Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Langsung Matii itu terlalu Mudah
Mark masih terus mengawasi dan memperhatikan Paula yang menghubungi dokter Amara.
Mark bahkan minta Paula untuk menyalakan speaker ponselnya itu.
"Nyalakan speaker ponselnya!" ujar Mark tegas.
Mata Paula sedikit melebar, tapi tidak masalah juga. Dia bukan orang bodohh.
"Aku akan kirim pesan dulu, kalau tidak... mungkin dia tidak akan menerima panggilan dari nomormu ini! dia kan sangat membencmu!" kata Paula.
Mark menaikkan bahunya, ucapan istrinya itu semakin lama semakin tidak enak didengar saja olehnya. Namun Mark berpikir, kalau apa yang baru dikatakan oleh Alisa itu sangat masuk akal. Dan dia cukup terkejut, bagaimana Alisa bisa punya pikiran seperti itu.
Paula segera mengirim pesan itu pada dotera Amara.
'Dokter Amara, ini aku Alisa. Tolong terima panggilan telepon dariku ya. Suamiku mengawasiku'
Seperti itulah pesan itu di kirim. Mark tampak curiga, dia pun segera mendekat ke arah Paula.
"Eh, ngapain dekat-dekat! jauh-jauh sana!" kata Paula yang mundur beberapa langkah ke belakang, karena Mark mendekat ke arahnya.
"Aku hanya ingin lihat pesan apa yang kamu ketik!"
"Semakin kamu membuang waktu, adikmu semakin menderita!" sela Paula.
Mark kembali mengalah, dengan mendengus kesal. Dia mundur, dan membiarkan Paula menghubungi dokter Amara.
"Halo dokter"
[Iya Alisa, katakan. Apa kamu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan lagi di rumah itu?]
Mark terlihat menatap tegas ke arah Paula. Dan Paula mendengus kasar.
"Tidak dokter, jadi begini. Adik iparku terluka. Bisakah salah satu rumah sakit di kota ini menerimanya. Di ruang sakit Bandar juga tidak masalah dokter" kata Paula.
Mark memperhatikan dengan seksama istrinya. Saat bicara dengan dokter Amara. Suara Alisa terdengar halus dan lembut. Kenapa saat bicara dengannya, Alisa seperti ingin makan orang.
[Apa suamimu yang memaksamu?]
Paula menoleh ke arah Mark. Tapi pria itu langsung menatapnya dengan begitu tajam, seolah tatapannya itu bisa menembus jantung Paula.
"Sebenarnya tidak, aku rasa adik iparku sudah cukup menderita" kata Paula.
Namun dalam hatinya dia berkata,
'Aku rasa kali ini cukup. Kalau dia langsung terpanggil ke atas, karena tidak di obati tepat waktu. Bukankah itu terlalu mudah untuknya, biarkan dia sembuh. Dan aku akan memberinya pelajaran lagi. Itu akan setimpal, harus di cicil setetes demi setetes air mata akibat rasa sakit dari orang-orang sok berkuasa di rumah ini' batin Paula panjang lebar.
[Baiklah, aku akan buka blacklist di rumah sakit Bandar. Tapi jika mereka memperlakukanmu dengan tidak baik lagi. Katakan saja padaku]
"Baiklah, aku mengerti!"
Dan Paula mengakhiri panggilan telepon itu. Mark masih melihat ke arah Paula. Ada keheranan yang amat besar dalam hati pria itu. Bahkan Alisa istrinya itu, bicara dengan begitu santai pada dokter Amara. Sebelumnya, Alisa sangatlah pemalu. Bahkan kalau bicara dengan orang luar. Wanita di hadapannya itu akan cenderung menunduk dan insecure pada dirinya sendiri.
Kali ini, yang ada di depan Mark. Adalah seseorang yang bahkan sama sekali tidak mengucapkan terimakasih mendapatkan bantuan sebesar itu dari dokter Amara.
"Ini, sudah dengar kan? bawa adikmu itu ke rumah sakit Bandar. Sekarang pergi dari sini!" kata Paula menyerahkan ponsel Mark kembali.
Mark sebenarnya, di hatinya masih banyak sekali yang mengganjal. Tapi, Rena lebih membutuhkannya, dan memang sangat membutuhkannya sekarang.
Tanpa bicara, Mark segera keluar dari kamar Paula.
Bibi Dini dan Maria tampak melihat dari kejauhan. Bibi Dini mengusap dada, merasa begitu lega. Karena saat akan menutup pintu, dia melihat Alisa baik-baik saja.
Sementara Maria, wanita itu tampak tidak senang, cenderung kesal. Karena sepertinya memang Alisa tidak terluka sama sekali. Tidak ada barang pecah, atau suara pukulan juga.
'Apa yang terjadi, kenapa dia bisa lolos begitu saja?' batin Maria bingung.
