Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16•
Ritual di Tengah Ladang
Malam itu, bulan sabit menggantung tipis di atas langit Pekanbaru, nyaris tak sanggup menembus kabut tipis yang mulai turun menyelimuti perkebunan kelapa sawit Pak Harjo. Angin membawa serta aroma tanah basah bercampur bau busuk samar yang entah dari mana asalnya. Aku, Arya, bersama dua sahabatku, Rama dan Dani, seharusnya tidak berada di sana. Kami hanya ingin membuktikan keberanian, omong kosong khas anak muda yang baru saja lulus SMA dan merasa dunia ada di genggaman.
“Seriusan, Yah? Lo yakin Pak Tua itu sering ritual di sini?” Rama berbisik, suaranya sedikit gemetar, namun matanya memancarkan gairah petualang. Rama selalu yang paling nekat di antara kami, dan kali ini, ia yang mencetuskan ide gila untuk mengintai Pak Tua, penjaga kebun yang terkenal pendiam dan selalu mengenakan pakaian serba hitam. Kabar burung di kampung menyebutnya dukun, sering melakukan ritual aneh di tengah ladang saat bulan purnama tiba.
“Iya, Ram. Kemarin gue ngelihat sendiri dia bawa sesajen ke arah sini. Lagian, kenapa sih dia nggak mau ada yang masuk ke area ini?” Dani menambahkan, jarinya menunjuk ke arah gundukan tanah yang dikelilingi pohon sawit tua yang menjulang tinggi, cabangnya meliuk-liuk seperti jemari raksasa. Area itu memang terlarang. Pak Harjo sendiri melarang siapa pun mendekat, alasannya "tanah keramat."
Kami bertiga merangkak perlahan, menyelinap di antara rimbunnya pohon sawit. Setiap daun yang kami injak berderit pelan, setiap ranting patah berbunyi nyaring di keheningan malam. Jantungku berdetak tak karuan, bukan hanya karena takut ketahuan Pak Tua, tapi juga karena rasa ngeri yang mulai merayap. Udara semakin dingin, dan bau busuk itu semakin pekat, menusuk hidung.
Tiba-tiba, kami mendengar suara dengungan rendah, seperti gumaman doa yang dilantunkan berulang-ulang. Kami bersembunyi di balik semak belukar tebal, mengintip. Di tengah gundukan tanah, terlihat Pak Tua, mengenakan jubah hitam lusuh. Ia duduk bersila di depan sebuah lubang dangkal. Di sekelilingnya, ada beberapa mangkuk berisi sesajen: bunga melati, kemenyan, dan sebutir telur ayam kampung. Cahaya rembulan yang samar menerangi wajahnya yang keriput, membuat bayangannya menari-nari di tanah.
“Gila… dia beneran ritual,” bisik Rama, matanya melebar.
Pak Tua mulai mengucap mantra. Suaranya serak dan dalam, setiap kata terdengar seperti bisikan dari dunia lain. Tiba-tiba, ia mengangkat kedua tangannya ke atas, dan tanah di depan lubang itu mulai bergetar perlahan. Sebuah cahaya kebiruan samar muncul dari dalam lubang, berpendar pelan. Kami bertiga menahan napas.
“Itu apa?!” Dani menunjuk dengan jari gemetar.
Dari lubang itu, perlahan-lahan muncul sesosok… bukan manusia. Bentuknya samar, seperti asap yang menggumpal, namun semakin lama semakin jelas. Matanya merah menyala, dan ia memiliki cakar panjang yang mengerikan. Aura dingin menyelimuti area itu, membuat bulu kuduk kami merinding.
“Dia… dia memanggil iblis,” bisikku, tak percaya dengan apa yang kulihat. Otakku menolak mencerna.
Sosok itu melayang di atas lubang, mengeluarkan suara mendesis yang membuat telinga kami berdenging. Pak Tua tampak berbicara dengan sosok itu, namun kami tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya, Pak Tua sedang meminta sesuatu, atau mungkin memerintah. Tak lama kemudian, sosok itu kembali masuk ke dalam lubang, dan cahaya kebiruan pun meredup, menghilang.
Pak Tua bangkit, menghela napas panjang, lalu mulai menimbun kembali lubang itu. Wajahnya terlihat sangat lelah, seolah baru saja melakukan pekerjaan berat. Kami menunggu hingga Pak Tua benar-benar pergi, menghilang di balik kegelapan.
“Kita harus lapor polisi,” kata Dani, napasnya tersengal-sengal. “Dia berbahaya.”
“Tapi… apa yang akan kita laporkan? Mereka nggak akan percaya. Kita nggak punya bukti,” sanggah Rama.
Aku berpikir keras. Apa yang baru saja kami saksikan? Iblis? Atau hanya ilusi? Tapi rasa takut yang kurasakan begitu nyata. Kami memutuskan untuk kembali ke kampung dan membicarakan ini esok hari.
Malam-malam berikutnya, tidurku tak pernah nyenyak. Bayangan sosok menyeramkan itu terus menghantuiku. Kami bertiga sepakat untuk tidak menceritakan apa pun kepada siapa pun, setidaknya sampai kami yakin apa yang harus kami lakukan.
Beberapa hari kemudian, sebuah berita menggemparkan desa. Anak Pak Harjo, seorang gadis berusia 10 tahun bernama Rina, hilang tanpa jejak. Seluruh desa panik, melakukan pencarian besar-besaran. Pak Harjo sendiri terlihat sangat terpukul, matanya merah dan wajahnya pucat pasi.
“Jangan-jangan… ini ulah Pak Tua,” bisik Rama padaku.
Kami bertiga saling pandang. Mungkinkah ritual itu ada hubungannya dengan hilangnya Rina? Kecurigaan kami semakin membesar. Kami memutuskan untuk kembali ke ladang, kali ini untuk mencari petunjuk.
Kami menemukan lokasi ritual itu lagi. Lubang yang ditimbun Pak Tua beberapa hari lalu. Kami memutuskan untuk menggali. Dani membawa sekop kecil dari rumahnya. Kami bergantian menggali, dan setelah beberapa waktu, sekop Dani mengenai sesuatu yang keras.
“Dapat!” serunya.
Kami terus menggali hingga kami menemukan sebuah kotak kayu kecil. Kotak itu diukir dengan simbol-simbol aneh. Jantungku berdebar tak karuan. Ini pasti bukti! Kami membukanya perlahan.
Di dalamnya, bukan tulang belulang atau benda mengerikan lainnya. Hanya ada beberapa lembar foto lama yang buram. Foto-foto itu menunjukkan Pak Tua di masa mudanya, tersenyum lebar bersama seorang wanita dan seorang gadis kecil. Wajah gadis itu mirip sekali dengan Rina. Ada juga beberapa surat lama, ditulis dengan tulisan tangan yang rapi.
Kami membaca surat-surat itu. Ternyata, surat-surat itu ditulis oleh istrinya, yang telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu karena sakit keras. Istrinya menulis tentang kerinduannya pada anak mereka yang telah tiada. Ya, Pak Tua memiliki seorang anak perempuan yang meninggal saat masih kecil, jauh sebelum Rina lahir. Anak itu namanya Karina.
Sebuah surat terakhir menarik perhatian kami. Surat itu ditulis beberapa hari sebelum Rina hilang. Isinya adalah tentang Pak Tua yang begitu merindukan Karina, anak perempuannya yang pertama. Ia menulis, “Aku begitu merindukanmu, Karina. Aku tahu kau kini bahagia di alam sana. Aku hanya berharap bisa melihatmu, walau hanya sekejap.”
Kepalaku mulai berputar. Lalu apa hubungannya dengan ritual? Dan sosok menyeramkan itu? Aku membaca kembali surat itu, mencari petunjuk. Aku melihat kembali foto Karina. Dan tiba-tiba, sebuah kebenaran pahit menghantamku.
“Tunggu… Rina… dan Karina…” gumamku.
Rama dan Dani menatapku bingung.
“Lihat baik-baik foto ini,” kataku, menunjuk foto Karina kecil. “Dan ingat wajah Rina.”
Mereka mengamati dengan saksama.
“Rina… mirip sekali dengan Karina di foto ini,” kata Rama pelan, matanya membesar.
“Bukan hanya mirip, Ram,” aku menyahut, “mereka… kembar!”
Rama dan Dani terdiam.
“Bagaimana mungkin? Pak Harjo tidak pernah bilang punya anak kembar,” kata Dani.
Aku membolak-balik surat-surat itu. Ada satu paragraf di salah satu surat istrinya yang kubaca ulang: “Kita harus kuat, Pak. Karina memang telah pergi, tapi kita masih punya Rina. Mereka kembar. Rina akan selalu mengingatkan kita pada Karina.”
Air mukaku berubah drastis. Sebuah kengerian yang lebih dalam merayapiku, lebih dalam dari sekadar melihat ritual pemanggilan iblis.
