“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Belas
Davina mengangkat wajahnya perlahan saat Papa Robby menatapnya penuh tanya. Ia mencoba tersenyum meski jelas ada kegelisahan yang terselip di sorot matanya.
“Papa tanya, sebenarnya ada apa di antara kalian berdua?” ulang Robby lebih lembut.
Davina buru-buru menggeleng. “Nggak ada apa-apa, Pa. Sungguh. Aku sama Bang Kevin nggak bertengkar kok.” Ia menggigit bibir sesaat. “Mungkin … Bang Kevin lagi capek aja akhir-akhir ini.”
Robby dan Ema saling pandang. Keduanya belum sepenuhnya percaya, tapi mereka juga tahu Davina bukan tipe yang mudah cerita soal perasaan.
“Kalau memang karena capek,” ucap Robby sambil menepuk meja kecil di depannya, “makanya Papa suruh kamu bantu Kakakmu mulai besok. Biar bebannya nggak terlalu banyak.”
Davina hanya mengangguk pelan. Walau sebenarnya ada keberatan. Kalau dulu mungkin dia akan dengan senang hati menerimanya.
Mama Ema menambahkan, “Kamu bantu di bagian yang kamu bisa, ya. Lagipula, Kevin itu keras kepala. Dia butuh orang dekatnya buat bantu nurunin tensi emosinya.”
Davina tersenyum tipis, meski senyum itu terasa dipaksakan. “Iya, Ma.”
Setelah itu, Robby dan Ema saling menatap sebelum akhirnya Robby berkata, “Oh iya, Davi … Papa sama Mama nanti siang harus berangkat ke luar kota. Ada urusan bisnis dan keluarga. Mungkin tiga hari baru pulang.”
“Selama kami nggak ada,” sambung Ema, “Jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan. Kalau ada apa-apa, telepon.”
Davina mengangguk. “Iya, Ma. Iya, Pa.”
Setengah jam kemudian, koper sudah masuk ke mobil, dan Ema sempat mencium kening Davina sebelum mereka pergi. Mobil mereka keluar dari gerbang rumah, meninggalkan Davina sendirian di halaman depan yang sunyi.
Begitu pintu gerbang menutup otomatis, Davina menarik napas panjang. Ada sesuatu dalam sorot matanya, campuran gugup, takut, sekaligus tekad. Ia berbalik masuk ke rumah, melangkah cepat ke kamarnya.
Dia bersiap. Rambutnya ia ikat rapi, pakaian ia pilih yang sederhana tapi sopan. Ia mengambil tas kecil, lalu bercermin sebentar.
“Sekarang atau nggak sama sekali …,” gumamnya.
Hari itu terasa berbeda. Kevin biasanya selalu ada, selalu mengikuti, mengawasi, bahkan menjemput tanpa diminta. Tapi pagi ini, Kevin pergi tanpa menoleh, dan itu membuat pengawasan itu hilang.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Davina merasa bisa bernapas lega. Bisa bergerak sendiri. Bisa pergi tanpa langkahnya diawasi.
Ia mengambil kunci mobil kecilnya, lalu berjalan cepat ke garasi. Namun yang Davina tidak tahu, bahwa sejak tiga hari lalu, Kevin sudah menyewa seseorang untuk mengikuti setiap langkahnya.
Mobil Davina melaju pelan keluar dari perumahan, sementara sebuah mobil hitam mengikuti beberapa jarak di belakangnya. Di dalam mobil itu, seorang pria bertubuh kurus namun cekatan mengamati gerakan Davina dengan serius.
“Arah barat daya,” gumamnya, sambil menghidupkan perekam untuk melaporkan nanti.
Davina mengemudi menuju sebuah klinik bedah plastik di kawasan kota yang cukup sepi. Begitu mobilnya berhenti, dia menarik napas panjang sebelum masuk.
Di dalam klinik, ia duduk di ruang tunggu, kedua tangannya saling meremas.
“Dokter bedah plastik, ya?” tanya perawat ramah yang menghampirinya.
Davina mengangguk gugup.
“Mau konsultasi apa?”
“Pemulihan selaput dara,” jawab Davina lirih.
