Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Wulan Hamil di Tengah Kutukan
Seminggu setelah mimpi buruk itu, Wulan mulai ngerasa... aneh.
Aneh dalam artian—dia mual. Mual terus. Setiap pagi bangun tidur—langsung lari ke kamar mandi—muntah sampe nggak ada yang keluar lagi. Perut kosong tapi tetep pengen muntah.
Awalnya dia pikir—mungkin ini karena stress. Karena mikirin Arsyan terus. Karena kutukan. Karena... semuanya.
Tapi mual ini... beda. Ini bukan mual biasa.
Pagi itu, Wulan lagi di dapur—nyoba masak nasi goreng buat Arsyan. Tapi begitu dia cium bau bawang—langsung mual.
Dia tutup mulut—lari ke kamar mandi—muntah lagi.
Arsyan yang lagi di kamar denger suara muntah—langsung bangun, jalan ke kamar mandi.
"Wulan—kamu kenapa? Sakit lagi?"
Wulan nggeleng lemah—ngusap mulut pake punggung tangan. "Nggak... cuma... mual aja."
"Udah seminggu kamu mual-mual terus. Aku khawatir. Mau ke dokter?"
"Nggak usah, Mas. Aku... aku baik-baik aja."
Tapi Arsyan nggak yakin. Dia bantuin Wulan berdiri—bantuin dia cuci muka.
"Istirahat aja hari ini. Jangan masak. Nanti aku yang masak."
"Mas nggak bisa masak."
"Ya belajar lah. Demi kamu, aku mau belajar apapun."
Wulan senyum tipis—hatinya hangat tapi juga... sakit. Kenapa Mas sebaik ini? Kenapa... kenapa aku harus jadi beban buat dia?
Siang itu, ada yang ngetuk pintu.
"Assalamu'alaikum! Wulan, buka pintu!"
Suara itu—Nayla. Istri Bhaskara.
Wulan buka pintu—liat Nayla berdiri di depan sambil bawa kantong plastik penuh cemilan.
"Nayla... ada apa?"
"Aku bosen di rumah! Bhaskara kerja terus, aku kesepian. Boleh nggak aku main ke sini?"
Wulan senyum. "Boleh. Masuk."
Mereka duduk di ruang tamu—Nayla langsung buka cemilan, makan sambil ngobrol.
"Wulan, lo keliatan pucat deh. Sakit?"
"Nggak... cuma capek aja."
"Capek kenapa? Lo nggak kerja kan?"
"Iya tapi... entah kenapa badanku lemes terus akhir-akhir ini."
Nayla menatap Wulan lama—mata menyipit—kayak lagi mikir sesuatu.
"Wulan... lo mual-mual nggak?"
Wulan kaget. "Eh... iya. Kenapa?"
"Sering?"
"Iya. Setiap pagi. Kadang siang juga."
Nayla langsung berdiri—mata membelalak. "WULAN, LO HAMIL?!"
Wulan terdiam.
Hamil?
Nggak... nggak mungkin... kan?
"Nggak... nggak mungkin, Nayla. Aku... aku nggak..."
"Mual setiap pagi, lemes, pucat—itu tanda-tanda hamil, Wulan! Lo test pack belum?!"
"Belum..."
"YA UDAH, SEKARANG! AKU BELI DULU!" Nayla langsung cabut—lari ke warung deket—beli test pack—balik dalam lima menit dengan nafas ngos-ngosan.
"Ini! Coba sekarang!"
Wulan terima test pack itu dengan tangan gemetar. Jantungnya berdebar nggak karuan.
Hamil? Aku... hamil?
Dia masuk kamar mandi—ngikutin instruksi di kotak—naro test pack di wastafel—tunggu lima menit.
Lima menit paling lama dalam hidup Wulan.
Jantungnya ngebut. Napasnya pendek-pendek. Tangannya keringetan.
