NovelToon NovelToon
Pendekar Kegelapan

Pendekar Kegelapan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: DANTE-KUN

Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.


Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.

Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.


Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!


Tingkatan kultivasi :


Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang

Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang

Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang

Purification Dao 1-7 Tahapan bintang

Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang

Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang

Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang

Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir

Origin Dao Awal - menengah - akhir

Heavenly Dao

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch. 7

Mang Acheng melangkah keluar dari bangunan utama Sekte Tombak Merah dengan langkah yang berat. Udara malam terasa dingin, tapi itu tidak mampu mendinginkan amarah yang membara di hatinya. Ia berdiri di tengah desa Guang, menatap sekelilingnya dengan tatapan yang penuh campuran emosi.

Setiap sudut desa ini membawa kenangan pahit—dari suara tawa ibunya yang lembut, dentingan logam dari bengkel ayahnya, hingga wajah-wajah bahagia para penduduk desa yang sederhana namun penuh kasih. Namun kini, semua itu hanya tinggal serpihan kenangan.

Ia berjalan perlahan, kakinya seolah membawa dirinya kembali ke masa lalu. Jalan-jalan yang dulu penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan kini menjadi sunyi, hanya dipenuhi bayangan masa lalu yang menghantuinya. Setiap langkahnya terasa berat saat ia mengingat malam itu—malam ketika keluarganya dan seluruh desa ini dihancurkan oleh Sekte Tombak Merah.

Setelah beberapa saat, Acheng tiba di sebuah lapangan terbuka. Ia berhenti di tepinya, memandangi tempat itu dengan pandangan yang tajam namun penuh kesedihan. Tanah ini… dulunya adalah rumahnya. Tempat ia bermain di bawah sinar matahari bersama keluarganya. Tempat ia menemukan kebahagiaan sederhana.

Namun sekarang, tempat itu telah diubah menjadi lapangan latihan untuk para murid Sekte Tombak Merah. Bekas fondasi rumahnya telah diratakan, dan di atasnya berdiri tiang-tiang kayu serta patung tombak besar yang menjadi simbol sekte itu.

Acheng berdiri diam, membiarkan kesunyian malam menemaninya. Matanya yang biasanya tajam kini menunjukkan luka yang dalam. Tidak ada air mata yang mengalir, tapi beban emosinya terpancar jelas dari tubuhnya. Ia mengepalkan tangannya, menahan amarah dan kekecewaannya.

“Maafkan aku… Ayah… Ibu… semua warga desa…” gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Aku terlalu lemah saat itu. Tapi aku bersumpah, seluruh sekte ini akan dihancurkan. Mereka akan membayar untuk setiap nyawa yang mereka ambil.”

Acheng menoleh ke arah bangunan utama yang baru saja ia tinggalkan. Di dalamnya, ia menemukan catatan-catatan yang merinci kekuatan Sekte Tombak Merah. Dari situ ia mengetahui bahwa sekte ini sebenarnya hanyalah sekte kecil di Kerajaan Song.

Sekte Tombak Merah hanya memiliki sekitar 5.000 murid, dan sebagian besar dari mereka hanyalah kultivator di ranah Dao Foundation. Murid-murid inti mereka pun hanya berada di ranah Dao Elemental, dan kekuatan tertinggi mereka ada pada ketua sekte yang saat ini berada di Kota Batu.

Acheng mengepalkan tangannya lebih erat. “Lima belas tahun… sepertinya aku terlalu membiarkan mereka terlalu lama.”

Ia mengingat dengan jelas malam itu. Saat itu, ia masih seorang bocah berumur sepuluh tahun, tidak berdaya untuk melindungi keluarganya dan desa ini. Dan sekarang, di usianya yang ke-25, ia akhirnya memiliki kekuatan untuk benar-benar memusnahkan Sekte Tombak Merah dan membalas dendam atas semua penderitaan yang mereka ciptakan.

Acheng menatap langit malam yang penuh bintang. Cahaya redup bintang-bintang itu seolah mengingatkan dirinya pada harapan yang terus ia genggam selama lima belas tahun ini. “Ayah, Ibu… aku bersumpah, mereka hanyalah awal. Aku tidak akan berhenti sampai semua sekte busuk di Kerajaan Song lenyap dari dunia ini.”

Angin malam kembali berhembus, membawa keheningan yang mengerikan di desa itu. Dengan langkah pasti, ia melangkah menuju tujuan berikutnya: Kota Batu.

...

