NovelToon NovelToon
Diceraikan Suami, Dipinang Sahabat Kakakku

Diceraikan Suami, Dipinang Sahabat Kakakku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengganti / Cerai / Wanita Karir / Angst / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Anjana

Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 7 Merasa tidak berguna

Pagi harinya, Adinda sudah terbangun dari tidurnya. Dengan bantuan Mbak Tia, ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, Adinda kembali duduk di kursi rodanya. Tatapannya kosong menatap lantai, wajahnya muram, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat di hatinya.

"Aku tidak boleh terus-terusan seperti ini..." gumamnya lirih.

"Setidaknya aku harus berusaha berdiri. Aku sudah cukup merepotkan banyak orang... Aku tidak mau terus jadi beban. Aku harus mencoba..."

Dengan tekad yang memaksa, Adinda meletakkan kedua tangannya di sandaran kursi roda dan berusaha berdiri.

Otot kakinya menegang, wajahnya meringis menahan sakit. Namun dia tak peduli.

BRUG!

Tubuhnya terhempas ke lantai.

"Nona!" teriak Mbak Tia panik dari arah kamar mandi.

Suara teriakan itu membuat Vikto, yang baru saja menuruni anak tangga, sontak terkejut. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju kamar tamu. Begitu melihat pintu terkunci, ia langsung mendobraknya dengan keras.

“Dinda! Kamu kenapa?!”

Adinda berusaha tersenyum, meski air matanya menetes. “T-tidak apa-apa, Kak...” jawabnya terbata.

Dengan cepat, Vikto berlutut dan mengangkat tubuh Adinda ke pelukannya, membawanya ke atas tempat tidur. Sementara itu, Mbak Tia buru-buru membenarkan posisi kursi roda yang terguling.

“Kamu gak apa-apa, Dinda? Kenapa kamu bisa jatuh? Kan ada Mbak Tia,” tanya Vikto, nadanya penuh cemas.

Adinda hanya terdiam. Ia menunduk dalam, menggenggam ujung bajunya erat-erat.

Vikto melirik ke arah Mbak Tia.

“Saya tidak tahu, Tuan,” jawab Mbak Tia cepat. “Saya tadi ke kamar mandi sebentar untuk menyiapkan air hangat.”

Vikto kembali menatap Adinda, nadanya melembut.

“Dinda... kamu kenapa? Jangan bilang kamu berusaha berdiri sendiri?”

Adinda menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan.

“Dinda, kondisi kamu belum kuat. Jangan paksakan tubuh kamu kalau belum mampu,” ujar Vikto dengan nada tegas tapi lembut.

“Tapi Kak...”

Suara Adinda mulai bergetar. “Aku gak mau terus merepotkan Kak Vikto... Aku ingin bisa berdiri, bisa jalan... dan—”

“Dan apa?” potong Vikto, matanya menatap tajam.

“Dan bisa pergi dari rumah ini... Aku sadar, kehadiranku di sini cuma menimbulkan masalah untuk Kak Vikto. Aku dengar... semalam Kakak bertengkar dengan kedua orang tuanya Kakak. Aku gak mau jadi penyebabnya.”

Vikto menarik napas panjang, menunduk sesaat sebelum menatap Adinda dalam-dalam.

“Dinda, dengarkan Kakak baik-baik.”

Suaranya kini berat dan tulus.

“Sampai kapan pun, kamu adalah tanggung jawab Kakak. Apa pun alasannya. Selama Kakak masih hidup, Kakak gak akan biarkan kamu disakiti atau ditindas siapa pun.”

Air mata Adinda menetes tanpa bisa ia tahan. Ia memalingkan wajah, menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tak terdengar.

Sementara Vikto hanya duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan—antara marah, sedih, dan takut kehilangan.

Vikto menatap Adinda yang masih tampak murung di atas tempat tidur. Ia berusaha menenangkan dengan senyum lembut di wajahnya.