Kalau aku hamil... terus gimana? Arsyan lagi sakit gara-gara kutukan... terus aku hamil? Ini... ini bakal nambah beban dia...
Timer bunyi.
Wulan ambil test pack itu—tangan gemetar—liat hasilnya—
—DUA GARIS.
POSITIF.
Wulan jantungnya berhenti.
Kakinya lemas—dia duduk di lantai kamar mandi—menatap test pack itu dengan tatapan kosong.
Aku... hamil.
Aku hamil anak Arsyan.
Air matanya jatuh.
Tapi dia nggak tau—ini air mata bahagia atau air mata takut.
Mungkin... dua-duanya.
Bahagia karena—dia bakal punya anak. Anak dari orang yang dia cintai. Anak yang dia idam-idamkan.
Tapi takut karena—Arsyan lagi sekarat. Kutukan masih jalan. Dan sekarang... dia hamil. Gimana dia bisa jaga kandungan kalau dia sendiri lagi berantakan? Gimana dia bisa jaga anak kalau suaminya... mungkin nggak bakal sempet liat anaknya lahir?
Wulan nangis—nangis keras—tangan memeluk perutnya yang masih rata.
"Maafin Ibu..." bisiknya lirih. "Maafin Ibu... Ibu nggak tau... Ibu nggak tau harus gimana..."
Nayla ngetuk pintu kamar mandi. "Wulan? Gimana? Positif?"
Wulan nggak jawab—cuma nangis.
Nayla langsung tau—dia buka pintu—liat Wulan duduk di lantai, nangis sambil pegang test pack.
"Wulan..." Nayla langsung duduk di sebelahnya—peluk Wulan. "Kenapa nangis? Ini... ini kabar baik kan?"
"Aku... aku nggak tau, Nayla... aku... aku bingung..."
"Bingung kenapa? Lo hamil, Wulan. Lo bakal punya anak. Arsyan pasti seneng banget!"
"Tapi... tapi Arsyan lagi sakit... gimana... gimana aku bisa—"
"Ssshhh... pelan-pelan. Satu-satu. Yang penting sekarang—lo hamil. Dan lo harus jaga kesehatan lo. Oke?"
Wulan mengangguk lemah—masih nangis.
Nayla bantuin Wulan berdiri—bantuin dia cuci muka—terus mereka keluar dari kamar mandi.
"Wulan... lo harus bilang ke Arsyan. Sekarang."
"Tapi—"
"Nggak ada tapi-tapian. Dia suami lo. Dia berhak tau."
Wulan diam—menatap test pack di tangannya—lalu mengangguk pelan.
"Oke... oke, aku akan bilang."
Sore itu, pas Arsyan pulang dari warung—Wulan udah nungguin di ruang tamu.
Duduk di sofa—tangan dilipat di pangkuan—wajah pucat—mata sembab.
Arsyan langsung khawatir. "Wulan—kamu kenapa? Nangis?"
"Mas... duduk dulu. Aku... aku mau bilang sesuatu."
Arsyan duduk di sebelah Wulan—menatapnya serius. "Ada apa?"
Wulan diam sebentar—napas berat—lalu dia keluarin test pack dari balik bantal—taroh di meja.
Arsyan menatap test pack itu—bingung sebentar—lalu mata membelalak.
"Ini... ini..."
"Aku hamil, Mas."
Hening.
Hening yang panjang.
Lalu Arsyan menatap Wulan—mata berkaca-kaca—bibir gemetar—
—lalu dia peluk Wulan.
Peluk erat banget.
"Alhamdulillah..." bisiknya parau. "Alhamdulillah... kita... kita bakal punya anak..."
Dia nangis—nangis bahagia—peluk Wulan makin erat.
Dan Wulan—meskipun hatinya masih takut—ikutan nangis.
Nangis karena... setidaknya ada satu hal baik di tengah semua kekacauan ini.
Setidaknya... ada harapan kecil bernama bayi di dalam perutnya.