Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7 -- kemenangan?
Naya memainkan gelas berisi wine di tangannya, mengamati kilau merah cairan itu berputar di bawah lampu gantung kristal. Suara tawa dan musik lembut memenuhi ruangan, tapi pikirannya tak ada di sana. Matanya justru terus mengikuti sosok Aruna dan Andrian yang tengah berbincang santai dengan para tamu penting.
Senyum tipis terangkat di bibir Naya—senyum yang nyaris tak terlihat, tapi sarat makna. Ia tampak begitu tenang dari luar, padahal di balik ketenangan itu, ada gelombang niat licik yang menunggu momen tepat. Di antara kerumunan, seorang pelayan yang telah ia bayar diam-diam memberi isyarat halus: rencana sudah siap dijalankan.
Di sisi lain ruangan, Aruna menatap jam dinding besar berbingkai emas yang menggantung di atas panggung. Jarum panjang hampir menyentuh angka delapan.
Waktunya hampir tiba.
Gelas wine di tangannya berputar perlahan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tampak lembut namun menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
(Jadi ini waktunya, Naya? Baiklah... mari kita lihat siapa yang akan jatuh malam ini.)
Ketika salah satu tamu penting memanggil, Aruna melangkah dengan anggun berjalan menuju tamu tersebut.
“Biar saya ambilkan minuman untuk Anda,” sahut Aruna lembut, senyum di wajahnya begitu tulus hingga siapa pun akan percaya bahwa ia gadis polos yang hanya ingin menyenangkan tamu.
“Terima kasih,” jawab sang tamu sambil tersenyum puas.
Ucapan itu terdengar ringan, tapi cukup untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Aruna melangkah ke arah meja minuman dengan langkah anggun—tanpa menyadari bahwa Naya sudah bergerak mendekat, seolah ikut bergabung dalam percakapan itu.
Namun, ketika pelayan yang disuruh Naya sengaja menyenggol nampan berisi minuman agar tumpah ke arah Aruna, gadis itu justru dengan cepat berputar ke samping untuk menghindar sambil berpura-pura mengambil gelas di ujung meja.
Cairan merah tumpah—bukan ke arah Aruna, melainkan ke arah Naya yang baru saja berdiri di sebelahnya.
“A—ah!” seru Naya kaget, matanya membesar saat wine merah itu membasahi gaunnya yang berwarna krem muda. Belum sempat menyeimbangkan diri, kakinya tersandung tepian meja hingga tubuhnya terdorong ke belakang dan menabrak meja kue besar di tengah ruangan.
Brak!
Kue bertingkat tiga itu berguncang hebat, lapisan krim dan potongan hiasan jatuh tepat di wajah dan bahu Naya. Musik berhenti seketika, semua mata kini tertuju padanya.
Sementara itu, Aruna menatapnya dengan wajah terkejut pura-pura, menutup bibirnya seolah menahan napas.
“Naya! Kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan nada lembut, suaranya terdengar tulus dan cemas di telinga semua orang.
Namun di balik sorot matanya yang tampak khawatir, ada bayangan kemenangan yang tersembunyi.
(Senjata makan tuan, Naya. Kau baru saja jatuh ke dalam jebakanmu sendiri.)
Suara bisikan mulai merambat di antara tamu-tamu yang berdiri di sekitar ruangan.
“Bukankah dia tadi bersama Tuan Andrian?”
“Lihat gaunnya... benar-benar berantakan.”
“Bagaimana bisa dia sampai menabrak meja kue?”
Desas-desus itu menusuk telinga Naya lebih tajam dari apa pun. Tangannya yang berlumuran krim putih bergetar saat mencoba menyingkirkan sisa kue dari wajahnya. Pipinya memanas, bukan hanya karena malu, tapi juga karena marah—terutama pada pelayan yang kini tampak pucat ketakutan di sudut ruangan.
“Anda tidak apa-apa, Nona Naya?” salah satu tamu wanita berusaha menolong, tapi Naya hanya mengangguk kaku, menahan gejolak dalam dadanya. Andrian melangkah cepat ke arah mereka, wajahnya menegang.
“Naya,” panggilnya dengan nada datar, tapi di mata pria itu jelas tersirat rasa jengkel. Ia menarik sapu tangan dari saku jasnya, menatap sekilas gaun mewah yang kini ternoda parah oleh campuran wine dan krim kue.
“Maafkan aku, harusnya aku yang menarik tangan mu saat akan terjatuh,” ucap Aruna cepat, menunduk sedikit sambil menatap Naya dengan wajah bersalah yang begitu meyakinkan,ada suaranya lembut, nyaris seperti anak kecil yang takut dimarahi.
Ia menunduk, lalu mengambil serbet di meja terdekat dan menyerahkannya. “Ini... setidaknya untuk membersihkan wajahmu dulu.”
“Terima kasih...” gumam Naya pelan, menerima serbet itu. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu tampak kaku dan dipaksakan. Tatapannya sekilas menatap Aruna — kali ini bukan tatapan sahabat, melainkan tatapan penuh bara.
“Terima kasih,” ulangnya sekali lagi, lebih keras, seolah ingin memastikan orang-orang di sekeliling mendengarnya.
