Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
Amanda duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela kamar kosnya yang kecil. Tirai tipis warna krem bergoyang pelan tertiup angin sore. Suara motor berlalu-lalang di jalanan depan kos seperti hanya menjadi dengung samar di telinganya. Hari ini seharusnya ia datang ke sidang mediasi pertama perceraiannya dengan Azka. Tapi ia tidak sanggup.
Bukan karena tidak peduli, tapi karena hatinya belum benar-benar siap menghadapi kenyataan bahwa semua yang pernah ia perjuangkan sudah berakhir.
Tangannya meremas ujung selimut. Di kepalanya, ingatan demi ingatan bermunculan, seperti film lama yang tak sengaja terputar lagi.
Semua berawal beberapa tahun lalu, ketika ia masih bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Waktu itu, hidupnya sederhana dan penuh semangat. Ia baru dua tahun bekerja sebagai staf administrasi, dan tengah berusaha keras membangun karier.
Hari itu, kantornya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan rapat penting dengan tim dari perusahaan lain. Amanda bertugas menyiapkan dokumen, minuman, dan memastikan ruang rapat rapi. Ia ingat betul bagaimana pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya, mengenakan blus putih dan rok hitam selutut, rambutnya dikuncir sederhana.
Ketika tamu-tamu datang, ia sibuk menuang kopi dan memastikan semua berjalan lancar. Hingga matanya berhenti pada sosok pria berjas abu-abu yang baru saja masuk bersama timnya. Wajahnya tenang, senyumnya sopan, tapi matanya... teduh. Tatapan itu membuat Amanda refleks menunduk, entah kenapa.
“Maaf, Mbak, ini kursinya kosong?” tanya pria itu sambil menunjuk kursi di samping tempat ia sedang menata air mineral.
“Oh, iya, silakan, Pak,” jawab Amanda cepat, sedikit gugup.
“Terima kasih.”
Dan sejak itu, entah kenapa, setiap kali pria itu menoleh, Amanda merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Namanya Azka. Ia datang sebagai perwakilan dari perusahaan rekanan. Sikapnya ramah, tutur katanya halus, dan tidak pernah berlebihan. Setelah rapat selesai, ia sempat menghampiri Amanda untuk mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih sudah bantuin rapatnya. Semua tertib dan rapi,” ucap Azka sambil tersenyum.
Amanda hanya tersipu, “Ah, nggak apa-apa, Pak. Memang sudah tugas saya.”
Mungkin di situ awalnya. Sederhana. Tapi dari hal-hal kecil seperti itu, benih perasaan tumbuh.
Beberapa minggu kemudian, Azka kembali datang ke kantor Amanda untuk urusan proyek lanjutan. Kali ini, mereka sempat mengobrol lebih lama di pantry saat istirahat. Obrolan tentang pekerjaan pelan-pelan beralih menjadi percakapan ringan tentang hobi, keluarga, dan impian. Amanda merasa nyaman. Ia jarang menemukan pria yang bisa membuatnya merasa dihargai tanpa harus berusaha keras.
Azka bukan tipe yang banyak bicara, tapi caranya memperhatikan orang membuat siapa pun merasa istimewa.
Pernah suatu kali, Amanda pilek cukup parah dan tetap datang ke kantor. Di siang hari, seorang kurir datang mengantarkan termos kecil berisi air jahe hangat dan pesan singkat:
“Jangan lupa istirahat. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. (Azka).” Amanda masih ingat bagaimana pipinya memanas saat membaca pesan itu.
Tak lama kemudian, hubungan mereka semakin dekat. Mereka mulai sering makan siang bersama, lalu kadang bertemu di akhir pekan untuk sekadar minum kopi.
Bagi Amanda, Azka adalah sosok ideal dewasa, tenang, sopan, dan selalu membuatnya merasa aman. Tak pernah sekalipun ia melihat tanda-tanda bahwa pria itu menyembunyikan sesuatu.
KTP-nya tertulis lajang. Alamat rumahnya pun ia tahu dari identitasnya. Semuanya terlihat wajar. Terlalu wajar, bahkan, sampai Amanda tak pernah berpikir ada sesuatu yang aneh.
Lalu, suatu malam yang tak akan pernah ia lupakan, Azka datang ke rumahnya, bukan sendirian, tapi bersama kedua orang tuanya.
Waktu itu, kedua orang tua Amanda masih hidup. Ayahnya masih sehat, dan ibunya sedang senang-senangnya melihat anak sulungnya mulai serius menjalin hubungan.
Malam itu mereka makan malam bersama. Azka tampak gugup tapi tetap sopan. Ibunya yang ramah banyak bertanya pada orang tua Amanda, sementara ayahnya sesekali melempar candaan. Suasana begitu hangat dan penuh tawa.
