Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Luka yang Tidak Pernah Dipilih
Aku tidak tidur malam itu. Setelah Arvan pergi bukan keluar rumah, tapi keluar dari ruang makan setelah pengakuan setengah hati dan ekspresi ketidakpeduliannya aku duduk diam di kamar, memandangi pantulan wajahku di cermin.
Mata sembab. Pipi memerah. Tapi bukan karena menangis, bukan karena malu. Aku marah. Bukan hanya pada Arvan… tapi pada diriku sendiri. Mengapa aku membiarkan diriku bertahan sejauh ini?
Sudah jelas sejak awal aku hanya pelengkap hidupnya. Pilihan aman, pilihan yang disukai keluarganya, tapi bukan hatinya. Aku ingat dulu, bagaimana mamanya menyukaiku, menyebutku sebagai “calon istri idaman.” Tapi Arvan... diam saja saat itu. Bahkan di hari pernikahan kami, aku merasa dia seperti sedang menjalani hukuman, bukan janji suci.
Dulu aku kira cinta bisa tumbuh. Bahwa ketulusan bisa meluluhkan siapa pun. Tapi yang tidak pernah kukira, ternyata ada orang yang terlalu pandai berpura-pura sampai dirinya sendiri percaya dia bahagia... padahal tidak.
Dan sekarang, aku kehabisan alasan untuk bertahan. Tapi aku juga belum punya cukup kekuatan untuk pergi.
Pagi itu, aku memberanikan diri bicara pada Mama.
"Mama tahu, 'kan, dulu aku nikah sama Arvan bukan karena dia pilih aku... tapi karena keinginan keluarganya?" tanyaku pelan, suaraku nyaris gemetar.
Mama terdiam, lama. Aku mendengar tarikan napasnya yang berat sebelum akhirnya ia menjawab.
"Mama tahu... tapi Mama pikir kamu bisa buat dia jatuh cinta pada waktunya. Kamu anak baik, Nayla. Siapa sih yang bisa nggak jatuh cinta ke kamu?"
Aku tersenyum getir. “Arvan bisa. Bahkan setelah bertahun-tahun.”
Hari-hari berikutnya jadi seperti jalan di antara pecahan kaca. Kami masih tinggal di rumah yang sama, tapi seperti dua orang asing. Dia pulang, kadang menyapa, kadang tidak. Aku memasak, tapi tak pernah menyiapkan piring untuknya lagi. Aku menyapu, mengepel, mencuci... tapi bukan karena aku istrinya, hanya karena aku terbiasa menjaga rumah.
Dan dalam diam itu, aku mulai menulis surat. Bukan surat untuk ditujukan pada Arvan, tapi untuk diriku sendiri. Aku menuliskan semua rasa yang tak pernah bisa terucap. Ketakutanku, kehampaanku, dan semua luka yang tak bisa kulihat tapi terasa nyata.
“Nayla, kamu pantas bahagia. Kamu bukan boneka porselen yang hanya dipajang untuk menyenangkan orang lain. Kamu bukan pelarian dari masa lalu siapa pun. Kamu adalah seseorang yang berhak dicintai sepenuhnya, bukan setengah hati, bukan karena keterpaksaan, bukan karena rasa kasihan…”
Dan aku tahu, aku sedang bersiap. Mungkin belum untuk pergi... tapi untuk berdiri, akhirnya.
Suatu malam, saat hujan deras membasahi kota, Arvan pulang dalam keadaan basah kuyup. Aku yang sedang di dapur sempat ingin mengambilkan handuk, tapi tubuhku menolak. Naluriku menghalangi. Dia masuk tanpa menyapaku. Tidak bilang apa pun, hanya melewati ruang tengah dan menuju kamar.
Tapi kali ini aku mengejarnya.
“Arvan…”
Dia berhenti di ambang pintu kamar, tak menoleh.
“Kamu... sayang nggak sama aku?”
Pertanyaanku menggantung. Arvan diam. Hujan di luar seperti menjadi latar yang memperjelas sunyi di antara kami.
"Aku... nggak tahu, Nayla."
Air mata langsung menggenang. “Setelah semua ini? Setelah semua yang sudah kita lalui?”
"Aku pernah mencoba. Tapi... perasaan itu nggak pernah sebesar yang kamu harapkan. Dan aku terlalu pengecut untuk bilang dari dulu."
Dan malam itu, akhirnya, bukan hanya hujan yang tumpah. Tapi juga segala harapan yang selama ini kutanam dengan doa dan luka.