“Sekarang kamu mandi dulu, ya,” katanya pelan. “Nanti Kakak ajak kamu jalan-jalan sebentar ke taman di seberang lampu merah. Biar kamu gak jenuh di rumah terus. Setelah ini Kakak mau beresin beberapa berkas dulu di ruang kerja.”

Adinda mengangguk pelan. “Iya, Kak.”

Suara itu terdengar lembut, tapi di baliknya masih ada sisa ketakutan yang belum hilang.

Vikto menoleh pada Mbak Tia. “Mbak Tia, nanti kalau Adinda sudah selesai mandi, tolong panggil saya di ruang kerja, ya. Biar saya yang bantu siapin dia keluar.”

“Iya, Tuan,” jawab Mbak Tia sopan.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Vikto pun melangkah keluar dari kamar tamu. Pintu menutup perlahan di belakangnya.

Sesaat, keheningan kembali memenuhi ruangan. Adinda memandangi kursi roda di sudut kamar dengan tatapan kosong. Dalam benaknya masih terbayang momen ketika tubuhnya terhempas ke lantai tadi pagi.

Tangannya perlahan menyentuh lututnya yang masih terasa nyeri.

"Kenapa aku harus selemah ini...?" gumamnya lirih.

Sekilas matanya berkaca, tapi ia buru-buru menghapus air matanya sebelum Mbak Tia sempat melihat.

Ia berusaha tersenyum kecil, menutupi kecemasan yang mulai tumbuh lagi di hatinya — takut merepotkan, takut menyusahkan, dan takut kehilangan satu-satunya orang yang kini benar-benar peduli padanya.

___________

Pagi itu, udara terasa sejuk. Embun masih menempel di ujung dedaunan, dan sinar matahari yang lembut menyelinap di antara ranting pohon.

Vikto perlahan mendorong kursi roda Adinda menyusuri jalan setapak taman di seberang lampu merah. Sesekali burung berkicau dari pepohonan, menambah keheningan yang menenangkan.

Namun, sejak mereka tiba, Adinda hanya diam. Tatapannya kosong menatap bunga-bunga yang bergoyang diterpa angin pagi.

Vikto menoleh dan tersenyum kecil. “Kamu kenapa, Dinda? Biasanya kalau lihat taman begini kamu langsung semangat.”

Adinda tersenyum samar, tapi tidak segera menjawab.

“Aku cuma... lagi mikir aja, Kak.”

“Mikir apa?” tanya Vikto lembut.

Adinda menarik napas panjang. “Mikir... tentang diriku sendiri. Tentang semua yang udah terjadi.”

Ia menunduk, menatap tangannya yang saling menggenggam di pangkuan.

“Aku kadang ngerasa... aku ini gak pantas duduk di sini, menikmati semua ini. Aku cuma numpang hidup. Aku gagal sebagai istri, gagal jadi perempuan yang kuat.”

Langkah Vikto terhenti. Ia memutar kursi roda Adinda agar berhadapan langsung dengannya.

Tatapan matanya lembut, tapi sarat emosi.

“Jangan bilang begitu, Dinda,” katanya pelan namun tegas. “Kamu gak gagal. Kamu cuma terluka. Dan luka itu bukan salah kamu.”

Adinda menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk mata.

“Tapi, Kak... aku cuma nyusahin semua orang. Aku bahkan bikin Kak Vikto ribut sama kedua orang tua Kakak. Kadang aku berharap, andai aja aku gak pernah datang ke rumah ini...”

“Cukup, Dinda,” potong Vikto lirih, suaranya bergetar tapi tegas.

Ia berlutut di depan kursi roda Adinda, menatap mata wanita itu dalam-dalam.

“Kamu gak tahu seberapa berarti kehadiran kamu di hidup Kakak. Sejak kamu datang, Kakak baru sadar kalau hidup itu gak cuma tentang pekerjaan dan tanggung jawab. Tapi juga tentang... menjaga seseorang yang tulus seperti kamu.”

Adinda menatapnya, air matanya jatuh satu per satu.

“Kenapa Kak Vikto... selalu sebaik ini sama aku?” suaranya hampir tak terdengar.

