Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – Di Antara Rahasia dan Rasa Bersalah
Hujan baru saja berhenti sore itu.
Udara di luar masih lembap, aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh melati dari dapur.
Aluna berdiri di depan jendela ruang tamu, menatap genangan air di halaman. Dari pantulan kaca, ia melihat Raka sedang duduk di sofa—membuka laptop, tapi pandangannya kosong.
Sudah seminggu mereka nyaris tak bicara lebih dari dua kalimat.
Seminggu sejak malam itu, sejak kata-kata yang tak seharusnya diucapkan menelusup di antara mereka.
“Masih hujan di luar?” suara Raka pelan, nyaris seperti gumaman.
Aluna menoleh sedikit. “Udah berhenti.”
Raka mengangguk, tapi tak menatapnya. “Bagus. Aku kira bakal banjir di depan.”
Sunyi. Hanya suara tetesan air dari atap.
Aluna ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Ia tahu, di balik percakapan sepele itu, ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar cuaca.
Raka menutup laptopnya pelan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin.
“Luna…” panggilnya akhirnya, suaranya serak. “Kamu masih marah sama aku?”
“Enggak,” jawab Aluna cepat, terlalu cepat. “Aku cuma… butuh waktu.”
“Waktu buat apa?”
“Buat ngerasa semuanya normal lagi.”
Raka menghela napas, bersandar di sofa. “Kalau gitu, kita pura-pura aja, kayak dulu.”
Aluna tertawa pendek, getir. “Kamu pikir semudah itu?”
“Enggak,” katanya jujur. “Tapi itu satu-satunya cara biar rumah ini tetap terasa aman.”
Aluna menatapnya. “Aman buat siapa, Rak? Buat kamu, aku, atau Kak Naira?”
Raka menunduk. Tak ada jawaban.
Langit di luar mulai gelap. Petir terdengar jauh di kejauhan, dan aroma hujan kembali masuk lewat jendela yang setengah terbuka.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Raka akhirnya bicara lagi. “Setiap kali mau jelasin, aku malah takut—takut kamu makin jauh.”
“Justru kamu harusnya takut aku terlalu dekat,” jawab Aluna pelan.
Raka menatapnya, kali ini langsung. “Aku udah takut dari awal, Luna. Tapi rasa takut itu nggak ngubah apa-apa.”
Mata mereka bertemu beberapa detik—cukup lama untuk membuat udara terasa berat.
“Udahlah,” kata Aluna akhirnya. “Kita nggak perlu ngomongin ini lagi.”
“Tapi kamu tahu kita nggak bisa pura-pura terus.”
“Aku tahu,” ucapnya cepat. “Tapi aku juga tahu, nggak semua hal harus diselesaikan dengan kata ‘jujur’. Kadang diam itu juga bentuk bertahan.”
Raka menatapnya dalam diam, seperti ingin membantah tapi tak sanggup.
Dan di saat itulah—suara kunci terdengar dari arah pintu depan.
“Kayaknya Kak Naira pulang,” ujar Aluna pelan, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Raka segera berdiri, mencoba bersikap biasa. “Kamu santai aja. Kita nggak ngapa-ngapain.”
Aluna menelan ludah. “Iya. Tapi kadang ‘nggak ngapa-ngapain’ pun bisa keliatan aneh.”
Pintu terbuka. Suara tumit sepatu terdengar di lantai kayu.
“Nggak nyangka hujan deras gini,” ucap Naira sambil menutup payungnya. “Kalian belum makan?”
“Belum,” jawab Raka tenang. “Aku baru aja nyeduh kopi.”
Naira menatap ke arah Aluna. “Luna, kamu udah pulang kerja?”
“Baru aja, Kak.”
“Bagus. Aku bawa makanan dari luar, sekalian makan bareng ya.”
Suasana makan malam itu terasa seperti adegan dari film yang terlalu tenang.
Sendok beradu dengan piring, tapi tak ada yang benar-benar bicara.
Hanya Naira yang sesekali bercerita tentang kantornya, sementara Aluna dan Raka sibuk berpura-pura mendengarkan.
“Rasanya aku makin sering lembur,” keluh Naira sambil tersenyum lelah. “Kadang aku takut Raka bosen di rumah.”
“Enggak lah,” jawab Raka cepat. “Aku malah senang kamu semangat kerja.”
“Luna pasti juga capek ya?” tanya Naira, menatapnya. “Aku dengar dari tetangga, kamu sering pulang malam.”
Aluna hampir tersedak. “Oh… iya, kebetulan lagi banyak tugas di kantor.”
“Kerja keras banget kamu,” Naira terkekeh. “Aku jadi mikir, jangan-jangan kalian berdua malah lebih sering ketemu di rumah daripada aku.”
Raka tersenyum kecil, tapi sorot matanya gugup.
Aluna berusaha menertawakan, tapi suaranya kering.
“Kayaknya iya, Kak. Tapi cuma ketemu doang, kok.”
