NovelToon NovelToon
The Secret Marriage

The Secret Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Persahabatan / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Marfuah Putri

Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.

Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.

Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.

Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?

Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.

Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.

Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?

Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?

Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Tak Terduga

Angin berembus pelan, menerbangkan gorden berwarna pink soft yang senada dengan nuansa kamar. Sayup-sayup kudengar suara alarm yang memekakkan telinga. Kulempar bantal hello kitty ke arah alarm itu agar terdiam.

Pagiku yang cerah, selamat tidur lagi!

Bangun siang juga merupakan hobiku selain rebahan sambil nonton drakor. Suara alarm takkan bisa membuatku terbangun dari tempat tidur.

Hanya satu yang bisa membuatku terbangun.

Brak!

"DELINA!! Bangun!"

Aku segera menegakkan tubuh saat suara itu begitu nyaring memenuhi kamar berukuran 5 x 4 meter ini. Kulirik pintu kamar yang lagi-lagi hampir patah karena ulah abangku tersayang.

"Apa sih lo, Bang. Noh, liat pintu kamar gue, jebol lagi gara-gara lo," tunjukku pada pintu bercat pink dengan hiasan bunga-bunga bertuliskan namaku.

Ah, aku amat kasian pada ayah yang lagi-lagi harus membetulkan pintu kamar ini. Bukan lagi sekali atau dua kali tapi hampir setiap hari.

"Makanya, lo itu bangun jangan kesiangan. Lo, tau gak, berapa kali gue kena hukum gara-gara ulah lo ini yang bikin gue terlambat masuk kelas?" omelnya mirip emak-emak yang lagi ngomelin anaknya.

Aku menutup telinga mendengar ocehannya. Masa bodo. Lagian yang dihukum kan dia bukan aku.

"Cepetan mandi, gue tunggu di bawah," perintahnya yang kubalas dengan memutar bola mata malas.

Dia Satya Pradipta, abangku satu-satunya yang sangat menyebalkan. Di usianya yang kini menginjak 22 tahun, ia tengah menempuh semester akhir di kampusnya. Asal kalian tahu, abangku yang lumayan tampan itu belum pernah pacaran. Ia masih perjaka polos. Wkwk.

Entah mengapa ia tak mau menjalin sebuah hubungan dengan seorang perempuan. Aku tidak tahu dengan jelas, tapi aku hanya takut kalau ternyata dia belok. Mengingat laki-laki berkulit sawo matang itu selalu mengambil jurusan teknik sejak SMK sampai kuliah yang kebanyakan di dalamnya cowok semua.

Ah, abangku yang malang.

Selesai dengan rutinitas pagiku, aku yang telah lengkap memakai seragam kebanggan SMAku segera menyambar tas dan keluar dari kamar. Seraya menuruni tangga, aku mulai melakukan siaran langsung di instagram. Menyapa para followersku yang sudah mencapai ratusan ribu. Tentu saja memakai sedikit jasa jual followers!

Di lantai bawah Bang Satya sudah nyap-nyap sejak tadi. Aku jadi semakin khawatir dengannya, takut kalau dia sebenarnya sedang kesurupan setan. Abisnya, tiap hari ngomel mulu. Udah mirip anak perawan. Jadi penasaran dia sebenarnya lelaki tulen apa bukan.

"Lo bisa lebih lama lagi nggak, Del?" tanyanya dengan tatapan super sinis yang tak kuhiraukan.

Aku mematikan siaran langsung yang tengah kurekam. "Bisa. Kalau lo mau, gue bisa tidur lagi," sahutku yang membuatnya semakin kesal. 

Jika digambar dalam komik, mungkin saat ini di sekelilingku dan Bang Satya ada kobaran api yang saling bertabrakan ingin membakar satu sama lain.

"Eh, kalian ini. Bisa nggak sehari aja gak usah berantem?"

Suara lembut Bunda meredakan hawa panas di sekitarku dan Bang Satya.

Bunda mengulurkan kotak bekal berwarna pink yang kuterima dengan senang hati. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa masakan Bunda. Chef Arnold sekali pun!

"Anak Bunda noh, cari masalah terus," adu Bang Satya.

Aku membulatkan mata, bisa-bisanya dia memutar balikkan fakta. "Sa ae lo, Bambang. Yang ada lo tuh yang nyari gara-gara sama gue," sahutku tak mau kalah.