Vikto tersenyum tipis, lalu menatapnya penuh ketulusan.

“Mungkin karena... Kakak tahu rasanya kehilangan sesuatu yang berharga. Dan Kakak gak mau kehilangan kamu juga, Dinda.”

Adinda terdiam, dadanya terasa sesak oleh emosi yang tak bisa dijelaskan. Pagi itu, di bawah sinar matahari yang lembut, keduanya hanya saling menatap, dua hati yang sama-sama luka, tapi mulai saling menyembuhkan tanpa perlu banyak kata. Satu terluka karena terlambat mengungkapkan perasaan, karena Adinda yang sudah mempunyai pilihan sendiri.

1
Qaisaa Nazarudin
Noh yang lain,Denger gak tuh pesen Oma ke Dinda..Buka telinga kalian lebar2...
Qaisaa Nazarudin
Alhamdulillah,ku pikir Oma manggil Dinda nyuruh dia ninggalin Vikto..
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..
Qaisaa Nazarudin
Selalu ALASAN ini yg digunakan untuk memaksa anak2 MENIKAH, Dengan cara begini anak2 gak bisa MENOLAK..🤦🤦
Qaisaa Nazarudin
Baru juga Vikto dan Dinda menemukan BAHAGIA, udah ada aja hambatan nya..kasian banget Dinda..
Qaisaa Nazarudin
Ialah dia PERGI dia udah diceraikan,ngapain lagi dirumah ini..Riko juga udah gila Talak kayaknya,Sebelum Cerai kenapa gak diselidiki dulu kebenaran nya,main Percaya gitu aja omongan mereka, Sekarang kamu yg kayak orang SEWEL,Kalo ketemu juga Dinda udah MILIK orang lain,Rasain kamu..😠😠😠
Uba Muhammad Al-varo
Riko oh Riko..... penyesalan terdalammu udah terlambat dan kau Vikto jagalah selalu Adinda.
Uba Muhammad Al-varo
semoga aja Adinda baik' saja dan kabar yang terjadi pada tuan Abdi tidak mempengaruhi pernikahannya Adinda dan Vikto
Uba Muhammad Al-varo
Vikto udah cinta dan sayang ke Adinda ternyata udah lama 😉😊
Uba Muhammad Al-varo
nggak salah kok kalian berdua tidur berpelukan,Vikto dan Adinda kan udah resmi menikah 🙂🙂🙂
Uba Muhammad Al-varo
semoga ini awal kebahagiaannya Adinda dan Vikto
Anjana: Semoga ya kak, kasihan menderita terus😭
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
jadi kalau seumpamanya Riko menemukan Adinda, Riko tidak bisa membawa pulang Adinda karena Adinda sudah menikah dengan Vikto.
Uba Muhammad Al-varo
akhirnya Vikto dan adinda menikah 🙏
Uba Muhammad Al-varo
karena sering bertemu antara Adinda dan Vikto akhirnya benih cinta tumbuh diantara kedua nya
Uba Muhammad Al-varo
akhirnya Adinda sembuh kembali dan mendapatkan kerja, buktikan ke keluarga nya Riko,kamu bisa sukses dan berhasil menjalani hidup
Uba Muhammad Al-varo
semoga cintanya Vikto diterima oleh Adinda dan mereka segera menikah
Uba Muhammad Al-varo
akhirnya Adinda bertemu dengan Vikto semoga ini juga awal kehidupan nya Adinda lebih baik lagi
Uba Muhammad Al-varo
Adinda....😭🤧😭🤧😭🤧 semoga kamu mendapatkan kebahagiaan ditempat baru
Uba Muhammad Al-varo
semangat sembuh Adinda,kamu pasti bisa melewati ujian sakit ini💪💪💪💪💪
Uba Muhammad Al-varo
benar Oma Hela kalau cinta sejati memang harus diuji dengan badai yang besar demi bisa bertahan
Uba Muhammad Al-varo
benar omongan mu mbak Tia,Vikto itu ada rasa sama Adinda
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!