“Ya harusnya sih kalian akur,” lanjut Naira santai, tak sadar dua orang di depannya nyaris tak bisa bernapas. “Dulu kalian susah banget disuruh ngobrol.”
Raka menatap piringnya. “Waktu banyak hal belum beres.”
“Sekarang udah beres?”
Diam. Udara seolah berhenti bergerak.
Aluna bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Akhirnya Raka tersenyum. “Udah. Sekarang malah lebih tenang.”
“Syukurlah,” kata Naira dengan nada tulus. “Aku pengin rumah ini tetap hangat. Kalian berdua bagian dari itu.”
Kata-kata itu terasa seperti pisau tumpul yang menekan perlahan.
Bukan karena tajam—tapi karena penuh kasih.
Makan malam berakhir.
Naira naik ke kamar, meninggalkan mereka berdua di dapur yang kini sunyi.
Raka bersandar di meja, tangannya menggenggam gelas kosong. “Tadi hampir aja…”
“Aku tahu,” potong Aluna. “Dan aku nggak mau ada ‘hampir’ lagi, Rak.”
Dia menatapnya lama. “Kamu beneran mau berhenti ngomong sama aku kayak gini?”
“Aku nggak punya pilihan.”
“Selalu ada pilihan.”
“Buat kamu mungkin. Buat aku—nggak.”
Suara hujan kembali turun di luar, seperti mengulang percakapan mereka seminggu lalu.
“Luna…” Raka melangkah satu langkah mendekat. “Aku cuma pengen ngerti, kenapa kamu terus berusaha nolak perasaan ini, padahal kamu juga ngerasain.”
Aluna tersenyum pahit. “Karena aku masih punya rasa hormat, Rak. Ke diriku sendiri, ke Kak Naira, ke kamu juga.”
“Rasa hormat itu nggak ngilangin apa yang udah ada di sini,” katanya sambil menepuk dadanya pelan. “Aku udah coba, Luna. Tapi tiap kali aku liat kamu, rasanya semua usaha itu sia-sia.”
“Aku nggak mau denger itu lagi,” suaranya gemetar. “Setiap kali kamu ngomong kayak gitu, aku makin susah buat nggak peduli.”
Raka menatapnya, matanya lembut tapi lelah. “Terus kita harus gimana?”
“Kita nggak usah gimana-gimana,” jawab Aluna cepat. “Kita cuma perlu… berhenti berharap.”
Sunyi.
Hanya suara hujan dan detak jam dinding.
Naira memanggil dari atas tangga, “Raka, tolong matiin lampu dapur, ya. Aku mau tidur.”
Raka menjawab pelan, “Iya, bentar.”
Aluna menatap lantai, lalu berbisik, “Lihat? Dunia bahkan nggak ngasih kita waktu buat mikir.”
Raka mendekat sedikit, suaranya pelan tapi tegas. “Kalau suatu hari Naira tahu semuanya… kamu bakal benci aku?”
“Aku bakal benci diri sendiri lebih dulu,” jawab Aluna lirih. “Karena aku tahu, aku yang biarin semuanya sejauh ini.”
Tatapan mereka bertemu sekali lagi, dan dalam diam itu, ada sejuta kata yang tak sempat diucapkan.
“Selamat malam, Luna,” kata Raka akhirnya, pelan, seolah menutup sesuatu yang tak bisa benar-benar ditutup.
“Selamat malam, Rak.”
Dan ketika lampu dapur padam, hanya suara hujan yang tersisa—mencuci udara, tapi tidak rasa bersalah di antara dua hati yang sama-sama terikat oleh cinta yang salah waktu.
Hujan sudah berhenti sejak dini hari, tapi udara pagi masih menyisakan lembap yang dingin. Aluna berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajahnya sendiri. Ada lingkar gelap di bawah matanya, sisa dari malam tanpa tidur.
Suara langkah pelan terdengar dari lantai bawah. Ia tahu itu Raka — langkahnya selalu bisa dikenali. Teratur, tenang, tapi entah kenapa, sejak beberapa minggu terakhir, setiap suara itu membuat dadanya berdebar.
Dia turun perlahan. Di dapur, Raka sedang menyiapkan kopi.
“Pagi,” sapa Aluna pelan.
Raka menoleh. “Pagi. Kamu udah sarapan?”
“Belum. Nggak sempet.”
“Duduk dulu. Aku buatkan roti,” katanya, seperti kebiasaan lama yang tak pernah diminta.
Aluna ingin menolak, tapi suaranya tercekat. Ia hanya mengangguk dan duduk di kursi. Aroma kopi memenuhi ruangan, dan dalam diam itu, segalanya terasa terlalu familiar — terlalu akrab untuk dua orang yang berusaha pura-pura tidak saling peduli.
Raka duduk di seberang. Ia menatap Aluna sebentar, lalu menunduk, berusaha menyembunyikan sesuatu yang nyaris terlihat dari matanya.
“Kamu kelihatan capek,” ucapnya akhirnya.
“Aku cuma... lagi banyak pikiran.”
Tentang kamu, batinnya menambahkan, tapi tak terucap.
