Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama lebih dari 27 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
#28
Hari persidangan semakin dekat, jika Marina tetap santai menjalani harinya seperti biasa, membuat sambal, meladeni pelanggan yang datang untuk membeli nasi bungkus, bahkan membungkus pesanan sambal untuk dikirimkan via pos, atau delivery man.
Begitulah Marina, wanita yang sangat polos, tak tahu bahwa Johan dan Diana tengah menyusun strategi untuk membuatnya kalah telak. Sementara dirinya hanya menjalani hari-harinya seperti biasa, fokus mengembangkan kemampuan diri sendiri.
Apalagi sekarang pelanggan warung kecil Marina dan Farida semakin bertambah banyak, harga murah dan terjangkau kantong yang pas-pasan, tapi rasa sungguh tak murahan. Kebetulan rumah Farida di daerah yang banyak perkantoran, dan pabrik, jadi para pelanggan warung, rata-rata adalah karyawan dan para pekerja yang penghasilannya pas-pasan.
Para driver ojol yang menunggu pesanan siap, juga banyak yang santap siang di warung, bahkan Marina memberi mereka bonus ekstra lauk jika yang membeli adalah para driver ojol.
Tak mengapa untung berkurang sedikit, tapi secara tidak langsung mereka melakukan promosi dari mulut ke mulut. Semua senang, karena masing-masing mendapat keuntungan.
Ramai warung tak membuat Marina dan Farida melupakan bisnis sambal mereka, kini mereka juga menambah jumlah karyawan karena beban pekerjaan semakin bertambah. Tapi urusan keluar masuknya uang, tetap mereka pegang sendiri agar mereka tahu persis seberapa besar omset harian, dan total jumlah keuntungan setiap bulannya.
Lain lagi dengan Johan yang semakin hari makin blingsatan, karena orang-orang suruhannya belum juga mendapatkan informasi yang ia inginkan. Karena informasi tersebut sangat penting baginya, demi memenangkan persidangan secara telak.
Ponsel di tangannya berdering, akhirnya orang yang Johan tunggu memberinya kabar.
“Bagaimana?”
“Pak, apa Anda sungguh-sungguh mencari informasi mengenai pria di dalam foto itu?” tanya orang suruhan Johan.
“Tentu saja benar, kamu pikir aku sedang main-main?!” bentak Johan.
“Jika begitu maaf, kami tidak berani ikut campur.”
“Jadi sebenarnya, kalian dapat informasi atau tidak?!” Johan kembali berteriak, kesabarannya sudah seperti selembar tisu di belah sejuta.
“Tentu saja dapat, tapi maaf Kami tak bisa membagikannya pada Anda, demi terus berlangsungnya bisnis kami.”
“Kalau begitu, aku tak mau membayar kalian!!” ancam Johan.
“Tak masalah, karena kami pun tak rugi apa-apa, tapi saran saya jauhi pria itu, karena dia bukan lawan Anda.”
“Gak usah sok menasehati!!”
“Baiklah, maaf.”
Panggilan pun berakhir, dan …
Pyarr!!!
“SIALAAAN SEMUA!” teriak Johan.
Johan membanting ponselnya karena amarahnya kian memuncak, pria itu terlalu marah karena Marina terlihat tenang-tenang saja. Dan Johan tak bisa melakukan apa-apa karena Marina tak punya rekam jejak kelam sepanjang hidupnya.
Satu-satunya bukti yang mungkin bisa menjatuhkan Marina, hanyalah foto-foto pemberian Diana.
Sonia yang mendengar suara benda pecah, bergegas menghampiri Johan, “Mas!! Ada apa?” tanyanya panik.
Namun Johan enggan menjawab pertanyaan Sonia. Pria itu hanya diam menahan amarah dan serta perasaan yang kian berkecamuk tak karuan.
Johan sangat penasaran dengan pria di dalam foto yang sedang tersenyum bersama Marina, siapa sebenarnya pria itu, dan apa pentingnya ia tersenyum dengan wanita yang nyata-nyata belum resmi bercerai darinya. Membuat hatinya semakin meradang.
“Mas?” Kembali Sonia bertanya, “Kenapa? Ada apa? Ponselmu sampai hancur begini?”
“Sudahlah, tinggalkan aku sendiri.” Alih-alih memberi jawaban yang Sonia inginkan, Johan justru mengusir wanita itu.
“Kamu kenapa sih, belakangan ini marah-marah terus? Padahal aku selalu berusaha membuatmu senang, apa sekarang kamu mulai menyesal menikah denganku?”