Perjalanan Mang Acheng menuju Kota Batu terasa singkat. Dengan kecepatannya, ia hanya memerlukan beberapa menit untuk menempuh jarak 50 kilometer dari Desa Guang. Ia memilih turun di sebuah bukit kecil tak jauh dari gerbang kota. Angin malam berhembus, membawa aura dingin yang seolah menyelimuti keberadaannya.

Acheng tidak menyembunyikan auranya. Sebaliknya, ia membiarkannya menyebar tanpa batas. Aura membunuh yang memancar dari tubuhnya begitu kuat hingga udara di sekitar terasa berat, membuat para murid Sekte Tombak Merah yang berjaga di gerbang kota langsung tersungkur. Tubuh mereka mati kaku, wajah mereka membiru oleh tekanan yang tidak dapat mereka lawan.

Di kejauhan, murid-murid lainnya yang melihat pemandangan itu berteriak panik. Beberapa melarikan diri menuju markas pusat sekte di tengah kota, berharap dapat memperingatkan tetua dan ketua mereka. Namun, tidak ada yang cukup berani mendekati Acheng. Bahkan dari jarak jauh, aura yang ia pancarkan sudah cukup untuk membuat mereka gemetar ketakutan.

Langit malam di atas Kota Batu dihiasi bulan purnama yang menggantung indah. Namun, keindahan itu terasa ironis di tengah suasana mencekam. Jalan-jalan kota sepi, hanya suara langkah Acheng yang terdengar. Para warga yang terjaga di rumah-rumah mereka mengintip dari balik jendela, berharap kehadiran sosok misterius ini membawa kehancuran bagi sekte yang telah menindas mereka selama bertahun-tahun.

Tak lama kemudian, empat sosok melesat ke udara dari markas pusat sekte. Di belakang mereka, seorang pria paruh baya dengan jubah merah keemasan muncul, wajahnya memancarkan otoritas dan ketegangan.

Empat tetua sekte itu masing-masing berada di ranah Celestial Dao bintang 5, sementara pria berjubah merah keemasan yang jelas adalah Liong Chan, ketua Sekte Tombak Merah, memiliki kultivasi di ranah Purification Dao bintang 2.

Wajah Liong Chan mengeras saat ia merasakan aura Acheng. Mata pria itu terbelalak, seolah sulit percaya dengan apa yang ia lihat. “Dao Ancestor… bintang 1?” gumamnya, hampir tidak terdengar.

Ia menelan ludah, kemudian melangkah maju, mencoba bersikap tenang. Dengan suara yang dibuat seramah mungkin, ia bertanya, “Senior, maafkan ketidaktahuan kami. Hal apa yang membawa Anda ke tempat kami ini?”

Acheng tidak langsung menjawab. Ia menatap Liong Chan dengan mata dingin, bibirnya menyunggingkan senyuman pahit. “Kau bahkan tidak mengingatku,” katanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan emosional. “Aku benar-benar kecewa.”

Kening Liong Chan berkerut. Ia mencoba mengingat-ingat, tapi tidak ada apa pun yang muncul dalam benaknya. “Senior, apakah kami pernah menyinggung Anda? Jika iya, kami harap hal ini dapat dibicarakan dengan baik-baik…”

Acheng menyeringai dingin. “Lima belas tahun yang lalu, di desa Guang, kau membantai penduduk desa dan mengambil alih tempat itu. Apakah kau ingat seorang bocah kecil yang melarikan diri dengan kaki gemetar, menyaksikan keluarganya dibantai di depan matanya?”

Wajah Liong Chan memucat seketika. Ia terdiam, matanya membelalak saat ingatan itu perlahan muncul di benaknya. “Tidak mungkin…” gumamnya, hampir tak terdengar.

Acheng berjalan maju, matanya tajam seperti bilah pedang. “Benar. Itu aku.”

Liong Chan membeku. Tubuhnya gemetar saat menyadari kenyataan yang ada di hadapannya. Bocah kecil yang dulu ia biarkan hidup karena dianggap tidak penting kini telah kembali sebagai sosok yang jauh lebih mengerikan daripada apa pun yang pernah ia bayangkan.

Salah satu tetua wanita, dengan wajah penuh ketakutan, berkata, “Ketua, kita tidak punya kesempatan melawan dia. Kita harus melarikan diri sekarang!”

“Benar! Dia jauh di luar jangkauan kita,” tambah tetua lainnya, yang juga tampak panik.

Namun, Liong Chan tahu bahwa melarikan diri bukanlah pilihan. “Tidak mungkin… dia bisa mengejar kita dengan mudah,” katanya dengan suara bergetar. “Kita tidak punya pilihan selain bertarung.”

