Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Tere duduk di kursi kayu, matanya sembab tapi masih menyala oleh emosi. Di depannya, Pak Adrian dan Bu Linda duduk berdampingan, menatap putri mereka dengan penuh rasa sayang bercampur cemas. Arga duduk agak ke pinggir, diam dengan kepala menunduk, kedua tangannya menggenggam gelas teh yang sudah mulai dingin.
“Aku nggak mau ini terus berlanjut, Pa, Ma,” kata Tere, suaranya bergetar menahan amarah dan air mata. “Aku nggak cinta sama dia. Aku nggak mau terikat dengan pernikahan yang nggak aku pilih sendiri. Tolong... aku mohon, bantu aku akhiri ini semua.”
Pak Adrian menatap Tere lekat-lekat.
“Sayang, kamu sadar nggak apa yang kamu minta? Ini pernikahan, bukan permainan. Papa tahu kamu syok, tapi itu bukan alasan untuk menganggap remeh ikatan suci ini.”
Bu Linda menggenggam tangan Tere, berusaha menenangkan.
“Tere, Mama mohon... jangan keras kepala. Kamu lihat sendiri Arga. Anak ini sopan, santun, dan Papa Mama yakin dia anak baik. Kamu baru sebentar di sini, jangan langsung menilai.”
Tere menghempaskan tangan ibunya secara halus tapi tegas.
“Baik? Mungkin dia baik di mata Papa Mama, tapi bukan itu yang aku cari! Aku mau suami yang dewasa, yang sepadan. Lihat dia... dia masih bocah! Bahkan lebih muda dari aku. Aku punya Rio. Kalian tahu itu. Rio yang aku cinta. Rio yang cocok buat aku!”
Arga yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, dengan suara pelan namun tegas.
“Mba Tere... aku tahu ini nggak mudah. Aku juga nggak pernah nyangka semua ini terjadi. Tapi aku nggak mau mempermainkan pernikahan ini. Aku akan jaga amanah ini sebaik aku bisa.”
Tere berdiri, suaranya meninggi.
“Arga! Aku nggak butuh kamu jaga aku! Aku nggak cinta kamu, aku nggak mau kamu jadi suami aku! Kamu pikir aku bisa bahagia dengan pernikahan ini? Kamu anak baik, iya... tapi kamu bukan untuk aku! Kamu masih terlalu muda untuk aku. Kamu itu bocah, ngerti nggak?”
Pak Adrian berdiri perlahan, menatap Tere dengan mata berkaca-kaca.
“Tere, kamu tega bicara begitu? Anak ini sudah menolong kamu, menjaga kamu, menikahi kamu untuk melindungi kehormatan kamu. Sekarang kamu malah mau buang dia begitu saja? Kalau kamu sayang sama Papa Mama, dengarkan ini baik-baik: jangan rusak pernikahan ini hanya karena kamu keras kepala dan gengsi!”
Bu Linda menambahkan dengan lembut, walau hatinya perih melihat putri kesayangannya keras hati.
“Sayang... Rio memang pacar kamu. Tapi sudahkah kamu yakin dia akan jadi suami sebaik Arga? Jangan hanya lihat siapa yang mapan. Lihat hatinya, perilakunya.”
Tere terdiam sejenak, dadanya naik turun karena emosi. Pikirannya kacau. Bayang Rio, lelaki mapan yang ia cintai selama ini, muncul di benaknya. Namun di depan matanya, ada Arga — lelaki sederhana dengan wajah polos, penuh kesungguhan, yang tak pernah ia bayangkan menjadi suaminya.
Suasana hening sesaat. Hanya suara burung di kejauhan dan desir angin pagi yang terdengar.
Akhirnya, Tere berkata pelan tapi penuh tekanan.
“Kalau begitu, aku akan cari jalan aku sendiri. Kalau Papa Mama nggak mau bantu, aku yang akan urus semuanya. Aku nggak mau terikat pernikahan ini seumur hidup aku...”
Pak Adrian menghela napas panjang, lalu duduk kembali.
“Papa cuma bisa berdoa, semoga kamu nggak menyesal dengan pilihan kamu nanti, Tere.”
Arga tetap diam, menahan luka di hati. Di dalam benaknya, hanya satu tekad: ia akan tetap berusaha mempertahankan kehormatan pernikahan ini, meski hatinya hancur mendengar kata-kata Tere.
---