Menyadari ucapan Sonia, Johan mengusap kasar wajahnya. “Baiklah, aku minta maaf,” ucapnya dengan suara datar, aku hanya marah, karena orang-orang yang kubayar tak mendapatkan informasi yang kuinginkan.” Johan memungut ponselnya yang kini terlihat menyedihkan.
“Memangnya, Mas cari informasi tentang apa? Barangkali aku bisa bantu bertanya pada teman-teman arisanku.” Sonia menawarkan jasa, padahal ada udang di balik maksud baiknya.
“Tentang seorang pria,” jawab Johan semakin pelan, ia takut Sonia cemburu karena dirinya masih mencari-cari informasi tentang pria yang bersama Marina.
“Pria? Siapa?” tanya Sonia.
“Pria yang bersama Marina, aku ingin menjadikan Itu sebagai alat untuk membuatnya kalah di persidangan, dan pembagian gono-gini.” Johan beralasan demikian agar Sonia tak membaca isi pikirannya.
“Mas, tak bohong, kan?” tanya Sonia memastikan.
Johan mengacak rambut Sonia, “Mas bohong apa lagi? Semuanya demi mempertahankan Kamu, Sayang,” ucap Johan manis.
“Mmmm … so sweeeeett.” Sonia memeluk erat lengan Johan, kemudian mencium pipi pria itu. “Aku kira, Mas masih cemburu sama pria yang dekat dengan Marina.”
“Nggak dong, kan sudah ada kamu, kalau aku gak serius, mana mungkin kita sampai menikah diam-diam di belakang Marina?”
•••
Hari ini adalah hari libur, hari yang seharusnya digunakan untuk santai dan melepas penat setelah seminggu berjibaku dengan urusan pekerjaan.
Namun di apartemen Burhan dan Ina justru terjadi perselisihan, hanya karena Ina tak menemukan baju yang akan ia kenakan untuk bertemu investor yang mensponsori perusahaannya.
“Mas, bajuku yang berwarna hijau green tea, kok gak ada?” tanya Ina.
Burhan terlalu malas menanggapi sikap Ina yang begitu-begitu saja, tak mau berubah, tak mau berusaha, bahkan mengurus dirinya sendiri pun ia tak pernah mencoba. Lalu apa gunanya menikah, jika tak mau berusaha? Setidaknya saling bantu untuk urusan rumah, dan luangkan waktu untuk kegiatan sehari-hari bersama pasangan.
Tapi Ina memang sungguh berbeda dari wanita-wanita pada umumnya, ya walaupun Ina memang terlihat sangat berbeda. Tapi Burhan tak menyangka sekeras ini pendirian Ina, hingga sangat sulit untuk diberi pengertian.
Padahal Burhan sudah melakukannya lewat kata, dan belakangan dengan perbuatan. “Entah, carilah sendiri.”
“Kan kapan hari Mas yang cuci,” jawab Ina.
“Lalu, aku juga yang harus mencari bajumu, begitu?!”
“Setidaknya kan … “
“Setidaknya apa?! Aku suamimu! Bukan pembantu di rumah ini,” Burhan berteriak meluapkan amarahnya.
“Kok Mas jadi marah sih?” tanya Ina tanpa merasa bersalah.
“Terus kenapa kalau aku marah? Salah?! Seharusnya itu tugasmu, apa yang kulakukan masih kurang?”
“Mas kan tahu, kalau aku bekerja.”
“Kamu pikir aku pengangguran?! aku juga bekerja! Tapi aku berusaha tak lalai dengan pekerjaan rumah, Kamu pikir aku bisa mencuci? Masak? Bersih-bersih?!” bentak Burhan.
Tak disangka bentakan itu membuat Ina meneteskan air mata, “Kamu berubah, Mas.”
“Kalau aku tak berubah, maka pernikahan ini hanya akan berakhir sia-sia. Aku mencintaimu, karena itulah aku berbuat demikian, karena aku ingin menikmati waktu lebih lama bersamamu,” ungkap Burhan dengan wajah sendu.
Tapi sepertinya Ina terlanjur salah memahami maksud perkataan suaminya. Hingga hari-hari berikutnya pun kehidupan pernikahan Burhan dan Ina terasa makin mengerikan.
Pertengkaran tak lagi terhindarkan, hal-hal kecil saja mampu membuat suasana rumah terasa seperti neraka. Burhan semakin sibuk bekerja, dan Ina pun semakin jarang pulang ke rumah mereka.
Dan akhirnya hari persidangan Marina dan Johan pun tiba, ini kali pertama mereka kembali bertemu setelah setuju untuk resmi berpisah.
. he km johan jgn ngeroeg ya.. dinda jg km ini anak model apa sih
satu persatu dari kalian akan merasakan karma masing masing atas perlakuan kalian terhadap marina