Bunda menghela napas melihat tingkah kami yang mirip anak kecil. "Sudah-sudah. Cepat berangkat, keburu kalian telat."

Aku mencium punggung tangan Bunda untuk berpamitan, begitu juga dengan Bang Satya.

"Assalamualaikum, Bunda," pamitku dan Bang Satya hampir bersamaan.

"Walaikumsalam," sahut Bunda.

...🍉🍉...

Sesampainya di sekolah, pintu gerbang telah tertutup rapat. Bukan hal baru lagi bagiku jika telat, paling-paling aku kena omel lagi sama guru piket atau paling parah disuruh nyapu halaman. Sepele sih, tapi capek banget. Mengingat halaman sekolah yang luasnya kayak Stadion Bung Karno.

"Pak, bukain dong," rayuku yang biasanya selalu mempan pada satpam sekolah ini.

"Aduh, Neng. Bukannya bapak teh gak mau bukain, tapi bapak takut kena marah lagi sama kepala sekolah." Pak Eja, satpam SMA Athena itu menolak membukakan pintu gerbang.

"Yaelah, cemen," ejekku. "Please, Pak. Sekali ini aja, besok-besok saya janji deh gak bakal telat lagi," bujukku lagi. Kali ini dengan tatapan semelas mungkin.

"Yaelah, Neng. Atuh kemaren juga ngomong gitu, tapi hari ini teh masih telat."

Sialan ni satpam, masih inget aja kata-kataku kemarin.

"Kali ini beneran deh, Pak. Saya janji," ucapku mengangkat jari membentuk huruf v.

Lelaki berkulit kecoklatan itu mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya setuju untuk membukakan gerbang.

"Enya enya (Yaudah iya), ini yang terakhir ya, Neng," putusnya.

"Yes," kataku bersorak senang.

Pak Eja segera membuka pintu gerbang sebelum ketahuan oleh guru piket yang bertugas. Gegas aku masuk dan berlari menuju kelas.

Langkahku terhenti ketika sampai di depan kelas dengan napas yang terengah-engah. Beruntung pagi ini Bu Lidia belum masuk dan pelajaran belum dimulai.

Kelas tampak ramai layaknya pasar malam, tetapi saat aku masuk mendadak hening. Membuatku selalu menjadi pusat perhatian mereka.

"Del, mau gue bawain gak tasnya?"

"Adelina mah, banjir keringat juga tetep cakep banget."

"Atuh Adel, éta unggal dintenna janten langkung geulis." (Aduh Adel, makin hari makin cantik aja).

"Del, follback instagram gue dong. Gue jual pelangsing badan alami, nih."

Yah, itulah sederet celetukan-celetukan dari cowok-cowok kelasku ketika aku masuk. Aku tersennyum sambil mengerlingkan sebelah mataku pada mereka. Tentu saja hal itu membuat mereka makin bersorak ramai. Aku tertawa kecil dan terus berjalan menuju meja di barisan nomor tiga pinggir. Di sana dua sahabatku tengah bercengkrama.

"Wah, Ratu kita telat lagi," cetus Rain-salah satu sahabatku.

"Masih berhasil maneh (kamu) ngerayu Pak Eja?" timpal Senja.

Aku hanya mengangkat alis sambil tersenyum menjawabnya kemudian memilih duduk di samping Rain.

"Eh, nih." Rain melemparkan sebuah kotak berbentuk hati ke atas mejaku.

"Apaan, nih?" tanyaku heran.

"Biasalah, hadiah dari fans maneh," sahut Senja.

Aku menarik pita yang mengunci kotak berwarna merah muda itu lalu membukanya. Sebuah coklat dan sebuah boneka beruang kecil tergeletak di sana. Tak lupa dengan secarik kertas puisi dari sang pengirim.

"Siapa sih yang ngasih?" tanyaku penasaran setelah membaca isinya.

Di antara hadiah dari para fansku, ini adalah yang paling menonjol. Karena bukan hanya sekali, tapi sudah beberapa kali aku mendapat hadiah yang sama dengan secarik puisi yang berbeda. Di dalamnya tidak pernah ada nama pengirim seperti hadiah-hadiah yang lain.