Perawat mencatat tanpa menghakimi, lalu mengantar Davina masuk ke ruang dokter.
Sementara itu, di luar, mata sipit pria pengawas itu terbelalak saat melihat nama klinik yang terpampang jelas.
Sesuatu yang tidak beres. Ia langsung menyalakan perekam suaranya dan berkata singkat, "Bos, Nona Davina masuk ke klinik bedah plastik. Dari penyelidikan, sepertinya dia konsultasi operasi pemulihan selaput dara.”
Laporan itu dikirim otomatis.Tak sampai satu menit, ponselnya bergetar. Nama yang muncul, Kevin. Pria itu menelan ludah sebelum mengangkat.
“Bang, saya pastikan infonya benar. Dia ada di dalam sekarang.”
Tak ada suara balasan, hanya deru napas Kevin yang terdengar berat dan tajam.
“Kirim lokasi,” balas Kevin singkat.
Pria itu langsung mengirim koordinat. Beberapa detik kemudian…
Mobil Kevin melaju keluar dari basement kantornya seperti panah yang dilepaskan. Rahangnya mengeras, tangannya mencengkeram setir begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Selaput dara? Jadi kamu benar-benar ingin menikahi Shaka. Kamu takut dia tau kalau sudah pernah berhubungan!"
Sementara itu, konsultasi Davina berjalan cepat. Dokter menjelaskan prosedur, risiko, biaya, dan proses penyembuhan.
“Operasinya singkat, sekitar tiga puluh menit,” jelas dokter. “Tapi harus dipikirkan matang-matang karena ini menyangkut kesehatan.”
Davina mengangguk. “Saya akan mempertimbangkan dulu, Dok.”
Ia keluar dari ruangan dengan napas lega. Meski gugup karena setidaknya ia sudah tahu prosedurnya.
Begitu pintu klinik terbuka, tangannya langsung ditarik kuat dari samping.
Davina terpekik kaget. “A-aw! Bang ....”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah didorong masuk ke dalam mobil hitam yang baru berhenti. Pintu ditutup keras.
“Bang Kevin?!”
Wajah Kevin gelap. Sangat gelap.
“Duduk.”
Davina menelan ludah, ketakutan melihat sorot mata Kevin yang berbeda dari biasanya.
Dia bukan hanya marah. Dia terluka. Dia merasa dikhianati.
Kevin menginjak gas. Mobil melaju cepat melewati jalan raya, meninggalkan kota.
“Bang … mau ke mana?” suara Davina bergetar.
Kevin tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, pandangannya seperti tak bisa ditembus. Urat di lehernya menegang.
Davina menggenggam sabuk pengaman kuat-kuat, mencoba bertahan di tengah kecepatan mobil yang meningkat drastis.
Hampir sepuluh menit mereka tidak berbicara, sampai akhirnya Davina sadar arah yang mereka tuju bukan kembali ke rumah, melainkan ke jalan menuju pantai.
Angin laut tercium ketika mobil mulai memasuki kawasan yang jauh dari pusat kota. Sepi. Hanya suara deburan ombak dari kejauhan.
Mobil berhenti mendadak di area parkir dekat tebing pantai. Kevin turun, membanting pintu, lalu berjalan ke sisi lain dan membuka pintu Davina.
“Turun.”
Tangan Kevin mencengkeram lengan Davina, tidak menyakitkan, tapi cukup kuat untuk menunjukkan bahwa ia tidak sedang ingin didebat.
Mereka berjalan ke bibir pantai yang sepi. Angin keras menerpa wajah mereka. Davina berdiri memegang lengannya sendiri, dengan gemetar.Kevin berbalik. Sorot matanya menusuk.
“Sekarang jawab.”
Davina menegakkan punggungnya perlahan, meski napasnya tersengal.
“Untuk apa kamu pergi ke dokter bedah plastik?”
Suara Kevin terdengar rendah, tapi penuh ledakan yang ditahan. Angin laut berembus kencang, daun-daun kelapa bergesekan, tapi tidak ada yang lebih keras dari ketegangan di antara mereka.
Davina menelan ludah. Tak tahu harus menjawab apa, apakah jujur atau berbohong saja.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak