Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
“Rey, aku nggak bisa pakai ini. Tumitnya tujuh senti! Tujuh! Aku bakal jatuh terguling masuk ballroom dan diusir satpam!”
Cathesa nyaris berlutut sambil mencopot sepatu hak tinggi silver yang berkilau seperti senjata.
Rey hanya melipat tangan di dada, berdiri seperti stylist profesional—padahal jelas-jelas pakai celana pendek dan sandal jepit.
“Tenang, Cece. Itu cuma tujuh senti. Adikku bisa make itu pas dia SMP. Masa kamu kalah?”
Cathesa mendelik. “Adik kamu model!”
“Dan kamu… calon mantan sekretaris kalau nggak tampil kece malam ini. Ayolah! Ini gala! Sekali seumur hidup kamu bisa ngalahin Adeline dalam urusan penampilan.”
“Aku nggak niat ngalahin siapa-siapa.”
“Iya, iya, kamu cuma mau ‘kerja’. Tapi tumit tinggi ini bakal bikin dia—Nagendra—nengok dua kali. Percaya.”
Dengan wajah pasrah dan penuh pengkhianatan terhadap telapak kakinya sendiri, Cathesa akhirnya berdiri di depan cermin.
Gaun biru gelapnya sudah oke. Rambutnya digerai natural. Makeup hasil tutorial YouTube Rey—lumayan gak nyeremin.
Tapi sepatu itu…
“Kalau aku jatuh malam ini, aku hantui kamu lewat oven kantor.”
Rey terkekeh. “Deal. Tapi kalau kamu bikin dia bengong lebih dari lima detik… kamu traktir aku es krim seminggu.”
⸻
Setengah jam kemudian, di ballroom…
Cathesa berdiri di depan pintu masuk acara. Tangannya berkeringat. Dan sepatu itu, rasanya seperti alat penyiksaan.
Tapi saat dia melangkah masuk—dengan langkah super hati-hati ala ninja sok elegan—beberapa kepala mulai menoleh.
Dan…
Nagendra, yang sedang berdiri di tengah kerumunan, menatap.
Bukan sekadar menatap.
Matanya… berubah.
⸻
Sementara itu, Adeline melirik ke arah pintu masuk, lalu menyipitkan mata.
“Dia datang,” gumamnya lirih.
Seorang pria di sebelahnya—pengusaha partner bisnis—berbisik, “Siapa itu? Pacar baru Nagendra?”
Adeline langsung tersenyum miring. “Bukan. Cuma sekretaris. Tapi… mungkin dia sedang lupa tempatnya berdiri.”
⸻
Cathesa tidak tahu semua itu. Yang dia tahu hanya satu:
Tumit sepatu ini tajam. Perutnya mual.
Dan entah kenapa, dada Nagendra kelihatan lebih… berdebar dari biasanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cathesa melangkah pelan memasuki ballroom yang penuh gemerlap lampu dan kerlip kristal. Suara musik lembut mengalun, tapi di dadanya berdegup kencang seperti irama drum perang.
Sepatu hak tinggi pinjaman Rey yang tadi dia ragu-ragu akhirnya berhasil membawanya masuk dengan elegan—meski setiap langkah masih terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca.
Di sudut ruangan, Nagendra berdiri dengan setelan hitamnya yang sempurna. Matanya tajam menatap ke arah pintu masuk. Saat pandangan mereka bertemu, jantung Cathesa seolah berhenti sesaat.
Adeline, yang duduk di deretan kursi tamu VIP dengan gaun putihnya yang memesona, memandang ke arah Cathesa dengan tatapan dingin penuh tantangan.
Suasana semakin panas ketika MC mulai memanggil nama-nama yang akan tampil di atas panggung, dan tiba giliran Nagendra untuk berbicara.
Nagendra melangkah ke panggung, pandangannya langsung tertuju pada Cathesa yang berdiri sedikit terasing di tepi ruangan. Dengan suara tenang tapi penuh makna, ia berkata:
“Wanita ini bukan hanya sekretarisku… tapi seseorang yang membuat aku ingin lebih dari sekadar profesional.”
Sekejap, ruangan hening. Semua mata beralih pada Cathesa yang terkejut dan sedikit bingung.
Adeline menegakkan tubuh, bibirnya membentuk garis tipis—tanda perang baru saja dimulai.
Nagendra terus melanjutkan, menatap Cathesa dengan serius:
“Dalam hidup ini, aku belajar bahwa bukan kekuasaan atau dingin itu yang membuatku kuat, tapi keberadaan seseorang yang bisa membuatku tetap berdiri… walau badai datang.”
Tepuk tangan perlahan mulai menggema di ruangan, meski ada yang masih terpaku dalam keterkejutan.
Cathesa menunduk, tak mampu berkata-kata, hatinya campur aduk antara malu dan haru.
Di balik semua itu, aku—Rey—tersenyum puas, dan siap jadi saksi perjalanan dua hati yang saling berusaha membuka pintu dingin Nagendra.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rey berdiri di luar balkon ballroom, memandangi kota yang gemerlap di bawah cahaya malam. Musik gala terdengar samar dari balik pintu kaca yang tertutup. Udara malam menyapa dingin, tapi tidak sedingin isi dadanya.
Dia tahu, sejak Cathesa melangkah masuk ruangan itu dengan gaun biru dan senyum canggung… sesuatu dalam dirinya benar-benar lepas.
Bukan karena dia tidak tahu,
tapi karena dia selalu tahu.
⸻
Cathesa muncul dari balik pintu balkon, menarik ujung gaunnya agar tidak tersangkut. Wajahnya cerah, tapi matanya… ragu.
Dia tahu Rey di sini.
Dan hanya Rey yang bisa menenangkan kekacauan hatinya, seperti biasa.
“Ketebak banget kamu kabur ke balkon,” ujarnya ringan, mencoba bercanda.
Rey tersenyum kecil. “Klasik, ya? Sama kayak SMA.”
Cathesa mendekat, berdiri di sampingnya.
“Dulu juga kamu ke balkon tiap ada ulangan Matematika.”
“Karena aku stress… dan karena kamu selalu bawa roti isi ayam buat nyogok aku biar nggak bolos.”
Keduanya tertawa kecil.
Tawa yang ringan. Tapi di antara mereka… ada sesuatu yang tidak ringan.
Hening sesaat.
Rey melirik ke arah Cathesa. Wajah itu sama. Matanya, senyumnya, tawa yang terlalu tulus untuk dimiliki orang asing.
Sahabat sejak SMA.
Dulu mereka nonton konser bareng, kabur dari pelajaran olahraga, nangis bareng pas Cathesa diputusin cowok pertama.
Dan Rey? Dia cuma bisa memeluknya waktu itu—walau sebenarnya hatinya hancur juga.
Sekarang…
dia tahu waktunya sudah selesai.
“Cece…” suaranya pelan, tapi jelas.
“Aku tahu… aku bukan laki-laki yang kamu lihat. Nggak pernah.”
Cathesa menoleh pelan.
“Aku pernah berharap, mungkin suatu saat kamu bakal lihat aku juga. Bukan cuma sahabat kamu yang nganterin ke kantor tiap Senin pagi. Tapi… ternyata nggak.”
Dia tersenyum. Dan senyum itu… bukan untuk menghibur siapa pun.
Itu senyum pamit yang hanya bisa dimengerti hati yang tulus.
“Dan tahu nggak? Aku nggak marah. Karena aku sayang kamu… dari dulu, bukan buat dipunya. Tapi buat dijaga. Dari jauh pun gak apa-apa.”
Cathesa menahan napas. Matanya berkaca-kaca.
“Rey, aku… aku nggak tahu harus bilang apa…”
“Nggak usah bilang apa-apa,” Rey memotong lembut. “Cukup berdiri di sini. Di sebelahku. Sekarang. Itu udah cukup.”
⸻
Beberapa detik mereka hanya berdiri berdampingan, memandangi langit malam.
Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Hanya keheningan dua hati yang saling paham… tapi memilih jalan berbeda.
Dan ketika Cathesa akhirnya kembali masuk ke ballroom…
Rey tetap berdiri di sana, mengubur semuanya.
Bukan karena lelah berharap. Tapi karena terlalu tulus untuk menghancurkan apa yang mereka punya.
Biarlah aku tetap menjadi sahabatmu. Seperti sejak SMA. Sampai kapan pun.