"teu ngarti (gak tau), Lamun teu salah teh ini udah tilu (tiga) kalinya kan dia ngirim kayak gini?" tanya Senja yang kuangguki.

"Udahlah, Del. Bodo amat sama yang ngirim, yang penting coklatnya buat gue, sini." Sepersekian detik coklat itu sudah berada di tangan Rain.

"Yee, soal makan aja lo gercep." Aku menoyor kepalanya membuat Rain mengaduh sakit.

"Selamat pagi, Anak-anak!"

Aku segera menyimpan kotak itu ke laci meja saat Bu Lidia datang, sedangkan Senja segera kembali ke tempat duduknya. Kelas yang tadinya ricuh mendadadak hening.

"Pagi, Buk," jawab kami serempak.

"Oke, saya minta maaf karena datang terlambat. Sebagai permintaan maaf, hari ini kita ulangan."

Kelas kembali ricuh setelah mendengar ultimatum mengejutkan dari Bu Lidia. Suara-suara kesal dan jengkel menggema menolak ultimatum itu.

"Yah, Buk. Gak bisa gitu dong, yang salah kan Ibuk, kenapa kita yang sial," cetus Dion, salah satu anggota Banaspati-- Satu dari dua geng besar yang ada di Athena.

"Iya, Buk. Ibuk jangan kayak dia dong, udah tau salah masih aja nyusahin," timpal Kana--cewek yang terkenal paling bucin seantero Athena.

"Diam kalian semua atau saya kasih nilai merah buat kalian, mau?" sahut Bu Lidia datar tapi mampu membuat bulu kuduk meremang.

Wajah-wajah terpaksa nampak dari para siswa saat mengerjakan ujian dadakan ini. Tapi hal itu tidak berlaku untukku. Untungnya Tuhan mengaruniaiku dengan otak yang encer sejak lahir. Sehingga aku bisa dengan mudah menjawab sepuluh soal ini tanpa kesulitan.

Eits, tapi itu semua karena semalam aku telah belajar. Bukan semata-mata karena otak encer saja. Pintar kalau tak belajar juga percuma.

Betul, betul, betul.

...🍉🍉...

"Del, mau bareng gue nggak?" tawar Rain yang baru saja dijemput oleh supirnya.

"Kagak lah, lo duluan aja. Bentar lagi abang gue dateng," tolakku yang diangguki olehnya.

"Gue duluan ya, Del," pamitnya yang gue balas dengan acungan jempol.

Rain masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku sendiri di depan gerbang. Sekolah nampak sepi, sesekali aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah pukul 16.15, artinya sudah hampir tiga puluh menit aku mengunggu makhluk jangkung satu itu.

Tak lama, sebuah motor cb berhenti tepat di depanku.

"Lama amat lo, Bang. Ke mana aja?" tanyaku seraya menerima helm yang diberikannya.

"Sorry, tadi masih ada bimbingan. Eh, kayaknya proposal gue ada yang ketinggalan deh di kampus, kita balik dulu bentar yah."

"Yaelah lo mah, belum tua juga udah pikun," gerutuku kesal.

"Bodok," sahutnya lalu memutar balik motor dan melaju ke arah kampusnya yang lumayan jauh dari sekolahku.

Sekitar setengah jam aku sampai di kampus Bang Satya, salah satu kampus favorit di Bandung apalagi kalau bukan Institut Teknologi Bandung.

"Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana," pesannya sebelum meninggalkanku sendiri di parkiran.

Cukup lama aku menunggu Bang Satya, tapi sang empunya nama belum juga menampakan batang hidungnya. Mana hapeku mati lagi gara-gara abis baterai. Akhirnya, kuputuskan untuk berkeling sekitar kampus.

Mataku dibuat tak berkedip saat sesosok pria melewatiku begitu saja. Tubuhnya tinggi tegap dengan wajah babysoft, tetapi aura yang dipancarkannya terasa dingin nan tajam.

"Oppa!" teriakku nyaring saat aku telah tersadar dari alam lain.

Aku mengejar pria yang sudah lumayan jauh di depanku. Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya dari belakang. Mimpi apa lo semalam, Del. Bisa-bisanya hari ini ketemu calon suami--Cha Eun-Woo.

