tapi itu yang justru tidak masuk akal," sahut Dekan Fakultas Ekonomi, seorang wanita paruh baya yang terkenal sangat teliti. "Bagaimana mungkin? Saya sudah melihat kembali portofolio anak ini. Izinkan saya menampilkannya lagi."

Ibu Ratna dengan sigap menampilkan data diri Arjuna di layar utama. Foto lusuh dari ijazah SMA menampilkan wajah seorang pemuda kurus dengan tatapan polos. Di bawahnya, tertera data yang begitu kontras dengan pencapaiannya.

"Lulusan SMA Negeri dari sebuah kecamatan kecil di Temanggung," Ibu Ratna membacakan data itu seolah masih tidak percaya. "Tidak ada riwayat keikutsertaan olimpiade sains. Tidak ada sertifikat TOEFL atau IELTS. Tidak ada kegiatan organisasi menonjol. Referensi hanya dari kepala sekolahnya. Dan status terakhir... yatim piatu, tinggal bersama neneknya yang baru saja meninggal dunia."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Para dekan, yang terbiasa melihat portofolio calon mahasiswa dari sekolah-sekolah elit dengan segudang prestasi internasional, hanya bisa menggelengkan kepala. Data ini terlalu biasa, terlalu sederhana untuk hasil yang begitu fenomenal.

"Ini seperti menemukan sebongkah berlian mentah di tengah tumpukan jerami," gumam Profesor Wijoyo lebih pada dirinya sendiri. "Dan yang membuat saya tidak habis pikir adalah teori dari Profesor Budiarto."

Ia menatap Dekan Fakultas Teknik itu. "Anda masih yakin dengan teori Anda bahwa dua kesalahannya itu disengaja?"

"Saya semakin yakin, Pak Rektor," jawab Profesor Budiarto dengan mantap. "Kesalahan pada soal yang paling mudah justru menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kecerdasan yang luar biasa. Dia tidak hanya menguasai materi, dia juga memahami psikologi kita sebagai penilai. Dia ingin terlihat tidak sempurna, agar tidak dicurigai. Anak ini adalah sebuah teka-teki."

Profesor Wijoyo bersandar di kursinya, jemarinya bertaut di depan wajah. "Sebuah teka-teki yang sangat menarik," katanya. "Universitas ini dibangun untuk mencari bibit-bibit unggul, para calon pemimpin bangsa. Dan kepemimpinan bukan hanya soal nilai akademis, tapi juga soal karakter, strategi, dan seringkali, misteri. Anak ini, Arjuna Wicaksono, memiliki semua elemen itu."

Ia menegakkan tubuhnya, tatapannya menyapu seluruh dewan. "Kita bisa saja memilih peringkat kedua atau ketiga yang profilnya lebih 'aman' dan jelas. Tapi itu berarti kita lari dari kesempatan untuk menemukan sesuatu yang benar-benar spesial. Universitas ini tidak boleh takut pada anomali. Justru kita harus merangkulnya."

Keputusannya sudah final.

"Ibu Ratna," perintah sang Rektor. "Tepat pukul sepuluh nol-nol, publikasikan hasilnya sesuai prosedur. Kirimkan surat elektronik resmi pada semua peserta yang lolos. Dan untuk peringkat pertama..."

Ia berhenti sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Saya ingin Anda mengatur pertemuan personal dengannya sesegera mungkin. Saya sendiri yang akan menyambut berlian dari desa ini."

Di luar jendela, kehidupan kampus berjalan seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa di dalam ruangan itu, nasib seorang pemuda yang kini tengah bermandi keringat dan debu semen, baru saja ditetapkan. Mereka semua sepakat untuk memberikan beasiswa penuh pada Arjuna, namun di benak setiap orang di ruangan itu, pertanyaan yang sama masih menggantung: Siapakah sebenarnya Arjuna Wicaksono?

1
agus purnomo
kopi plus vote suhu
biar nulisny makin lancar...💪
Was pray
kalau merasa terbebani dengan cincin warisan kakeknya ya dilepas saja Juna, daripada kamu mengeluh terus, kayaknya gak ikhlas menerima takdirmu juna
Aman Wijaya
jooooz jooooz gandos lanjut terus
Aman Wijaya
lanjut terus Thor
Aman Wijaya
top markotop ceritanya Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll lanjut terus
4U2C
𝘆𝗮 𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘂𝘀𝘂𝗹𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗿𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵𝗺𝘂..
4U2C
𝗷𝗮𝘂𝗵𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴-𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗵 𝗻𝘆𝗮,,𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘀𝘂𝗹𝗶𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗺𝘂 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮,,𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗻𝘀𝘂𝗵𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮..𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂..𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗶𝘂𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗮𝘆𝗮..
4U2C
𝗽𝗮𝗰𝗮𝗿 𝗺𝗶𝗮 𝗥𝗜𝗔𝗡 𝗱𝗶𝗮𝗺𝗯𝗶𝗹 𝗦𝗜𝗡𝗧𝗔 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗜𝗢𝗡,,𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗗𝗜𝗢𝗡 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔 𝘆𝗮,,𝗱𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗶𝗯𝘂 𝗟𝗜𝗔𝗡𝗔 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔,,𝗺𝗲𝗹𝗮𝗺𝘂𝗻,𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗼𝗻𝗴𝗼..𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮..𝗺𝗮𝘂 𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮 𝗮𝗷𝗮 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀,,𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗶 𝗴𝗮𝗱𝗶𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮,,𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗠𝗜𝗔 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗔𝗨𝗟𝗜𝗔,,𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮..
agus purnomo
kopi lagi suhu
Aman Wijaya
lanjut terus Thor semangat semangat ditunggu lagi updatenya 💪💪💪 sehat selalu untukmu Thor sehingga bisa berkarya terus
Aman Wijaya
Arjuna rasa disidak seperti seorang terpidana lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll Thor 💪💪💪
Aman Wijaya
babat semuanya Juna jangan beri ampun bikin mereka semua tidak bisa bangun
Aman Wijaya
top top markotop lanjut terus Thor semangat semangat semangat
Aman Wijaya
lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz jooooz pooolll Thor lanjut terus
Rita Natalia
Dion siapa ya ?
Achmad
ayo Thor lanjut semangat jangan kendor
Achmad
semangat Thor lanjut semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!