Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
"Apanya yang tidak bisa berdiri?" tanya Raka, menatap Vanya dengan penuh kecurigaan dan tawa yang ditahan. Dia membawa setumpuk dokumen baru yang harus segera ditandatangani dan meletakkannya di atas meja kerja Ethan.
Vanya berdiri, lalu membuang tisu basah sisa kopi ke tempat sampah. Dia tersenyum kaku menatap Raka. "Bukan apa-apa, Pak Raka. Hanya aku bicara sendiri soal drama yang aku tonton tadi pagi."
"Oh, ya?" Raka menatap Vanya, lalu ke arah kamar mandi. "Di mana Pak Ethan?"
"Di kamar mandi. Ganti celana."
Mendengar hal itu, Raka langsung mendekati Vanya. "Ganti celana? Memang kenapa?"
"Ketumpahan kopi. Katanya kopinya pahit, padahal kan memang less sugar," jawab Vanya sambil tertawa kecil.
Seketika Raka tertawa terbahak-bahak. "Kamu berani sekali. Pak Ethan itu sensitif sekali sama rasa pahit. Kamu yang numpahin kopi di celana Pak Ethan?"
"Iya, sedikit sengaja sih," kata Vanya sambil mengambil cangkir kotor itu dan membawanya kembali ke pantry. "Seumur hidup baru kali ini aku buatkan kopi buat orang."
Raka menggelengkan kepala, terkesima dengan keberanian Vanya. Dia mulai merasa aneh dengan Vanya. "Penampilan Vanya sangat sederhana, tapi bicaranya seperti orang yang punya segalanya. Kulit wajahnya sangat terawat, tidak cocok dengan kemeja lusuh itu. Apa Vanya sengaja menyamar menjadi gadis miskin seperti di drama-drama?" gumam Raka dalam hati.
Dia memutuskan untuk menunggu Ethan keluar dari kamar mandi untuk membahas rapat penting yang akan diadakan. Namun, Ethan tak kunjung keluar. Rasa penasarannya memuncak. Raka mendekati pintu kamar mandi dan menempelkan telinganya. "Apa yang Ethan lakukan di kamar mandi? Apa ada sesuatu yang harus dituntaskan? Aku seperti mendengar suara-suara tak kasat mata. Lenguhan napas?"
Namun, tiba-tiba pintu kamar mandi itu terbuka dengan cepat, membuat Raka terlonjak kaget dan hampir saja terjatuh ke lantai.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Ethan yang kini telah mengganti kemeja dan juga celananya.
Raka melihat rambut basah Ethan dan aroma sabun mandi mahal yang menguar. Dia menjadi semakin curiga. "Ngapain Bos mandi siang-siang?"
Ethan tak langsung menjawab. Dia merapikan rambutnya di depan kaca kamar mandi. "Vanya tidak bisa membuat kopi. Jadi aku sangat mengantuk. Ajari dia buat kopi yang benar. Atau kamu saja yang menyiapkan untukku setiap hari."
"Aku? Oh, tidak. Aku akan ajari dia nanti. Bos butuh kopi tidak sekarang?"
"Tidak perlu."
Ethan kini duduk di kursinya, mengambil tumpukan dokumen yang dibawa Raka, dan mulai memeriksanya satu per satu dengan tatapan intens. Sesekali, dia melirik Vanya yang sudah duduk di mejanya, terlihat sibuk merapikan tumpukan, sesekali membungkuk menulis sesuatu di meja.
Raka yang menyadari tatapan Ethan pada Vanya hanya tersenyum kecil. "Kenapa, Bos? Dia menggemaskan?"
Seketika Ethan menatap Raka, sorot matanya tajam. "Sangat menyebalkan. Rasanya aku ingin sekali memecatnya. Tetap carikan sekretaris cadangan, atau kamu ambil saja dari divisi humas. Kalau sewaktu-waktu aku pecat, sudah ada penggantinya."
"Sayang sekali, tidak ada spek sekretaris yang berani seperti Vanya. Dia pintar, hanya saja tidak bisa buat kopi."
"Pintar buatku emosi," koreksi Ethan sarkastis. Dia menandatangani dokumennya, lalu memakai jasnya. Dia berdiri dan bersiap keluar dari ruangannya. "Kita bertemu Pak Bima dulu, lalu makan siang."
"Bos jadi bekerjasama dengan Pak Bima?" tanya Raka sambil mengikutinya.
"Iya, Pak Bima akan meluncurkan robot pembersih debu pintar, makanya bekerjasama dengan kita untuk integrasi chip."
"Aku dengar dari Nyonya Clara, katanya Bos mau dijodohkan dengan putrinya?"
"Aku tidak mau dijodohkan," jawab Ethan cepat.
"Ya, kenalan dulu siapa tahu cocok. Kalau dua perusahaan elektronik terbesar di negeri ini bersatu, yakinlah saham kita akan meningkat pesat."
"Aku tidak ingin menikah karena bisnis. Aku juga masih belum memikirkan pernikahan."
Vanya, yang mendengar percakapan itu dari mejanya, mencibir tanpa suara. "Lagian siapa juga yang mau menikah sama kamu, Pak Tiran. Baguslah kalau menolak. Semoga saja cepat bilang Papa agar aku tidak perlu lama-lama bekerja di sini," gumam Vanya dalam hati.
Namun, Ethan justru menoleh saat melewatinya. Tatapannya kembali jatuh pada tumpukan dokumen yang masih berantakan.
"Vanya," panggilnya. "Rapikan dokumen di dalam ruanganku. Kamu pilah yang rapi, sesuai kategorinya."