Sampai akhirnya, di tengah obrolan, Azka memberanikan diri berbicara. “Pak, Bu,” ucapnya dengan suara pelan tapi mantap. “Saya datang ke sini bukan hanya untuk bersilaturahmi. Saya ingin melamar Amanda.”
Amanda tertegun. Ia menatap Azka, tak percaya. Ayahnya tersenyum, sementara ibunya langsung menatap anak gadisnya dengan mata berkaca-kaca.
“Apa kamu serius, Nak?” tanya sang ayah pelan.
Azka mengangguk. “Saya serius, Pak. Walau saya belum lama mengenal Amanda. Saya yakin dia perempuan yang saya ingin jadikan istri. Saya siap bertanggung jawab dan membahagiakannya.”
Malam itu, Amanda hampir tak bisa tidur. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Di hatinya, rasa bahagia bercampur haru. Ia tidak pernah membayangkan akan ada pria yang datang dengan cara begitu sopan, bersama orang tuanya, dan berbicara langsung dengan ayahnya seperti itu.
“Dia lelaki baik, Nak,” ucap ibunya malam itu sebelum tidur. “Kalau hatimu juga merasa tenang dengannya, Insya Allah dia jodohmu.”
Beberapa bulan kemudian, mereka menikah secara resmi. Semua dokumen lengkap. Tidak ada satu pun yang mencurigakan. KTP, surat keterangan, semua tertulis lajang. Pernikahan mereka tercatat sah di KUA, disaksikan keluarga dari kedua belah pihak.
Mana mungkin Amanda curiga bahwa di balik semua itu, Azka menyembunyikan rahasia besar, bahwa ia sebenarnya sudah memiliki istri. Apalagi istrinya itu adalah sahabatnya sendiri, Yuni.
Jika waktu itu ia tahu, ia pasti tak akan pernah menerima lamaran itu. Ia pasti akan menjauh sejak awal, meski hatinya mencintai. Tapi yang ia tahu, saat itu ia hanya mencintai seorang pria yang tampak tulus dan lembut.
Setiap hari Azka memperlakukan dia dengan penuh perhatian. Tidak pernah membentak, selalu sabar, dan sering menenangkan saat Amanda merasa lelah sepulang kerja.
“Kalau kamu capek, nggak apa-apa istirahat dulu. Urusan rumah biar aku bantu,” ucap Azka suatu sore sambil menyiapkan teh hangat. Hal-hal kecil seperti itulah yang membuat Amanda yakin bahwa ia menikahi orang yang tepat.
Azka benar-benar menjadikan dia ratu. Semua cintanya seolah tercurah hanya untuk dirinya.
"Setiap kenangan manis kini terasa bercampur dengan rasa sakit karena kenyataan yang tak terduga ini. Hatiku perih, menyadari bahwa ada bagian dari hidupmu yang selama ini tersembunyi dariku. Aku tidak menyangka bahwa jalan yang kita lalui bersama ternyata memiliki persimpangan yang tidak pernah kau tunjukkan."
Amanda menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia merasa bodoh. Tapi bukan karena mencintai. Melainkan karena terlalu percaya pada seseorang yang ternyata membohonginya habis-habisan.
“Kalau aku tahu dari awal kamu telah menikah ..., "bisiknya pelan, suaranya serak. “Aku nggak akan pernah biarkan semua ini terjadi.”
Tapi penyesalan selalu datang belakangan. Yang tersisa sekarang hanyalah luka dan tumpukan kenangan yang tak bisa ia buang begitu saja. Azka mungkin sudah berkhianat, tapi cinta yang dulu pernah ada tetap meninggalkan jejak yang sulit dihapus.
Amanda menarik napas panjang, menatap bayangannya sendiri di cermin kecil di meja rias. Wajah itu tampak lelah, tapi di matanya masih ada sisa keberanian. Ia tahu, lambat laun ia harus berdiri lagi. Bukan untuk Azka, bukan untuk masa lalu tapi untuk dirinya sendiri.
"Aku harus belajar bagaimana mengumpulkan kembali kepingan hati yang terasa hancur. Mungkin ini adalah akhir dari bab yang kita tulis, dan awal dari perjalanan yang harus kulalui sendiri dengan luka ini."
Amanda lalu berdiri dan berjalan menuju lemari. Besok pagi dia harus berangkat ke kota dimana dia pertama mengenal sahabatnya Yuni. Di kota itu dia dan Yuni di besarkan sebelum akhirnya mereka terpisah karena orang tua sahabatnya pindah tugas. Dia kembali teringat dengan sahabatnya itu.
"Untuk sahabatku, tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hancurnya hatiku saat ini. Mengetahui bahwa aku telah mengecewakanmu dan merusak persahabatan kita adalah penyesalan terbesarku. Aku tahu tindakanku tidak bisa dimaafkan, dan aku benar-benar minta maaf."
**
Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.