Pria itu berontak, ia memutar tubuhnya lantas melepas paksa tanganku dari tubuh tegapnya. Sepasang manik coklat gelapnya menatap tajam membuatku berkali-kali menelan saliva. Ternyata, nampak dari dekat dia lebih tampan!

Tanpa sadar tanganku terulur menyentuh wajahnya, menelusurinya mulai dari mata, hidung dan ... ketika tanganku hampir menyentuh bibirnya yang sepertinya ia bukan seorang perokok-- terlihat dari warna bibirnya yang merah alami-- ia mengempas tanganku dengan lumayan keras.

"Aaaw ..." ringisku.

"Siapa kamu?" Suaranya terdengar begitu indah di telinga membuatku kembali terdiam dengan bibir terbuka membentuk huruf o.

"Cewek aneh," lirihnya yang masih bisa kudengar.

"Oppa, aku calon istrimu. Masa Oppa nggak kenal?" ucapku tanpa rasa malu.

"Saya bukan suami nenekmu, jadi jangan panggil saya opa," sahutnya.

"Tapi, kamu calon suamiku. Ayah dari anak-anakku!"

"Cewek sinting." Pria itu berbalik lantas kembali berjalan aku pun segera mengejarnya. Malah kini, aku dengan semangat meraih baju belakangnya dengan cukup kuat. Terlalu kuat sampai-sampai baju itu sobek.

"Opp-"

Sreek!

Demi Dewa! Aku tidak sengaja menyobek kemeja bagian belakangnya. Lagian sih, kenapa dia pakai kemeja yang udah rapuh. Sobek kan jadinya!

Dia berhenti. Kedua tanganya terkepal di samping tubuhnya, aku mulai menggigiti kuku jariku. Hal yang selalu kulakukan ketika merasa gugup, takut, bahkan panik.

Dia berbalik menghadapku. Aku menundukkan kepala tak kuasa melihat wajahnya, takut. Ah, apa setiap laki-laki tampan akan tetap seram saat marah seperti ini?

"Lihat saya," ujarnya pelan tapi terkesan galak, tegas, dan marah.

Aku masih tetap menunduk, kurasakan hawa dingin begitu menyelimuti. Rasanya seperti berada di dalam kulkas dengan suhu yang paling rendah. Membeku.

"Saya bilang lihat saya!" Suaranya mulai sedikit meninggi.

Reflek aku mengangkat kepala membuat manik kami bertemu. "Maaf," cicitku pelan.

Pria itu memajukkan wajah mendekat ke arahku. Hembusan napasnya terasa menerpa kulit wajahku, menciptakan sensasi aneh yang belum pernah kurasakan. Aroma mint begitu segar masuk ke dalam indra penciuman. Ia semakin mendekat hingga matanya hanya berjarak beberapa senti dari manik mataku menciptakan desiran aneh di dada.

Aku menatap takjub ke dalam mata coklatnya yang nampak tajam namun tetap jernih. Sepasang bola mata terindah yang pernah aku lihat.

"Pergi dari hadapan saya dan jangan pernah mengganggu saya lagi, paham?!" tegasnya.

"Delina!" Teriakan seseorang membuat pria itu menarik wajahnya.

Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Tampak seorang laki-laki yang mirip dengan abangku tengah berlari ke sini. Ah, itu memang Bang Sat!

"Lo ngapain di sini? Bukannya gue suruh lo nunggu di parkiran?" tanyanya setelah sampai di sampingku.

Aku masih terpaku dan tak menanggapi pertanyaan Bang Satya. 

"Ini adik kamu?" Pria itu bertanya pada Bang Satya.

"Eh, ada Pak Al. Hehe, iya Pak, ini adek saya yang paling bandel," jawab Bang Satya sambil tersenyum canggung.

"Oh, bagus-bagus. Saya cuma mau pesan, adiknya dijaga baik-baik. Jangan sampai nyobekin baju orang lagi," tukasnya kemudian berbalik dan pergi dengan kemejanya yang robek bagian belakang.

Bang Satya menatap bingung ke arahku. "Maksudnya apaan, Del?" tanyanya.

"Bu-bukan apa-apa, Bang. Udah deh, ayo pulang nanti bunda nyariin," ajakku segera menarik Bang Satya yang masih kebingungan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!