"Iya, Pak," jawab Vanya setengah malas.
Begitu Ethan dan Raka menghilang di balik pintu lift, Vanya tersenyum penuh kemenangan.
Dia mengambil post-it kecil warna-warni, lalu mengambil spidol.
"Laporan keuangan, laporan produksi, laporan stok, tagihan dan pesanan pelanggan. Rencana produk." Dia mulai menggambar ilustrasi-ilustrasi lucu yang sama sekali tidak di setiap post-it.
Vanya membawa semua post-it itu dan melangkah masuk ke ruangan Ethan. Dengan semangat, dia mulai mengeksekusi rencananya. Dia menempelkan label-label anti-estetika itu di setiap kategori dokumen, membuat ruangan monokrom Ethan terlihat lebih. Dia bahkan mengambil whiteboard dan meletakkannya di dinding dekat Ethan duduk. Dia menulis jadwal rapat harian Ethan dan juga kegiatan Ethan, lengkap dengan emoji.
"Jadwal rapat dan kegiatan Pak Ethan aku tulis saja di papan ini biar dia membacanya sendiri setiap hari." Vanya tertawa tertawa melihat hasil karyanya. Dia sudah membayangkan ekspresi marah Ethan setelah melihat hasil karyanya.
"Hobiku sekarang jadi bertambah yaitu membuat Ethan marah."
***
Restoran fine dining di jantung kota itu selalu menjadi lokasi favorit untuk negosiasi bisnis penting. Ethan dan Raka duduk di ruang VIP. Di hadapan mereka duduk Pak Bima dan asistennya.
Awalnya, pembicaraan mengalir mulus, berputar pada masalah teknis. Mereka membahas detail kerjasama integrasi chip pintar Sigma Corp ke dalam lini produk robot pembersih debu terbaru milik Pak Bima.
Ethan, kembali ke mode CEO, berbicara dengan tenang, logis, dan penuh otoritas.
"Jadi, kita bisa menjamin latensi chip tidak akan melebihi lima milidetik, Pak Bima. Integrasi chip dengan operating system kami akan membuat produk Anda paling responsif di pasar," jelas Ethan, menunjuk diagram di layar tablet.
"Sangat mengesankan, Ethan. Di usia semuda ini, kamu sudah menguasai pasar," puji Pak Bima, senyumnya hangat namun terselubung makna lain.
Setelah beberapa saat memastikan semua poin kerjasama sudah disepakati, Pak Bima menghela napas panjang. Dia mencondongkan tubuh ke depan, mengubah suasana dari bisnis menjadi personal.
"Ethan, apa Bu Clara sudah memberitahu kamu tentang perjodohan dengan putri saya?" tanya Pak Bima, langsung ke intinya tanpa basa-basi.
Raka yang tadinya sibuk mencatat detail teknis, langsung memandang Ethan dengan ekspresi siap menikmati drama.
"Iya, semalam sempat bicara," jawab Ethan, nada suaranya berubah menjadi sangat formal dan kaku. "Tapi maaf sekali, saya belum berniat menikah dalam waktu dekat ini."
"Tidak apa-apa. Tidak perlu terburu-buru," Pak Bima tertawa kecil, seolah penolakan Ethan adalah lelucon yang lucu. "Anak saya juga masih kekanak-kanakan, masih suka drama Korea dan hura-hura. Tapi kalian bisa pendekatan dulu. Kan namanya juga perjodohan."
"Pendekatan?" Ethan mengernyitkan dahinya. "Pak Bima, saya sangat sibuk. Saya tidak punya waktu luang untuk pendekatan."
"Tidak apa-apa. Bisa pendekatan sambil bekerja," balas Pak Bima dengan senyum misterius. Dia kemudian memberikan laptopnya pada asisten di sebelahnya. "Kamu serahkan sisa data chip ini pada Raka. Kita sudah selesai."
Ethan hanya terdiam, enggan membahas masalah perjodohan itu lebih lanjut.
Pak Bima berdiri. "Ngomong-ngomong, nantinya proyek integrasi chip ini akan dipegang langsung sama putra saya, Vian. Besok dia akan ke perusahaan kamu untuk melihat programnya secara langsung dan berkoordinasi."
"Baik, Pak. Kami akan sambut Vian. Semoga kerjasama kita membuahkan hasil."
"Iya, tentu saja," Pak Bima menjabat tangan Ethan dengan erat. "Semoga kita benar-benar bisa menjadi keluarga." Pak Bima menepuk bahu Ethan dua kali, lalu berjalan keluar bersama asistennya.
Setelah Pak Bima hilang dari pandangan, Raka langsung mengambil alih koper Ethan.
"Bos," bisik Raka, tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Mengapa Pak Bima seperti yakin kalau Bos akan benar-benar menjadi menantunya? Padahal Bos sudah menolak."
"Entahlah. Aku juga bingung tentang pendekatan sambil bekerja itu," kata Ethan.
Raka tersenyum miring. "Mungkin yang menangani proyek itu bukan putranya, tapi putrinya?"
"Yang jelas, aku tidak akan mau dijodohkan," tegas Ethan, kembali ke aura arogannya. "Bisnis harus dipisahkan dari urusan pribadi yang konyol."
Raka hanya tertawa. "Bukan karena itunya tidak berguna kan?"
Ethan langsung menatap Raka dengan tajam. "Husst, meskipun kamu sahabatku tapi kamu tidak boleh membahas itu."
Raka semakin tertawa, dia yakin, hidup Ethan yang dingin dan teratur, sebentar lagi akan berhadapan dengan kekacauan tak terduga.