Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Beberapa hari kemudian.
Dimana hari pertunangan Reihan dan Rani akhirnya tiba, hanya tinggal beberapa jam lagi.
Pagi itu, Reihan berdiri di depan cermin kamarnya. Tatapannya kosong menembus pantulan diri sendiri, seolah ingin berbicara dengan bayangan yang menatap balik kepadanya. Bibirnya menekan rapat, rahangnya mengeras.
“Aku tidak ingin ini…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Tapi kenyataannya, ia tidak punya pilihan.
Sebentar lagi, ia akan duduk berdampingan dengan Rani, teman masa kecilnya. di hadapan para tamu undangan. Reihan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Satu-satunya harapannya hanyalah… semoga Alya tidak mengetahui hal ini.
Ia harus bisa meyakinkan Alya suatu hari nanti. Meyakinkan bahwa Alya benar-benar mencintainya. Dan ketika saat itu tiba. Ia akan membawa Alya ke hadapan orang tuanya. meski orang tuanya akan murka dengan keputusannya ini, meski semua harta dan nama baik bisa saja dicabut darinya, ia tak peduli. Tapi untuk saat ini, ia terpaksa mengikuti permainan yang dibuat oleh orang tuanya.
Dengan langkah berat, Reihan keluar dari kamar. Di ruang makan, Alya sudah duduk rapi dengan seragam sekolahnya. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu, sorot matanya sayu, wajahnya pucat.
Reihan menghampiri, lalu menunduk mengecup kening istrinya singkat.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara lembut.
“Pagi,” jawab Alya pelan, nyaris tanpa semangat.
Dahi Rehan berkerut. Ia meraih tangan Alya, merasakan dingin menusuk dari kulit istrinya. “Al… kamu sakit?” tanyanya khawatir.
“Tidak… aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing.”
Rehan menatapnya tidak yakin.
“Kalau begitu, jangan pergi ke sekolah. Istirahatlah di rumah, ya?”
Alya menggeleng pelan.
“Aku tidak apa-apa. Lagi pula sebentar lagi ada ujian nasional. Aku tidak bisa melewatkan pelajaran.”
Rehan menghela napas panjang, frustrasi namun pasrah. Ia tahu Alya keras kepala jika sudah menyangkut soal pendidikan.
“Baiklah. Tapi janji, kalau ada sesuatu segera hubungi aku.”
Alya hanya mengangguk singkat.
Usai sarapan, Reihan mengantar Alya ke sekolah. Ia menunggunya masuk melewati gerbang sebelum kembali ke mobil. Dan tanpa sepengetahuan Alya, Reihan memutar setir, memacu mobilnya menembus jalanan kota menuju hotel bintang lima, tempat pertunangannya akan dilangsungkan.
Sesampainya di sana, langkahnya semakin berat. Begitu menjejak lobi hotel, matanya terbelalak. Puluhan awak media sudah memenuhi tempat itu, kamera dan mikrofon siap mengarah padanya.
Seketika wajah Rehan mengeras. Panik, marah, dan takut bercampur jadi satu. Jika media meliput pertunangannya, cepat atau lambat kabar ini akan sampai ke telinga Alya. Dan jika itu terjadi… ia yakin Alya tidak akan pernah memaafkannya.
Dengan napas memburu, Reihan segera mencari keberadaan orang tuanya. Hingga akhirnya ia menemukan mereka di sebuah ruangan khusus, tengah bersiap untuk acara. Ibunya, Lidya, sedang dirias oleh makeup artist, sementara ayahnya, Sutrisno, berdiri di dekat jendela, sibuk dengan teleponnya.
“APA-APaan ini, Ma?!” suara Rehan meledak begitu saja saat berdiri di ambang pintu.
Lidya sontak menoleh, sedikit terkejut namun cepat menutupinya dengan senyum tipis. “Rey… kamu sudah datang,” ucapnya ringan. “Cepat ganti pakaianmu. Acara akan segera dimulai.”
Rehan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, urat-urat menonjol di lengannya. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping ibunya.
“Kenapa banyak sekali media di sini,?!” tanyanya dengan suara berat menahan amarah.
“Itu untuk meliput acara pertunanganmu, tentu saja,” jawab Lidya enteng, seolah tidak ada yang salah.
“Aku tidak ingin ada media di sini!” tegas Rehan, matanya berkilat penuh penolakan.
“Tidak bisa begitu, Rehan.” Suara Sutrisno yang dalam dan tegas memotong. Ia menutup teleponnya, lalu menatap putranya dengan sorot mata keras.
“Kamu pewaris tunggal perusahaan kita. Acara ini akan sangat berdampak baik untuk nama baik keluarga, juga bisnis kita.”
“Aku tidak peduli soal bisnis!” balas Rehan lantang.
“Kalau media tetap ada, aku akan membatalkan pertunangan ini sekarang juga!”
Suasana ruangan mendadak tegang. Makeup artist terdiam, menunduk gugup, tak berani ikut campur.
Lidya meletakkan kuas rias di meja, lalu berdiri. Wajahnya dingin, suara tajam menusuk.
“Reihan… apa kau lupa apa yang pernah Mama katakan padamu?”
Tatapan matanya menekan, seolah mengingatkan bahwa di balik semua ini, ada ancaman yang jauh lebih besar daripada sekadar media.
Reihan menatap balik ibunya dengan rahang terkatup rapat. Ia tahu benar maksud kalimat itu. Lidya dan Sutrisno tidak pernah main-main soal kehormatan keluarga.