Raka mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh sesuatu—”
“Jangan, Raka.” Aluna memotong, suaranya agak serak. “Jangan terus-terusan kayak gini.”
Raka terdiam, menatap meja. “Kayak gimana?”
“Berbuat seolah semua baik-baik aja.”
Ia menghela napas. “Kamu pikir aku bisa tenang? Tiap kali lihat kamu, aku juga ngerasa salah.”
Suasana menegang. Tak ada suara lain selain detak jam dan hirupan napas mereka yang berat.
Sebelum salah satu sempat bicara lagi, suara langkah lain terdengar dari arah tangga.
Naira.
Raka cepat-cepat berdiri. Aluna ikut bangkit, mencoba menenangkan wajahnya.
“Pagi,” sapa Naira dengan nada datar, matanya menatap keduanya bergantian. “Kalian udah sarapan bareng?”
Raka cepat menjawab, “Kebetulan aku lagi buat kopi, Luna baru turun.”
“Hmm,” gumam Naira. Ia melangkah ke kulkas, mengambil air dingin, tapi pandangannya tak lepas dari mereka berdua.
Aluna bisa merasakan tatapan itu — seperti pisau tajam yang menelusuri setiap geraknya. Ia menelan ludah. “Aku... harus siap-siap berangkat,” katanya cepat.
“Kerja?” tanya Naira datar.
“Iya.”
Begitu Aluna berlalu, Naira menatap suaminya. “Kamu sering di dapur pagi-pagi sekarang.”
Raka tersenyum tipis. “Sekalian nyeduh kopi.”
“Untuk kamu... atau untuk dia?”
Pertanyaan itu membuat Raka menegang sejenak. “Untuk siapa pun yang kebetulan lagi di sini,” jawabnya hati-hati.
Naira hanya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis — tapi senyum itu lebih menyeramkan daripada marah.
Siang hari, Aluna duduk di kantor tapi pikirannya tak fokus. Pesan dari Naira pagi tadi terngiang di kepala:
“Luna, nanti malam jangan pulang terlalu malam ya. Aku pengen ngobrol.”
Kalimat itu sederhana, tapi nadanya membuat perut Aluna mual.
Dia tahu, sesuatu sedang berubah.
Saat pulang sore itu, hujan turun lagi. Udara rumah terasa lebih berat dari biasanya. Naira sudah di ruang tamu, duduk dengan posisi tenang tapi tegang.
“Luna,” panggilnya. “Duduk sebentar.”
Aluna menuruti. Tangannya menggenggam erat tas di pangkuan.
“Aku pengen nanya sesuatu,” ujar Naira pelan. “Akhir-akhir ini kamu sering di rumah, ya?”
“Hmm... iya, karena kerjaan udah agak santai.”
“Dan sering bareng Raka juga?”
Pertanyaan itu seperti kilat yang menghantam dada.
Aluna berusaha menahan ekspresi. “Kebetulan aja. Rumahnya sama, kan.”
Naira tersenyum kecil. “Aku tahu kamu orang baik, Luna. Tapi kamu juga tahu, kadang hal baik bisa kelihatan salah di mata orang lain.”
Aluna menunduk. “Maksud kakak?”
Naira menatap lurus ke arahnya. “Maksudku... jaga jarak, ya. Aku nggak mau ada omongan aneh dari tetangga.”
Ada jeda panjang. Lalu Naira menambahkan pelan, “Dan aku tahu Raka orangnya lembut. Kadang kelembutannya bisa disalahartikan.”
Ucapan itu seperti tamparan halus. Aluna mengangguk cepat. “Aku ngerti.”
Raka muncul tak lama setelah Naira pergi ke kamar. Melihat wajah Aluna yang pucat, ia langsung bertanya, “Dia ngomong sesuatu?”
Aluna menatapnya dengan mata berkaca. “Dia curiga, Raka. Aku nggak bisa kayak gini terus.”
Raka menghela napas panjang, lalu duduk di depan Aluna. “Kita nggak ngelakuin apa-apa yang salah.”
“Tapi rasanya udah salah.”
“Luna—”
“Cukup.” Suaranya gemetar. “Kita harus berhenti sebelum semuanya hancur.”
Raka menatapnya dalam diam, matanya penuh sesuatu yang tak bisa diungkapkan. “Aku udah coba berhenti. Tapi tiap kali aku lihat kamu, semua alasan buat menjauh hilang.”
Aluna berdiri, air matanya jatuh. “Kalau kamu benar-benar peduli, bantu aku jaga jarak. Jangan buat aku makin salah.”
Sunyi.
Raka hanya menatapnya, menahan kata yang ingin keluar. Tapi akhirnya, ia berbisik, “Aku janji.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, keduanya benar-benar tidak bicara satu sama lain.
Tapi justru di keheningan itulah, rasa mereka tumbuh paling nyaring.
Keesokan harinya, Naira memandang suaminya dengan mata yang tak lagi lembut.
Raka tahu — sejak pagi itu, rumah mereka takkan pernah sama lagi.