Sementara itu setelah menutup pintu kamarnya. Paula menghubungi Joyce.
[Ya nona muda]
"Mark akan membawa adiknya ke rumah sakit Bandar. Joyce lakukan sesuatu..."
[Apa aku harus menghadang mereka di jalan, lalu meledakkan mobil mereka dengan basoka nona?]
Joyce menyela. Dan apa yang dikatakan Joyce itu sebenarnya sangat menyenangkan untuk Paula dengar. Hanya saja, jika mereka semua mati. Maka dia akan merasa itu terlalu mudah untuk semuanya. Tidak ada lagi rasa sakit, penderitaan, dan air mata. Itu tidak seru.
"Tidak sekarang Joyce! dengarkan aku! cari perawat dengan tangan paling kasar di rumah sakit itu, atau jika perlu, rekrut orang kita yang telapak tangannya paling kasar. Bayangkan! jika tangan kasar itu yang mengoleskan salep di luka-luka Rena. Itu akan terasa sangat menyakitkan!"
[Wah, nona. Aku memang harus berguru padamu, tentang hal ini. Kamu memang paling tahu bagaimana membalas seseorang berkali-kali lipat dari apa yang dia lakukan. Aku akan laksanakan segera!]
"Bagus, oh ya! kirimkan alat kejut listrik terbaik untukku!" kata Paula.
Dia tidak mau kejadian tadi, dimana Mark memaksakan diri pada Paula terulang lagi.
Setelah menutup kembali telepon. Paula menghubungi pelayan yang merupakan anak buahnya. Kamar ini benar-benar perlu di bereskan.
Lusi, pelayan yang merupakan orang Joyce datang mengetuk pintu. Tapi, Maria yang masih mengawasinya segera menghadang Lusi.
"Heh, kenapa kamu disini?" tanya Maria dengan nada suara mengintimidasi, dan ekspresi wajah mendominasi.
Maria sepertinya menunjukkan kalau dia adalah pelayan senior dan pelayan baru seperti Lusi harus menghormatinya.
"Nyonya minta kamarnya dirapikan, mbak Maria!" jawab Lusi.
"Tidak usah! jika nyonya besar tahu dia perintah pelayan disini. Dia akan dimarahi, tidak usah. Dia itu bukan majikan kita..."
Brukkk
Maria tiba-tiba pingsan dan jatuh ke lantai. Di belakangnya berdiri Riko, security yang merupakan orang Joyce kuga.
Ternyata pria itu yang memukul bagian tengkuk Maria, hingga pelayan yang sok senior itu pingsan.
"Lakukan tugasmu! aku akan bawa orang ini ke belakang kandang burung!"
Lusi terkekeh pelan dan mengangguk paham.
Sementara itu, di klinik perusahaan. Mark sudah datang dan hendak membawa adiknya untuk berobat di rumah sakit Bandar.
"Apa? kenapa di rumah sakit Bandar. Itu masih satu jam dari sini. Mark, rumah sakit Medika jelas lebih dekat?" tanya Berta yang semakin sedih saja melihat kondisi Rena.
"Bu, tidak bisa. Dokter Amara memberikan akses hanya kesana. Jangan pikirkan, lebih baik kesana dulu!" ajak Mark.
Tasya yang baru pulang dari luar kota melihat adiknya dalam keadaan seperti itu langsung tampak kesal.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Tasya yang di kabari ibunya kalau Rena ada di klinik rumah sakit perusahaan.
Mark pikir akan menjelaskan pada Tasya nanti sana. Yang penting adalah Rena ditangani dulu di rumah sakit. Mark membawa adiknya ke dalam mobil. Sementara Karina yang di minta pergi dengan Tasya di mobil lain, merasa dia harus memberitahu Tasya. Dengan sedikit tambahan api di sana.
"Semua ulah wanita gelandangan itu! gara-gara dia pernah di tawar di rumah sakit Medika. Lalu menjadi dekat dengan dokter Amara, dia memprovokasii dokter Amara. Dia sengaja memukul Rena dengan cambuk, saat Rena terluka. Dia minta temannya itu untuk blacklist nama keluarga Austin. Dari pagi aku dan bibi mondar-mandir cari rumah sakit di tolak. Wanita gelandangan itu sangat jahat pada Rena!"
Tangan Tasya terkepal.
"Kalau begitu, kak Karina saja yang menyusul kakak ke rumah sakit. Aku akan buat perhitungan dengan wanita gembell itu!" geram Tasya.
Karina tampak begitu senang, ketika dia melihat Tasya berjalan dengan sangat terburu-buru dan penuh amarah.
"Wanita gelandangan, lihat saja! kamu akan merasakan akibat, membuatku kelelahan hari ini. Menyebalkan!" gumamnya.
***
Bersambung...