“Jadi… Rina… adalah saudara kembar Karina,” kataku, suaraku nyaris tak terdengar. “Dan Karina… adalah anak Pak Tua yang meninggal.”
“Tapi… apa hubungannya dengan hilangnya Rina?” tanya Dani.
Aku menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi… ritual itu… apa yang sebenarnya ingin dipanggil Pak Tua?”
Tiba-tiba, Rama memekik. Ia menunjuk ke arah gundukan tanah, tempat ritual itu dilakukan. “Lihat! Ada tulisan!”
Terukir samar di tanah, di samping lubang bekas galian kami, ada tuliling angka romawi yang terukir samar: X.
Kami saling pandang, mencoba mengartikan. Angka X. Sepuluh.
Rina berumur sepuluh tahun.
Dan Pak Tua, penjaga kebun, tak pernah terlihat sedih atau panik saat Rina hilang. Ia hanya terlihat lelah. Dan setiap ia melakukan ritual, ia terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang yang ia sayangi.
Sebuah pikiran mengerikan melintas di benakku, membuatku mual. Kami kembali ke desa dengan tergesa-gesa, mencari Pak Tua. Kami menemukannya sedang duduk di beranda rumahnya, menatap kosong ke arah perkebunan.
“Pak Tua!” seru Rama.
Pak Tua menoleh, matanya redup, namun ada semburat ketenangan di sana.
“Ada apa, Nak?” tanyanya.
Aku memberanikan diri. “Pak Tua… Rina… dia… apa Pak Tua tahu di mana Rina?”
Pak Tua tersenyum tipis. Senyumnya terasa begitu dingin, begitu mengerikan.
“Rina… sudah pulang, Nak,” katanya pelan. “Pulang ke tempat yang seharusnya.”
Aku terhuyung. “Apa maksud Pak Tua?”
Pak Tua menunjuk ke arah perkebunan dengan jari telunjuknya yang keriput. “Dia sudah bersama kakaknya. Dia merindukan Karina.”
"K-kakak?" Dani tergagap.
"Ya, Karina," jawab Pak Tua, suaranya kini terdengar lebih jelas, penuh kelegaan. "Anakku yang pertama. Sejak Rina lahir, aku tahu dia adalah reinkarnasi Karina. Mereka sangat mirip. Tapi roh Karina... dia tidak tenang. Dia selalu berusaha kembali ke dunia ini, ke ladang ini. Aku harus membantunya."
Jantungku serasa berhenti berdetak.
"Setiap bulan purnama," lanjut Pak Tua, matanya berkaca-kaca, "Karina datang. Tapi dia tak pernah bisa utuh. Dia hanya bisa menampakkan wujud asap itu. Dia ingin kembali ke raga Rina. Dan Rina… Rina sendiri ingin bersama kakaknya."
Plot twist yang menghancurkan hatiku. Sosok menyeramkan itu bukanlah iblis yang dipanggil, melainkan roh Karina yang tidak tenang, berusaha menyatu dengan kembarannya. Dan Pak Tua, dalam keputusasaan dan kesedihan yang mendalam, justru memfasilitasi "kembalinya" putrinya yang telah meninggal, meskipun itu berarti mengorbankan Rina.
"Jadi, ritual itu..." aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku.
Pak Tua mengangguk pelan. "Ya, ritual itu untuk menyatukan mereka. Jiwa Karina begitu merindukan raga kembarnya. Dan kini... mereka bersama. Akhirnya."
Kami tidak tahu harus berkata apa. Berlari? Melaporkan? Tapi apa yang akan kami laporkan? Bahwa seorang ayah telah ‘menyatukan’ kembali kedua putrinya, salah satunya melalui cara yang… tak bisa diterima akal sehat? Perasaan ngeri dan iba bercampur aduk dalam diriku. Pak Tua tidak memanggil iblis. Ia memanggil anaknya yang sudah meninggal, dan dalam prosesnya, ia kehilangan anak yang masih hidup.
Kisah hilangnya Rina menjadi misteri yang tak terpecahkan di desa. Tak ada yang menemukan jejak Rina, dan Pak Tua hanya mengatakan bahwa Rina "pulang." Kami bertiga, yang menjadi saksi bisu ritual mengerikan itu, membawa beban rahasia yang tak akan pernah bisa kami ceritakan kepada siapa pun. Setiap kali kami melewati ladang kelapa sawit itu, kami akan merasakan aura dingin yang menusuk, seolah roh Karina dan Rina kini bersemayam di sana, bersama dalam keabadian yang tragis.