Keempat tetua itu maju dengan ragu, mengeluarkan senjata masing-masing. Sementara Liong Chan mempersiapkan teknik terkuatnya, matanya masih dipenuhi ketakutan.

BOOM!

Acheng melepaskan auranya sepenuhnya, membuat tanah di sekitar mereka bergetar. “Kalian ingin bertarung?” katanya dingin. “Baik. Aku akan memastikan kalian tidak memiliki kesempatan untuk menyesali keputusan itu.”

Pertarungan itu berlangsung cepat. Keempat tetua mencoba mengerahkan semua kemampuan mereka, tapi kekuatan mereka tidak sebanding dengan Acheng. Dalam beberapa serangan, mereka roboh satu per satu. Jeritan terakhir mereka menggema di malam yang sunyi, sebelum tubuh mereka hancur menjadi abu.

Kini hanya tersisa Liong Chan, berdiri gemetar dengan wajah penuh keputusasaan. “Tolong… ampuni aku…” katanya dengan suara bergetar, lututnya hampir tidak mampu menopang tubuhnya.

Acheng mendekatinya perlahan, ekspresinya tidak menunjukkan belas kasihan. “Ampuni? Lima belas tahun yang lalu, apakah kau mengampuni mereka?”

Dengan gerakan cepat, Acheng mengulurkan tangannya. Api hitam melilit tubuh Liong Chan, membakar perlahan, membuat pria itu merasakan setiap detik dari penderitaannya.

"Argggghhhhh!"

Jeritannya menggema di udara, memecah keheningan malam.

“Ini belum selesai,” kata Acheng dengan nada dingin. Ia membiarkan api itu mereda, lalu menatap Liong Chan yang kini terjatuh lemah di tanah. “Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan malam itu.”

Acheng terus menerus membakar Liong Chan secara perlahan, dan membuat Liong Chan seakan-akan sedang berada di neraka. Liong Chan hanya bisa menjerit kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Akhirnya, dengan satu gerakan tangan, Belati Dewa Bintang menembus dada Liong Chan. Cahaya biru gelap memancar, mengakhiri hidup pria itu dalam keheningan.

Acheng berdiri diam di tengah kehancuran itu, memandang Kota Batu yang sunyi. Angin malam kembali berhembus, membawa perasaan lega kecil di hati para warga yang menyaksikan semuanya dari jauh.

1
azizan zizan
bukankah sebelum dia berambus dari kota yang sebelumnya Klan lung ada bagi sesuatu untuk kultivasi kah kepada mc kenapa tidak di guna..
y@y@
⭐👍🏼🌟👍🏼⭐
y@y@
🌟👍🏼⭐👍🏼🌟
y@y@
💥👍🏾👍🏿👍🏾💥
y@y@
⭐👍🏼🌟👍🏼⭐
y@y@
💥👍🏼🌟👍🏼💥
abdi nusantara
superior
y@y@
⭐👍🏾👍🏿👍🏾⭐
Desri Eka Darma Amd
tolong dong author, jika ingin menamatkan cerita atau membuat judul cerita yang baru ada pemberitahuan terlebih dahulu. agar pembaca mengetahui, terimakasih 🙏🙏🙏
Wulan Sari
critanya sangat menarik semangatbya thor salam sehat selalu 👍💪❤️🙂🙏
Dante-Kun: Makasih banyak 😁😁🙏
total 1 replies
Hadir
G Wu
Belajar lagi Thor ,perempuan pemimpin sekte/clan dipanggil MATRIAK bukan Patriak !
Ma arti nya mamak/ibu perempuan ,, Pa PPA)ayah laki.
azizan zizan
sepatutnya berkultivasi dahulu dengan apa yang ia rampas naikkan lvl dulu bukannya berkeliaran entah kemana-mana... kebanyakkan novel yang alurnya begini pasti segini lah jalan ceritanya tak pernah ada perubahan... baru dapat kekuatan dikit aja lah rasa macam udah kuat tiada tandingan... cehhh menyampah...
azizan zizan
nah gitu rampas semua harta perang jangan di tinggal dikit pun...
azizan zizan
lah rampasan harta ngak di ambil di tinggal begitu aja.. tolol apa bodoh Nih..
azizan zizan
alurnya jangan terlalu banyak bertele-tele sangat Thor alurnya jadi kurang seru...
y@y@
👍🏼💥🌟💥👍🏼
y@y@
👍🏾💥👍🏼💥👍🏾
y@y@
👍🏿🌟⭐🌟👍🏿
y@y@
👍🏼💥🌟💥👍🏼
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!