Namun, di balik ucapannya yang terdengar sopan, ada amarah yang bergolak hebat.
Andrian hanya menatap dingin, menoleh sekilas pada Aruna.
“Kau tidak terluka?” tanyanya singkat.
Aruna menggeleng, matanya lembut menatapnya.
“Tidak, aku baik-baik saja, Andrian.” Senyum kecil itu terlihat polos, namun justru membuat dada Naya terasa sesak.
Di sekitar mereka, beberapa tamu berusaha menertibkan suasana. Musik kembali dimainkan pelan, tapi suasana sudah tidak sama. Tatapan simpati tertuju pada Aruna—gadis yang tampak lembut dan polos—sementara Naya menjadi pusat perhatian karena penampilannya yang berantakan.
Tuan Surya yang sedari tadi berbincang dengan CEO mitra besar mendekat, menatap Aruna dengan bangga. “Kau benar-benar cepat tanggap, Aruna,” ujarnya sambil tersenyum lembut. “Tuan Mitra, inilah putriku. Selalu tenang bahkan di tengah kekacauan.”
“Luar biasa,” sahut CEO itu sambil tertawa kecil. “Saya mengerti sekarang kenapa perusahaan Surya Group bisa berjalan sebaik ini. Putri Anda benar-benar cerdas dan anggun.”
Sementara itu, Naya hanya bisa menunduk. Di antara lampu kristal dan tawa yang kembali terdengar, ada sesuatu dalam dirinya yang retak pelan-pelan.
Dan di tengah semua pujian itu, Aruna menatap segelas wine di tangannya, senyum samar kembali terlukis di bibirnya. (Pertunjukan ini baru dimulai, Naya...)
...----------------...
Udara malam terasa sedikit lembap ketika pesta akhirnya usai. Lampu-lampu kristal di aula besar mulai diredupkan satu per satu, meninggalkan cahaya hangat yang berpendar di marmer lantai. Para tamu mulai berpamitan, sementara pelayan sibuk membereskan sisa gelas dan piring yang menumpuk di meja.
Di luar gedung, Aruna berdiri di samping mobil keluarganya. Angin malam berembus lembut, membuat helaian rambutnya bergoyang perlahan. Senyumnya masih sama—tenang dan manis, seperti tak terjadi apa pun malam ini.
Tuan Surya dan istrinya sudah siap di dalam mobil, namun menunggu putri mereka yang tengah berpamitan.
Andrian dan Naya menghampiri dengan langkah santai.
“Aruna,” sapa Naya lebih dulu, suaranya terdengar ramah namun matanya menyimpan arti lain. “Kau mau pulang bersama kami? Rumah kita searah, bukan?”
Aruna menatap keduanya sejenak, lalu menggeleng halus.
“Terima kasih, tapi aku akan pulang bersama Ayah dan Ibu. Lagipula, mereka pasti ingin berbincang denganku di jalan.”
“Begitu ya?” sahut Andrian dengan nada lembut, menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya yang dingin. “Baiklah, hati-hati di jalan.” ucap andrian penuh basa basi yang sudah sangat basi.
Aruna tersenyum lembut. “Tentu,kalian juga hati-hati.” ucap aruna dengan mempertahankan wajah polosnya,siapa yang tau di balik wajah dan kalimat itu ada sesuatu yang besar akan terjadi, ia menunduk sedikit sebelum melangkah ke arah mobil.
“Terima kasih sudah membuat malam ini menjadi sangat seru,” ucapnya singkat, lalu menutup pintu mobil dengan pelan.
Dari dalam, ia sempat melihat bayangan Naya dan Andrian yang berdiri berdampingan. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu keduanya tersenyum tipis—senyum kemenangan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Seolah pesta malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Mobil keluarga Surya perlahan melaju meninggalkan area parkir hotel mewah itu. Dari kaca jendela belakang, Aruna masih bisa melihat pantulan lampu-lampu kota yang menari di matanya sendiri. Di luar, Andrian dan Naya masih berdiri menatap mobil itu hingga menghilang di tikungan.
“Semua berjalan sesuai rencana,” bisik Naya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Andrian hanya tersenyum miring, mengantongi kedua tangan ke dalam celana.
“Ya. Dia sama seperti dulu... terlalu mudah ditebak.”
Naya mengangkat dagu, membalas dengan nada geli.
“Tunggu saja, sebentar lagi dia akan kehilangan segalanya. Dan kita yang akan berdiri di atasnya.”
Andrian menatap langit malam yang gelap.
“Seharusnya begitu.”
Namun di sisi lain, dalam keheningan mobil yang melaju, Aruna membuka matanya perlahan. Tatapannya tidak lagi lembut seperti tadi—dingin, tajam, dan penuh perhitungan.
Ia menatap bayangan dirinya di jendela.
(Sama seperti dulu?) pikirnya pelan.
(Kalian memang suka meremehkanku. Tapi kali ini, aku bukan Aruna yang dulu.)
Mobil terus melaju menembus malam, meninggalkan cahaya pesta dan dua orang yang tengah merayakan kemenangan semu mereka.